Raka Triatmoko pria keturunan jawa sunda, setelah lulus wisuda di Bandung bersama Andini di satu Universitas yang sama. Mereka menjadi sepasang kekasih namun tak pernah benar-benar pacaran layaknya pasangan kekasih yang lainnya. Raka sibuk dengan urusan organisasi di Fakultas dan Andini pun demikian sibuk dengan segudang aktivitas di kampus. Mereka hanya sesekali bertemu dan itupun di kampus selebihnya hanya membicarakan materi perkuliahan.
Tak bisa di pungkiri Andini sangat menyukai Raka, sejak pertama kali bertemu Andini sudah jatuh hati pada Raka. Dan atas bantuan seorang teman mereka menjadi dekat. Singkat cerita percintaan antara Raka dan Andini, tak pernah berjalan mulus selalu tarik ulur enggak pasti.
Raka menyatakan perasaanya ke Andini ketika usai acara amal di kampus, dan Andini tak pernah bisa berkata tidak dihadapan Raka. Karena Raka adalah seseorang yang selalu ada dalam pikirannya. Andini merasa Raka, sosok yang tepat untuknya, mereka bisa berjam-jam berbincang mengenai banyak hal.
Saat itu Andini merasa bahwa ia telah menemukan seseorang yang dapat memahami perasaannya. Andini sangat terkenal wanita berdarah dingin di kampus hingga saat ini. Dan ia mencair setiap berada dekat bersama Raka meski mereka hanya duduk bersama.
Dan setelah malam wisuda, Raka menghilang tak ada kabar tentangnya. Hingga dua tahun setelah kelulusan, Raka datang menemui Andini tanpa terduga. Anehnya Andini selalu saja menunggunya. Mereka kembali bersama, namun setelah itu mereka berpisah kembali. Raka meninggalkan Andini dan kali ini Andini terluka untuk yang kedua kalinya
***
"Mbak, yakin mau seumur hidup bersamanya?" Dhea terus saja bertanya dengan kalimat yang sama dan ini yang kesekian kalinya. Andini memandang tubuhnya di cermin.
"Uda pas belum Mbak Andini?, kalau kurang pas nanti kita rombak lagi jahitannya." Tanya salah seorang pegawai di salah satu salon kecantikan terkenal di daerah Bulungan. Andini tengah fitting gaun pengantin yang akan ia kenakan di pesta pernikahannya nanti, bersama Raka. Terlihat jelas aura bahagia di wajah Andini.
"Mbak, ayolah. Mbak yakin nggak sih sama Mas Raka?" Dhea masih tak menyerah.
Pegawai wanita di samping Andini melirik Dhea dengan tatapan tak bersahabat, kesal terlihat dari wajahnya karena sedari tadi Dhea terus saja membuat pertanyaan yang sama kepada Andini. Dan tak seharusnya Dhea bersikap seperti ini, pikir pegawai itu. Masih mengenakan kebaya berwarna putih tulang dengan border sederhana Andini masih berdiri di depan cermin.
"Mbak sepertinya pas kok, ini agak kebesaran ya." Andini menunjuk ke bagian pinggul.. Pegawai itu dengan cepat melihatnya.
"Iya Mbak, seperti ini ya?" sang pegawai memegang bagian pinggan.
"Iya." Jawab Andini, ketika pegawai itu menarik bagian pinggul Andini.
"Oh iya Mbak Andin, agak longgar ya bagian pinggul. Oke nanti kita betulin lagi."
"Gimana sih Mbak, ini kan udah yang ketiga kalinya. Masak masih aja kurang pas." Dhea sewot menatap ke Mba pegawai itu. Andini menoleh ke Dhea, menggelengkan kepala. Dhea manyun, sebenarnya ia kesal dengan Andini yang tak menghiraukannya dan jadilah pegawai itu bahan pelampiasannya.
