Beberapa menit kemudian, Januar dan Adri sudah sampai di lantai tiga rumah sakit itu. Karena Adri sudah pernah menjenguk Theo sebelumnya, Ia sudah tahu dimana kamar Theo. Beruntung bagi Januar, karena tata letak ruangan rumah sakit itu cukup rumit.
"Ini nih, 308," ujar Adri begitu sampai di ruangan yang Ia cari.
Januar mengangguk, kemudian Ia sedikit melihat ke dalam dari celah kaca pintu, "Lagi rame nih kayaknya," ujarnya.
Adri hanya mengangkat bahunya, kemudian Januar membuka pintu itu perlahan.
"Permisi," ujar Januar. Beberapa orang yang ada dalam ruangan itu termasuk Theo langsung melihat ke arah kedatangan mereka berdua.
"Eh, Bang Januar? Sama siapa, Bang?" tanya seseorang. Itu Yola, sepertinya para anggota HIMA Teknologi Pangan sedang menjenguknya. Tampak juga disana Jeffrey, Sesil, dan Vania.
Januar menengok ke belakang, Adri baru saja menutup pintu, pencahayaan yang gelap itu membuatnya belum terlihat.
"Nih, temennya Theo," jawab Januar sembari melirik Adri dan tersenyum seadanya.
"Hai guys," sapa Adri canggung. Ia memang tidak seakrab itu dengan anak-anak di jurusannya sendiri.
"Ooooohhhh," sahut mereka semua dengan ekspresi menggoda kedua orang itu. Adri tiba-tiba saja menjadi canggung, karena ini pertama kalinya Ia dan Januar terlihat bersama dihadapan teman-teman sejurusannya. Lain hal dengan Januar, Ia biasa-biasa saja dan dengan akrab menyapa mereka.
"Gimana Yo? Udah baikan belom?" tanya Januar.
Theo mengangguk lemah, pria itu masih lemas, "Ya you know lah Jan, tipes kan kumatan. Pagi baik-baik aja, sore menjelang malem kumat," ujarnya.
Januar mengangguk paham, "Nih dibawain. Adri doang sih, Gue mendadak aja tadi ikut dia kesini, gak terencana, jadi gak sempet bawa apa-apa," ujarnya menaruh dua goodie bag milik Adri berisi makanan itu.
Theo melihat apa isi goodie bag itu, lalu berdecak sebal, "Lo nih, Gue bilang gak usah bawa apa-apa," ujarnya. Adri hanya mengedikkan bahunya.
"Lo kalo gak mau mending buat Gue deh Yo, dikasih rezeki kok nolak," ujar Jeffrey.
"Adek-adek Lo mana?" tanya Adri kemudian.
"Keluar, makan malem," jawabnya cepat.
Adri mengangguk, begitu juga Januar yang sedari tadi mengamati interaksi dua mapres fakultasnya itu.
"Lo kenapa bisa sakit Yo?" tanya Januar.
"Ya bisa aja lah, Bang. Theo juga manusia," timpal Sesil. Januar hanya tertawa sebagai respon.
"Gak tau, perasaan gaya hidup Gue sehat-sehat aja," jawab Theo.
Adri menggeleng, "Mana ada, kopi lagi kopi lagi, kopi terus, tidur kurang, ngelab tiap hari, pulang malem, junkfood number one, pantes kalo Lo tipes," omelnya.
Theo tersenyum miring, "Lo lagi ngomongin diri sendiri kan?"
"Iya, kamu juga tuh, jaga gaya hidupnya. Jangan kebanyakan begadang sama kopi," timpal Januar.
Adri menghela nafas berat, ya memang sih, dia juga seperti itu, hanya saja Ia tidak suka makan junkfood. Setidaknya itu yang membedakan gaya hidupnya dengan Theo.
Yola menggelengkan kepalanya, "Seumur hidup baru kali ini Gue ngedenger Bang Januar ngomong Aku-Kamu," ujarnya dramatis.
Januar melirik Yola cepat, "Lo mau?" tanyanya dengan wajah serius.
"Ih anjir serem bener nanyanya. Emang cocok Lo sama Adri, sama sama serius," ujar Yola yang mengundang gelak tawa semua orang. Ya memang benar, Januar mode serius itu menyeramkan, serius yang benar-benar serius atau bercanda seperti tadi.
"Pasangan serius ya, keren sih emang," ujar Jeffrey.
Adri hanya menggelengkan kepalanya, "Belum tau aja kalian," ujarnya dalam hati. Bagaimana tidak, kelakuan Januar akhir-akhir ini benar-benar semakin freak dimata Adri.
