"APA? NGGAK MUNGKIN."
Andini terkulai lemas, jari-jari tangannya gemetar. Dhea mendekati, tangan Andini lebih cepat terangkat, meyakinkan Dhea, aku baik-baik saja. Dhea masih terus memandangi Andini. Bingung, ada rasa takut dan tak tahu apa yang harus ia lakukan untuk saat ini. Dhea masih berdiri, terpaku menatap Andini hanya diam termangu tak berkata apa-apa.
"Mbak, gimana nih?" Dhea terlihat cemas, tak seperti biasanya.
"Tenang Dhea, aku yakin ini hanya kesalahpahaman saja. Tunggu!" Andini berdiri, memegang tangan Dhea.
"Apa kamu pernah melakukan sesuatu tanpa sepengetahuan aku, Dhea?" mata Andini tajam menatap Dhea. Dhea menggeleng dengan cepat.
"Mbak, Mbak nggak percaya sama Dhea. Demi Tuhan Mbak, semua yang Dhea lakukan pasti atas seijin Mbak Andin." Mata Dhea berkaca-kaca.
"Mbak, apa yang harus Dhea lakukan. Sumpah Mbak, Dhea nggak pernah melakukan hal diluar apa yang Mbak ajarkan selama ini sama Dhea."
"Dhea, maafkan aku. Sungguh, aku juga berpikir kamu nggak akan seperti itu. Tapi.." Andini duduk kembali, Dhea masih berdiri kaku.
"Dhea, kamu harus ingat. Jangan pernah mengatakan masalah ini pada siapapun sebelum semuanya benar-benar terbukti. Ada sesuatu, yah aku yakin ada sesuatu atas semua masalah ini." Andini berdiri kemudian memeluk Dhea.
"Mbak, maafin Dhea."
"Kamu nggak perlu meminta maaf, aku yakin semuanya akan baik-baik saja. Aku akan mengurusnya sendiri."
"Tapi Mbak, Mbak Dewi dan Dewan direksi."
"Dhea," Andini melepaskan pelukannya, menatap Dhea.
"Dengerin Mbak, kamu mulai saat ini harus berhati-hati kemanapun pergi selalu kabari aku." Dhea mengangguk.
"Aku takut Mbak."
"Tenang, semua pasti akan membaik."
Andini tersenyum, meski sebenarnya ia sendiri berusaha untuk menenangkan dirinya sendiri. Dhea pun tahu, Andini sebenarnya merasakan apa yang kini tengah ia rasakan.
***
Menara Exa, Andini berjalan dengan anggun, tersenyum ke semua karyawan yang ia temui. Dengan mengenakan baju batik motif semar berwarna dominan hijau dengan celana bahan warna hitam dan sepatu bot hitam, dipermanis dengan kalung panjang bertengger di lehernya berbahan perak liontin berbentuk gajah, lucu namun terkesan imut. Andini masih terus tersenyum.
Ting..
Pintu lift terbuka, Andini masuk dengan beberapa karyawan di samping kanan kirinya. Tangan kanan Andini menjinjing tas berbahan anyaman dari daun pandan, pemberian dari salah satu nasabah yang memiliki usaha kerajinan tas anyaman. Natural sekali penampilan Andini pagi ini.
Andini menekan angka lima, namun tiba-tiba pintu lift terbuka.
"Selamat Pagi ..." Argo berdiri di depan pintu lift, menyeringai. "Hai Andin." Sapanya.
Andini hanya tersenyum. Beberapa pasang mata memperhatikan Argo, namun ia cuek dan masuk berdiri disamping Andini. Terpaksa seorang laki-laki berusia sama dengan Argo menggeser ke kanan, karena Argo berusaha untuk berdiri di samping Andini. Andini hanya mesem melihat tingkah laku rekan kerjanya itu.
Ia ingat pagi ketika Argo tiba-tiba berdiri di depan kamar apartemennya jauh berbeda dengan yang ia lihat saat ini. Argo sepertinya tak pernah mengalami pagi itu bersama Andini, terlihat sumringah dan percaya diri.
"Kamu selalu cantik Andin." Kata Argo ditelinga Andin. Andini hanya mesem.
1 … 2 … 3 … 4 ...
Ting ...
Pintu Lift terbuka, Andini keluar di ikuti Argo di samping kanannya, terus tersenyum menatap Andini.
"Selamat pagi Mbak Andini." Sapa seorang operator dan satpam di depan pintu masuk.
"Pagi ..." jawab Andini tersenyum manis.
"Silahkan Mba, di ruang meeting." Tika seorang karyawan berambut pendek, berpenampilan cuek membawa Andini ke dalam ruangan.
"Mas Argo ikutan juga ya." Tanya Tika menoleh kebelakang.
"Iya." Jawab Argo mesam mesem, kedua alis Tika berkerut menatap Argo.
