Andini tersentak Argo telah berdiri di depan pintu Apartemennya.
"Argo."
Argo menoleh tersenyum menatap Andini, wajahnya sayu tak seperti biasanya. Laki-laki di hadapan Andini itu terlihat lemas tak seperti biasanya. Argo tak pernah terlihat semrawut seperti ini, bathin Andini. Ada apa dengan Argo, apa yang terjadi padanya?.
"Andin, maafkan aku." Argo berusaha berdiri dengan tegak, meski Andini dapat melihatnya Argo terlihat pucat.
"Ada apa Argo, kenapa kamu pucat sekali?" Andini mendekat, menyentuh kening Argo dengan sedikit keberanian.
"Oh, Andin. Aku semalaman nggak bisa tidur." Argo mengusap wajahnya, berusaha tersenyum.
"Apa yang kamu lakukan pagi-pagi di sini?" Andini melirik jam di pergelangan tangannya, 6.00 wib. Dan Andini telah siap dengan pakaian olah raga dan sepatu kets, melakukan rutinitas rutin pagi hari, berolahraga ke Taman Kota.
"Andin, maaf kan aku!" Argo tiba-tiba memegang tangan Andini. Andini terkaget, dengan cepat menarik tangannya.
"Bisakah kita bicara sebentar?" lanjut Argo. Dan beberapa penghuni apartemen berlalu lalang di sepanjang lorong apartemen, karena kamar Andini terletak di sebelah kanan Lift. Beberapa yang melewatinya memperhatikan mereka berdua dengan tatapan aneh. Andini merasa tak nyaman.
"Argo bisa kita bicara di lobby." Andini menarik lengan Argo, masuk ke dalam Lift. Sebelum pintu lift tertutup, tak peduli dengan tatapan aneh yang lainnya. Andini tak mengerti mengapa Argo bersikap aneh seperti ini. Bukankah, terakhir mereka bertemu di kantor Argo terlihat baik-baik saja dan sepanjang hari bersenda gurau bersamanya.
Tapi kali ini ... 30 ... 29 … 28 … 27 ... ah mengapa lift terasa melambat. Argo masih menatapnya tak berkedip, berdiri di samping kanan Andini, dan empat orang lainnya berdiri agak berjauhan. Dari kaca lift Andini bisa melihatnya dengan jelas, Argo tak berkedip menatapnya. Andini menahan nafas.
Ting tong…
Pintu lift terbuka, Andini keluar di ikuti Argo dari belakang. Ia memilih sofa dekat dengan jendela. Argo mengekor, Andini menyuruhnya duduk mereka saling berhadapan. Namun tiba-tiba Argo menangis, air matanya tak tertahan lagi. Andini makin bingung, apa yang terjadi padanya.
"Andin." Suara Argo serak. Ia menegakkan tubuhnya menatap Andini.
"Aku ... aku ... " Argo menghentikan kalimatnya, kali ini ia menunduk, menarik nafas dan mendongak menatap Andini dengan lekat.
"Andin, maafkan aku. Semalaman aku nggak bisa tidur mikirin kamu." Andini tercekat, yah ia tahu sangat tahu. Laki-laki di hadapannya ini sangat mencintainya, dan dengan terang-terangan Argo memperlihat perhatiannya pada dirinya. Tapi..
"Andin, aku nggak tahu lagi harus ngomong apa. Setelah sekian kali aku ungkapkan perasaanku sama kamu. Tetap saja aku nggak bisa menerimanya. Kamu sama Raka." Argo berhenti, menunduk kembali, tangannya gemetar. Andini melihatnya dengan jelas, apakah Argo telah mengetahuinya. Bukankah ia masih merahasiakan kabar bahagia itu, hanya Dhea, yah hanya bocah itu yang tahu tentang rencananya. Tak mungkin..
"Beneran, kamu mau menikah?" Argo menatap Andini dengan wajah sayu. Andini terdiam, luka itu terlihat di mata Argo. Tidak, Andini tak ingin membuat Argo terluka. Bukan untuk kali ini, walau ia tak pernah bisa memberikan hatinya kepada Argo. Namun bukan berarti Andini tak menyayanginya.
Andini butuh waktu untuk memberitahu kabar bahagia itu kepadanya. Tapi bukan seperti ini, Andini bagaimana pun dapat merasakan kehancuran dalam diri Argo. Ia pernah merasakannya, merasakan kehilangan seseorang yang sangat dicintai. Ketika Raka pergi beberapa tahun lamanya, meninggalkannya. Dan ia tak pernah bisa menyalahkan Raka, karena tetap saja ia mencintai laki –laki bernama Raka itu.
"Argo ...." suara Andini melemah, menatap Argo dengan iba.
"Maafkan aku." Lanjutnya. Dan terdiam sesaat.
"Aku ..."
"Andin, aku nggak sengaja mendengar percakapan kamu dan Dhea, aku pikir itu hanya candaan. Tapi ... kemarin siang, aku melihatmu tanpa sengaja di salon itu. Saat itu aku melihat kamu sama Dhea keluar dari mobil dan aku pun hendak menyapamu, namun kalian masuk kedalam salon, aku mengikuti kalian. Dan saat itu … aku hancur. Nggak mungkin, aku meyakinkan diriku sendiri. Namun setelah kepergianmu dari salon itu, aku memastikannya kepada salah satu pegawai. Aku tak bisa tidur dengan nyenyak."
"Argo ..." hanya itu yang keluar dari bibir Andini, betapa ia dapat merasakan kesedihan Argo. Argo-lah yang selama ini menghibur hatinya ketika ia tengah mengalami masa-masa sulit dan ketika ia merasa kesepian.
Argo yang selalu membuatnya tersenyum dan selalu ada untuknya. Selama penantiannya terhadap Raka. Andini tak bisa menyalahkan Argo atas cintanya kepada dirinya. Namun Andini tak berdaya, ia tak pernah bisa mencintai Argo, hatinya telah berlabuh pada Raka.
Bersambung ...