Merasa kesal dengan Dhea, pegawai itu menatap Dhea dengan tajam dan mulutnya pun ikutan manyun. Dhea menatapnya lagi, apa? Namun pegawai itu tak menggubris Dhea.
Tiga puluh menit Andini berada di butik itu dan akhirnya selesai juga. Dhea mengeluarkan handphone, membaca dengan serius pesan dari handphonenya.
"Mbak, aku duluan ya. Mister Besi itu ngajak ketemuan. Hari ini Mbak." Dhea kegirangan memeluk Andini, si Mbak pegawai menatap Dhea dengan wajah aneh, tadi aja manyun kenapa jadi berubah, gumam si pegawai. Merasa ditatap dengan aneh oleh Si Mbak, Dhea melirik dengan tajam, kedua matanya melebar. Kalau udah begini, Dhea terlihat menakutkan. Andini menyenggol lengan Dhea, memberinya isyarat dengan tatapan mata. Dhea kesal, Andini membela si pegawai itu.
"Aku duluan ya Mbak, maaf nggak bisa nungguin sampai kelar."
"Oke, sudah sana cepat pergi."
"Oke, aku pergi Mbak." Dhea mencium pipi kanan Andini dengan cepat, Andini hanya tersenyum. Dhea memang selalu seperti itu, sikapnya yang seperti bunglon cepat moody. Dan Andini sangat memahaminya. Andini kembali tersenyum sama Mbak pegawai salon, setelah ia melihat Dhea telah menghilang di balik pintu.
"Gimana Mbak?" tanya si pegawai.
"Oke, Mbak. Saya mau yang ini aja ya. Tapi dikecilin lagi bagian pinggulnya ya."
"Siap Mbak Andin." pegawai itu mengambil gaun yang diberikan Andini.
"Mbak, calon prianya besok jadi kan ke sini?" tanya si Pegawai.
"Iya, jam sepuluh." Tegas Andini.
"Iya Mbak." Pegawai salon itu mengembalikan gaun itu ke tempat semula di gantung dan diletakkan berjajar dengan gaun-gaun yang lain.
"Terima kasih ya Mbak, saya pamit dulu." Andini berpamitan.
"Salam buat Mbak Rosi ya, inshallah minggu depan saya ke sini lagi." Lanjut Andini.
"Iya Mbak, tadi juga Bu Rosi telepon saya, beliau minta maaf hari ini enggak bisa bertemu sama Mbak , karena salah satu keluarga besarnya sedang merayakan pernikahan."
"Oke, saya duluan ya. "
Pegawai itu berjalan di sisi kanan Andini mengantarnya sampai pintu.
"Hati-hati ya Mbak Andin."
Di depan butik taksi sudah menunggunya, sebelumnya Dhea telah memesan Taksi untuk Andini. Hari minggu, Andini tak pernah bepergian dengan mobil kendaraan kantor. Dan kebetulan tadi Dhea menemaninya ke salon dengan mengendarai mobil milik Dhea. Andini masih tersenyum, membuka pintu taksi.
"Gajah Mada, Apartemen Gajah Mada ya Pak."
"Baik, Bu."
Taksi berjalan melambat, Harianto, tertulis di Name Card sang sopir yang terpampang di dasboard depan. Andini membacanya dengan jelas. Berkumis tipis, Andini meliriknya sesaat kemudian memalingkan tatapan ke sepanjang jalan. Taksi sudah memasuki jalan Sudirman. Lengang, minggu siang seperti ini. Andini mendengar nada WhatsApp.
Sayang, sorry ya, aku belum bisa nemenin kamu.
Andini membaca pesan melalui WhatsApp dari Raka dan membalasnya cepat.
Nggak apa-apa, aku udah balik.
Hati-hati ya, jaga kesehatan. Oke, love you.
Love you too..
Balas Andini.
Sepanjang perjalanan Andini masih terngiang dengan kalimat Dhea berulang-ulang. Benarkah dia yakin dengan pilihannya, menikah dengan Raka.
Ah, Dhea ... aku hanya ingin bersamanya.