"Assalamu'alaikum ..."
Terdengar suara keras dari ruang tamu, Andini masih duduk di depan kaca berukuran besar di dalam kamarnya. Dari balik jendela, Andini menatap keluar sisa embun masih menempel di kaca jendela kamar. Hujan semalam masih tersisa di dedaunan pohon mangga samping kamar tidurnya. Andini meremas tangannya, menarik nafas, gemetar, deg-degan.
Suara pintu kamar terbuka.
Sreeekk.
"Mbak Andin." Dhea menyembul dari balik pintu. Wajah Andini datar, tak tersenyum.
"Mbak, rombongan keluarga Mas Raka sudah tiba."
"Alhamdulillah ..." Andini menarik napas lega.
"Boleh pesan Teh hangat?"
"Baiklah." Dhea menghilang di balik pintu.
Kamu yakin ingin menikah dengan laki-laki itu?
Kalimat ayah masih terus terngiang di telinga Andini.
Aku mencintainya ayah.
Jawab Andini dengan tegas, sang ayah hanya mendesah.
Ayah hanya ingin kamu bahagia dengan laki-laki yang akan menjadi pendamping hidupmu nanti. Jangan tergesa-gesa karena usiamu, ayah khawatir..
Ayah menghentikan kalimatnya, tertunduk. Andini menghampiri laki-laki yang sangat ia sayangi itu. Rambutnya telah memutih, tubuhnya sudah tak kekar seperti dulu lagi.
Ayah, aku yakin dengan pilihanku.
Andini menggenggam tangan sang ayah dan memeluknya. Laki-laki itu kini duduk diatas kursi roda. Setahun yang lalu, ayah terjatuh di kamar mandi, dan baru diketahui ia memiliki kolesterol tinggi, semua kaget dan tak menduga ayah yang selama ini terlihat sehat tiba-tiba stroke dan tak bisa berbuat apa-apa lagi.
Ibu Andini sangat telaten membantu terapi sang ayah, setiap pagi menemaninya menggerakkan kedua kaki ayah. Beruntung ayah hanya mengalami stroke di kedua kakinya. Dan menurut dokter, ayah masih bisa berjalan dengan normal karena stroke yang diderita ayah masih tergolong ringan. Hanya saja karena keinginan Andini dan kedua kakaknya, ayah dibelikan kursi roda agar tak terlalu capek menggunakan tongkat.
Butiran bening jatuh di pipi Andini. Ayah sangat dekat dengan putri bungsunya itu. Andini tak pernah jatuh cinta dengan laki-laki lain sejak hatinya tertambat pada Raka, cinta pertamanya.
Namun, ayah tidak memiliki perasaan yang sama dengan Andini terhadap Raka. Ayah merasakan cinta Andini terlalu kuat untuk Raka. Andini meyakinkan ayah dan ibu pun ikut membantu memberi pengertian. Bukan karena ayah tak menyetujui pilihan Andini. Ayah senang bahkan kelewat senang Andini akhirnya akan menikah. Ayah hanya terlalu sayang dengan Andini.
Andini menarik nafas lagi, kali ini tersenyum menatap tubuhnya sendiri di depan cermin. Balutan kebaya putih warisan sang ibu yang kini ia kenakan pas sekali di tubuhnya yang langsing. Kebaya berlengan tiga perempat itu sangat sederhana hanya ada kancing depan berleher sabrina dan tak ada mote-mote hanya bordilan saja. Rambut Andini diikat kebelakang penuh dengan pita putih mirip sanggul pemberian Dhea.
"Hei ... ayo keluar." Tiba-tiba Mbak Sarah sudah berdiri di pintu.
"Tunggu Mbak." Dhea menerobos membawa secangkir teh hangat dan diberikan ke Andin.
"Bentar ya Mbak, aku minum teh hangat dulu. Perutku senep."
Andini menerima pemberian Dhea, menyeruputnya dengan pelan. Dhea tahu teh yang ia buat tak terlalu panas, panas-panas jambu kalau istilah orang jawa.
"Kamu ini gimana sih. Ini kan baru lamaran. Belum nikahan loh. Udah nervous." Mbak Sara mendekati Andini, membetulkan pakaian Andini.
"Siap?" tanya Dhea.
Andini mengangguk, menggandeng tangan Mbak Sara dan Dhea. Mereka berdua mengapit Andini. Berjalan menuju pintu.
Mereka bertiga berhenti bersamaan dan saling pandang. Ketiganya tersenyum, Dhea sadar, manyun. Pintu kamar Andini tak akan muat untuk mereka bertiga. Andini dan Mbak Sara, kakak perempuan kedua Andini, tersenyum bersamaan.
