"Andin, aku selalu berharap kamu nggak bersamanya atau bahkan aku selalu berdoa agar kamu nggak bertemu dengannya lagi. Tapi ..." Argo menangis, Andini bingung apa yang harus dilakukannya. Beberapa pasang mata memperhatikan dirinya dan Argo. Mentari pagi menyeruak, menerpa wajahnya dibalik kaca jendela berukuran besar. Dan beberapa dari penghuni apartemen telah kembali dari berolahraga.
"Argo, maafkan aku," ujar Andini terbata.
"Andin, aku mencintaimu dan masih mencintaimu. Aku akan selalu menunggumu." Argo menunduk. Dengan berani Andin berdiri, berpindah duduk disamping Argo. Memegang pundak Argo dengan erat.
"Maafkan aku, Argo." Suara Andini bergetar.
Mereka berdua terdiam, Mentari semakin mencuat, sinarnya memenuhi seluruh ruangan. Andini hanya bisa mendampinginya, tak lebih. Meski sakit Argo karena dirinya, Andini tak bisa berbuat apa-apa. Maaf!
Malam itu sebelum pagi ini terjadi, hujan tak begitu lebat, dalam balutan kaos jaket berbahan kaos warna abu-abu bertopi, Raka berdiri di depan Starbuck restoran favorit Andini. Tersenyum lebar menyambut Andini. Dua cup minuman sudah tersedia di atas meja, mengepul asapnya dan Andini melirik sesaat.
Chocolat Hazelnute, Andini tersenyum manja menatap Raka. Benar cinta tak pernah bisa tertutupi. Andini selalu tersenyum sepanjang perjalanan hingga duduk di hadapan laki-laki bertubuh gempal itu. Seakan dunia hanya miliknya, milik Andini dan Raka. Malam itu pengunjung tak banyak, pukul 23.50 wib.
Tiba-tiba terdengar dering pesan dari handphone Andini saat ia berada di apartemen beberapa jam sebelumnya.
Kutunggu di Strawberry Caffee, sekarang.
Tertulis di layar handphone Andini via WhatsApp.
Andini bergegas mengganti pakaian, wajahnya nampak sumringah. Gerimis kecil diluar tak dipedulikannya. Ia berjalan dengan tergesa, menyeberang jalan dengan senyuman mengembang. Berhenti sejenak di depan pintu masuk Cafe, ketika dilihatnya sosok laki-laki yang sangat ia cintai. Andini masih tersenyum, mengibaskan rambutnya. Dan seorang pelayan membantu membukakan pintu. Pelayan itu tersenyum kepada Andini.
"Selamat malam Mbak." Sapa pelayan restoran itu, sudah sangat mengenal Andini.
Andini mengangguk, berjalan melewati pelayan dan menuju ke sofa sudut kanan.
"Secangkir Chocolate Hazelnuts", Raka menunjuk ke meja, Andini tersenyum merona. Tak terungkap bahagia dalam hatinya. Pelayan dan Barista memperhatikan Andini, terheran. Wanita itu akhirnya tersenyum bahagia, dari tatapan wajah mereka.
"Kapan kamu sampai?" Andini menjatuhkan tubuhnya ke sofa, kemudian mengangkat minuman hangat di hadapannya, dihirupnya dengan memejamkan mata. Raka memperhatikan Andini, tersenyum. Andini terlihat cantik dengan rambut basah dan wajahnya yang lembab karena rintikan hujan.
"Andin, kamu cantik malam ini." Raka menatap tajam Andini, Andini hanya meringis, pipinya memerah.
"Maafkan aku, mengganggu tidur kamu." Lanjut Raka.
"Enggak, aku enggak terganggu." Jawab Andini, menyesap minumannya.
Andini, terlihat canggung dan grogi Raka menatapnya tak berkedip. Tanpa disadari, Andini menyesap minuman panas. Raka tersenyum melihat tingkah Andini.
"Sudah, nanti tenggorokanmu terluka." Raka meraih cangkir dari tangan Andini. Andini termangu.
"Jangan menatapku seperti itu." Andini mengambil tisu, mengelap wajahnya yang basah.
"Aku suka melihatmu salah tingkah dihadapanku."
"Raka, kita bukan anak SMA lagi, jangan seperti ini padaku." Wajah Andini makin merona.
Raka sengaja melakukannya, Andini, wanita dihadapannya kini sangat mencintainya. Raka mengakui itu, dan kini semburat rasa bersalah bergelayut dalam dirinya.
"Maafkan aku Andin." Wajah Raka seketika berubah.
"Hei, kenapa?"
"Aku terlalu sering menyakitimu."
"Raka, sudahlah. Saat ini, aku bahagia dan telah lupa dengan masa lalu."
Ah, Andin, mengapa kamu tak pernah marah padaku atas semua yang pernah kulakukan padamu. Raka semakin merasa bersalah.
"Menikahlah denganku." Raka tiba-tiba menarik tangan Andini dan menyematkan cincin di jari manisnya. Cincin emas putih polos terpasang di jari manis Andini. Andini terpaku, diam, tak berkedip. Benarkah?, atau ini hanya mimpi. Lama Andini tertegun tak bergeming. Andini masih tak mempercayainya. Seluruh mata tertuju pada mereka berdua.
"Andini, jadilah istriku.?" Untuk yang kedua kalinya.
Andini masih terdiam menatap Raka. Apa yang terjadi padanya, bathin Andini. Benarkah yang kini tengah ia alami benar-benar bukan mimpi.
"Andini.." Suara Raka terdengar keras, Andini terkesiap.
"Raka ...."
"Aku serius Andin. Menikahlah denganku."
Tanpa berpikir lagi Andini mengangguk, lalu tersenyum. Kedua matanya berbinar menatap Raka lekat sekali. Mereka bak patung tak bernyawa saling bertatapan, suara alunan lagu terdengar sangat romantis.
Menantimu hingga saat cintaku temukan dirimu.
Usai sudah sampai di sini, berdiri melabuhkan asmara.
Menikah denganku, menempatkan cinta,
Melintasi perjalanan usia.
Menikah denganmu, menetapkan jiwa.
Bertahtakan kesetiaan cinta selamanya.
(Menikahimu, Kahitna)