"Nggak, aku ada urusan lain Tika." Jawabnya cepat.
"Oh kirain." Tika berjalan lebih dulu.
"Silahkan Mbak Andin."
"Oh iya Oke, Makasih ya" Tika memberikan sekotak Snack yang ia ambil dari meja sisi kanan dekat jendela kaca yang sudah tersedia. Tika melirik ke Argo, masih berdiri di sisi kanan Andini.
"Mas Argo."
"Eh, iya Tika." Argo gelagapan.
"Kok masih berdiri di situ, mau ketemu siapa seh?"
"Oh, aku mau ketemu sama Mas Dahlan. Ok, see you Tika." Argo balik arah meninggalkan Tika.
"Andini, aku pergi dulu ya." Argo mengerling tersenyum genit. Kedua alis Tika terangkat, geleng-geleng menyaksikan tingkah laku Argo. Andini hanya tersenyum.
"Mba Andin, Tika tinggal ya."
"Oke, Tika."
Tika pergi meninggalkan Andini seorang diri. Andini mengeluarkan syal dari dalam tasnya. Terasa dingin dan ia sematkan di pundaknya. Menyalakan laptop kemudian sibuk mengetik.
CLING ...
Suara pesan dari Samsung Android Andini.
Mbak, uda sampai di Kantor Pusat?
WhatsApp dari Dhea.
Uda, baru aja. Kamu di mana sekarang?
Di kantor cabang Mbak .
Oke, untuk hari ini nggak jadwal ketemu nasabah kan? Stay aja ya tunggu aku sampai selesai meeting.
Oke Mbak, Siap.
Bye.
Bye Mbak Andin
Baru saja Andini meletakkan kembali Samsung Androidnya, seseorang membuka pintu.
"Selamat pagi Andini."
"Pagi Mas Roy." Jawab Andini tersenyum lebar.
"Wah kamu memang selalu menjadi yang terbaik Andini." Laki-laki dengan postur tubuh kurus menjulang berkacamata tebal dan berkulit sawo matang, dengan sapaan Mas Roy itu berjalan di sebelah kanan Andini, menarik kursi kemudian memandang keluar pintu sebentar dan menjatuhkan tubuhnya.
"Jam 9.30 udah siap di tempat." Mas Roy melirik pergelangan tangannya, arloji warna silver terikat di pergelangan tangan kanannya. Andini lagi-lagi hanya tersenyum.
Roy Ahmad, Head Of Busines itu memang seorang laki-laki stylish. Usianya sekitar 45-an. Memiliki dua orang putra dan terkenal sangat baik hati dan ramah.
"Apa kabar Mas Roy?" Andini menggeser laptopnya ke sisi kanan.
"Alhamdulillah, baik. Kamu masih tetap cantik saja Andin."
"Ah, Mas Roy. Biasa aja." Wajah Andini memerah, meringis.
"Sebentar lagi mereka juga datang. Emang bahas apaan Andini, kok mereka tiba-tiba manggil kamu."
Andini, menahan naPas sejenak. Mas Roy berarti tidak mengetahui masalah ini.
"Nggak tahu Mas, kan aku juga baru mau ketemu mereka." Terpaksa Andini berbohong, karena menurutnya ini lebih baik sebelum masalah itu benar adanya. Andini sendiri masih bingung tentang kejelasan masalah yang tengah dihadapi saat ini. Belum ada fakta dan bukti yang kuat tentang semuanya. Andini harus berhati-hati.
"Kemarin sekitar dua hari yang lalu, Mbak Dwi memintaku menemuinya."
"Mbak Dwi?" Mata Andini membesar mendengar nama Dwi. Iyah selain Dwi Anggraini sebagai atasannya saat ini yaitu Direktur utama perusahaan ini, ia pun sebagai teman dekat Andini. Dulu mereka pernah bekerja satu kantor di perusahaan yang sama dan sama-sama memulai dari bawah.
Dwi Anggraini wanita ambisius dan memiliki sifat yang jauh lebih agresif ketimbang Andini. Andini mencengkram kedua tangannya, namun ia berusaha untuk tenang. Jangan-jangan mereka sudah tahu tentang masalahnya. Nggak, nggak mungkin. Kalau pun mereka tahu, pastinya Mas Roy nggak akan bersikap seperti ini padanya.
"Mbak Dwi hanya memintaku memberikan data nasabah yang kamu pegang selama ini. Itu aja kok. Aku pikir mah itu biasa. Tapi kan selama ini Mba Dwi nggak pernah minta langsung. Tapi sudahlah, mungkin dia lagi nggak ada kerjaan, iya, kan." Roy meringis lalu mengerling.
Andini hanya mesem, ia sangat mengenal Dwi Anggraini, dengan sangat. Berarti sejauh ini mereka sudah menyelidikinya.
Oh, Tuhan ... nggak mungkin. Aku nggak pernah melakukan itu.
Bersambung ...