Januar terdiam, Adri terdiam. Mereka melihat satu sama lain, tanpa kata-kata. Adri yang menunggu respon Januar, dan Januar yang masih sibuk menata pikirannya, sinkronisasi sulit antara pikiran dan perkataannya.
"Cringe."
Adri kemudian meneguk kembali air mineral yang diberikan Januar tadi. Seperti biasa, Ia akan geli sendiri atas setiap kata yang menurutnya 'menye-menye'.
"Gak kok. It's OK," ujar Januar akhirnya. Kalimat yang sederhana.
"Seperti biasa, kamu selalu jujur, assertive, to the point, so I can't help with my self shock," lanjutnya sembari tertawa.
Adri mengangguk, "Aku rasa lebih baik begitu," ujarnya.
"Ya ... sepertinya,"
"Lalu soal kamu yang ... merasa not deserve me ... itu kenapa?" Januar ganti bertanya.
Adri tampak sedang berpikir, "Hmm ... circle kamu, achievement kamu, pemikiran kamu. It seems like ... kamu overqualified," ujarnya.
"Kenapa kamu selalu berpikir dari sudut pandang itu? Ke Aku ... atau ke Haikal dulu?"
Adri hanya terdiam.
"Achievement kamu, dan Aku atau siapapun, gak bisa dibandingin Dri. Gak apple to apple lah istilahnya. Interest dan fokus kita aja udah beda dan kamu tau itu. So ... Aku harap kamu gak perlu berpikir seperti itu."
"Karena lagi-lagi, di hubungan seperti ini yang penting itu gimana menerima, mendengar, satu frekuensi, dan ... nyaman?"
"That's all I want to say to you. Juga, Aku gak sebaik dan sejago itu. Kita sama-sama terus belajar dan berkembang," finalnya.
Adri menghela nafas dalam, "I will try. Sebenernya gak sejauh itu sih, cuma khawatir aja kadang. Apalagi circle kamu pasti udah tau kan?"
Januar mengangguk, "Iya. Kebanyakan udah tau gara-gara paparazzi menfess," ujarnya tertawa.
"Ada respon negatif gak sih sejauh ini?"
Januar menggeleng, "No. Mereka paling ngeroasting, ada yang iri, ada yang gak nyangka. Ya gitulah," ujarnya.
"Jangan overthinking Dri."
"Siapa yang overthinking? Ini namanya antisipasi kan, siapa tau dari cerita dan feedback dari orang lain bisa mengimprove diri?"
Januar mengangguk, "Yakin? Aku sih gak akan buat kamu denger omongan negatif orang-orang dari circle Aku," ujarnya serius.
Adri memiringkan kepalanya bingung.
"Revitha, segitu deketnya aja udah Aku tegur," lanjutnya membuat Adri terkejut.
"Hah? Kamu apain dia?"
Januar mengedikkan bahunya, "Gak perlu tau gimana Aku negurnya, nanti kamu takut."
Adri menggelengkan kepalanya, "Ngeri ngeri."
"Woy! Dicariin kemana-mana malah pacaran aja Lo berdua disini!" seru seseorang. Ternyata itu Adam yang entah dari kapan sudah berada di kafeteria yang sama.
"Lah? Udah balik? Gimana? Udah dateng adek-adeknya Theo?" tanya Januar.
Adam mengangguk, kemudian duduk disamping Januar, "Adeknya yang pertama doang yang dateng, siapa tuh namanya? Jesslyn."
"Gue gak mau ikut campur tapi jujur aja Gue sedih dan prihatin."
"Orangtuanya ada di rumah gak?" tanya Januar.
Adam menggeleng, "Enggak. Cuma ada adeknya, itupun dia baru balik sekolah. Ke rumah sakit masih pake seragam," ujarnya.
"Theo belum sadar juga?" tanya Adri.
"Belum. Btw dia udah gak sadar dari awal dibawa kesini?"
Januar menggeleng, "Enggak, pas Gue bawa dia masih setengah sadar, keliatan kalau dia kayak ... depresi? Dia nangis, tapi gak ngomong apa-apa gitu. Gue sampe rada gak fokus nyetir, untung sama Hanif, dia jagain Theo di belakang," jelasnya panjang lebar.
Adri memegangi kepalanya pusing, "Kacau banget pasti dia."
"Iya. Buat sekarang, lebih baik kita jangan jenguk Theo, biar dia sama adiknya dulu. Tadi juga Gue udah pamitin ke Jesslyn kalo kita langsung balik."
****
Adri kembali disibukkan dengan paperworknya malam itu setelah apa yang terjadi pada Theo tadi siang hingga sore. Pekerjaannya sudah selesai untuk dikerjakan besok pagi, tapi karena Theo yang dipastikan tidak dapat datang, Ia harus memeriksa beberapa hal yang sebelumnya menjadi tugas rekannya.
Jam sudah menunjukan pukul sebelas malam, tapi Adri sama sekali tidak mengantuk. Terimakasih pada iced americano yang dibelikan Januar di perjalanan pulang tadi. Toleransi kafein Adri sepertinya memang diatas rata-rata perempuan kebanyakan.
"Aduh, ini data rasio formulasi kok ada ya?" ujarnya pelan sembari terus menscroll file yang Ia ekstrak dari penyimpanan digital Theo.
Merasa tidak menemukan apa yang Ia cari, Adri meraih ponselnya, mencari kontak Jevan.
"Halo Jev?"
"Halo, kenapa Dri?"
"Sorry nih Jev malem-malem ganggu. Lo pegang data rasio formulasi gak ya?"
"Pegang copyannya. Bukannya Theo yang megang ya?"
"Iya, cuma ini Gue cari di cloud dia gak ketemu, makanya Gue nanya Lo."
"Tanya Theo langsung aja coba, siapa tau yang di Gue udah direvisi kan?"
Adri mengerutkan keningnya heran, "Jev? Lo belum tau?"
"Tau apa?"
"Theo ... dia masuk rumah sakit lagi tadi siang."
"Hah? Kenapa? Baru aja balik bukan? Gue soalnya lagi di Jakarta Dri."
Adri mengangguk, "Pantesan. Dia masuk RS lagi Jev, tapi bukan karena tipes yang kemaren," ujarnya.
"Kenapa? Dia self-harm setelah sekian lama?" tanyanya datar. Bagi Adri itu terdengar seperti kemarahan.
"I-iya. Lo tau juga?"
"Iya, Gue tau."
"Lo tau masalahnya apa?"
"Tau."
Adri sedikit terdiam mendengar jawaban singkat nan dingin dari Jevan. Akhirnya Ia memutuskan untuk tidak bertanya lebih lanjut.
"O-Oke kalau gitu. Kalo Lo besok mau jenguk Theo, gak papa biar Gue dulu yang ke lab Jev."
Terdengar Jevan menghela nafas disana, "Gue gak akan jenguk dia besok Dri. Dia pasti butuh privasi."