Mereka kemudian lanjut berbincang dan bercanda soal banyak hal. Sepertinya Theo terhibur akan kedatangan mereka. Sedari tadi Ia tidak berhenti tertawa. Syukurlah, tertawa dan tersenyum adalah obat yang membantu menyembuhkan banyak penyakit, bukan?
****
Sekitar jam delapan malam, Adri dan Januar baru keluar dari rumah sakit tempat Theo dirawat inap. Mereka pulang setelah rombongan anak-anak HIMA Teknologi Pangan. Katanya, mereka masih ada kegiatan di kampus malam ini.
"Proker terdekat BEM apa Jan anyway?" tanya Adri begitu Januar menghentikan mobilnya di lampu merah.
"Dies natalis fakultas, disambung dies natalis universitas," jawabnya cepat.
"Kenapa gitu?" lanjutnya cepat.
"Nanya aja, soalnya anak-anak HIMA sampe sibuk rapat malem ini kan," jawabnya.
Januar mengangguk, "Iya, mereka paling mau rapatin penampilan departemennya di malam puncak. Biasanya gitu," jawabnya.
"Bakalan rame banget dong ya? Dies natalis FT sama ITB deketan gitu, cuma beda umur," ujarnya sembari tertawa.
Januar tersenyum dan mengangguk, "Iya bakal rame, karena fakultas kita punya banyak talent," ujarnya.
"Persiapannya berapa lama lagi? Pasti bakal sibuk banget kamu," ujarnya.
Januar tampak berpikir, "Persiapan dua minggu, itu cukup," ujarnya.
"Soalnya BEM masih harus jalanin program lain di waktu bersamaan, ospek tingkat fakultas. Itu juga proker terdekat. Minggu depan malah," lanjutnya sembari kembali menjalankan mobil begitu lampu lalu lintas berubah hijau.
Adri mengangguk, "Tapi Jan, Aku heran sebenernya," ujarnya menggantung.
"Kenapa?"
"Kenapa harus ada tiga lapis ospek di univ kita. Pertama, ospek universitas, terus fakultas, terus departemen. Aku cuma mikir ... itu gak efektif."
Januar mengangguk, "Memang kesannya gak efektif. Tujuannya gak lain gak bukan, selalu sama, buat bonding. Bakal beda korsa FT kalo dia cuma diospek tingkat universitas bareng fakultas lain Dri," ujarnya.
"Bedanya dimana?"
"Culture. Setiap fakultas itu punya budaya beda-beda, dan di bawahnya, departemen juga punya budaya yang beda lagi. Sedari awal BEM mau mahasiswa FT paham dan menjiwai culture di tempat mereka belajar dan berjejaring."
Adri mengangguk, "Kamu tau gak, dulu Aku gak ikut ospek tingkat fakultas dan departemen?"
Januar tersenyum dan mengangguk, "Tau, makanya Aku gak pernah liat kamu. Baru setelah kamu terpilih jadi mapres, Aku tau ada mahasiswa tekpang namanya Adriana Gerrie."
Adri balas tersenyum, "Iya, dan sebenernya sejak SMP, Aku selalu bertanya, kenapa harus ada ospek? Kalo masalah orientasi dan bonding, Aku rasa semuanya bisa terjadi seiring kita masuk dan belajar di institusi pendidikan itu," ujarnya.
"Mungkin kamu berpikir dari sudut pandang efisiensi waktu. Itu memang masuk akal, dan Aku juga pernah berpikir begitu."
"Cuma setelah jadi aktivis Aku paham akhirnya, kalo gak semuanya bakalan tentang waktu, kerja, dan uang. Rasanya bakal kaku banget Dri, kita butuh sesuatu yang seenggaknya bikin kita ketawa disela-sela kuliah atau kerja. Itu bisa kamu dapet kalau punya banyak temen, baik yang satu frekuensi dengan kamu atau enggak," lanjutnya.
Adri mengangguk, "Kamu berpikir secara holistik," ujarnya.
"Kalau kamu banyak bertemu, mendengar, memahami dan berbicara dengan orang lain, sudut pandang dan cara berpikir kamu sedikit-banyak bisa berubah, tanpa harus mengubah prinsip hidup kamu. Karena itu, ada istilah open-minded."
"Kita bakal bisa memaklumi, memahami dengan baik. Gak hanya memaksakan apa pemikiran kita ke orang lain," lanjutnya.
Adri mengangguk dan tersenyum penuh arti. Kalimat-kalimat Januar tadi memang tidak terlalu mengubah sudut pandangnya, tapi inilah yang Adri paling suka dari pria itu.