Seminggu sebelum acara lamaran ini, Andini disidang oleh keluarga besarnya. Ketika ia menghubungi kedua kakaknya, Mas Saipul dan Mbak Sara untuk datang kerumah. Andini menjelaskan ke mereka atas rencana pernikahannya dengan Raka.
Mas Saipul meyakinkan Andini, apakah ia benar-benar yakin dengan pilihannya. Walau sejak jaman kuliah Andini, Mas Saipul sudah tahu hubungan Raka dan Andini. Hanya masalahnya, Raka menghilang beberapa tahun dalam kehidupan Andini dan kini mereka bertemu kembali. Begitu pula dengan Mbak Sara, kakak perempuannya itu tak ingin Andini masih terbawa cinta masa remaja dengan Raka.
Dan mereka khawatir keputusan Andini untuk menerima Raka terlalu cepat. Andini meyakinkan keluarganya, bahwa Raka bersungguh-sungguh ingin menikahinya. Hanya Ibu yang tak pernah banyak bicara. Menerima semua keputusan Andini dengan penuh pengertian.
Kenapa ibu tak seperti ayah, Mas Saipul dan Mbak Sara.
Tanya Andini setelah malam debat panjang yang lalu.
Ibu wanita Andini, sama seperti kamu. Kamu itu persis dengan Ibu. Mencintai seorang laki-laki dengan sangat dalam. Seperti ibu kepada ayah.
Ibu membelai rambut Andini.
Terima kasih Bu.
Jawab Andini lirih, memeluk sang ibu.
---
"Kakek lihat Tante Andini cantik, kan." Rangga anak semata wayang kakak pertama Andini, berusia delapan tahun berlari menerjang Andini. Untung saja Andini tak terjatuh, Mbak Sara menahan tubuhnya. Semua mata tertuju pada Andini, wajah Andini merona.
Raka duduk bersebelahan dengan kedua orang tuanya. Hanya enam orang yang datang, Raka, ayah dan ibunya, adik perempuan Raka dan suami serta keponakan perempuannya yang bertubuh gembul, Nazwa. Duduk di kursi berseberangan dengan keluarga Andini.
Andini duduk di sebelah kanan ayah dan ibu, Mbak Sara di sebelah kanan Andini dan di belakang Mas Dirga suami Mbak Sara, Mbak Ira istri Mas Saipul dan Dhea. Yah hanya keluarga inti tak ada tamu yang lain. Raka tak berkedip menatap Andini.
Berkali-kali Andini tersipu malu ditatap dengan tajam oleh Raka, jantungnya berdebar kencang, kedua telapak tangannya dingin berkeringat, dan ia meremasnya kuat.
Aahh tatapan itu masih membuatku tak berdaya. Ayolah Andini, dia akan selamanya bersamamu, mulai detik ini.
Tak banyak basa basi dan acara berlangsung dengan lancar. Semua sesuai yang telah direncanakan. Cincin manis berwarna perak dengan tulisan inisial keduanya R&A disematkan di jari manis Andini. Semua menatap Raka dan Andini. Ibu Andini terharu, meneteskan air mata.
Ibu, ini hanya lamaran.
Andini menatap ibubya, tersenyum dan serasa ingin sekali memeluknya. Ibu tak pernah terlihat sebahagia ini hingga menangis. Begitu pula dengan ayah Andini, menahannya lebih kepada menjaga wibawa, Andini sangat yakin sang Ayah menahan air mata, ia beberapa kali mengerjapkan kedua matanya. Dhea mengangkat kedua ibu jari, tersenyum. Semua tersenyum bahagia.
"Selamat ya Andin." Mbak Ira mencium pipi kanan Andini.
"Terima kasih Mbak."
"Kamu cantik Andin." Mbak Ira mengerlingkan mata.
"Aku juga cantik Mbak Ira." Mbak Sara tak mau kalah, menyenggol lengan Andini.
"Iya deh kalian berdua cantik."
Mereka tertawa bersamaan.
"Aku pulang dulu ya Andin, Sarah." Mbak Ira berpamitan.
Mas Saipul sudah lebih dahulu menggendong Rangga ke mobil. Mereka tak bisa menginap karena Rangga ada acara di sekolah minggu pagi. Dan ia tak mau meninggalkan acara itu walau kami semua membujuknya untuk menginap bersama.
Mba Sara berpamitan dengan ayah dan ibu, pun dengan Dhea. Yah Dhea sudah sangat dekat dengan keluarga Andini. Semua melambaikan tangan mengantar sampai teras depan.
Hari yang melelahkan, namun bahagia..
Bersambung ...