Awal Bulan Maret ...
Andini berjalan menyeberang ke arah kedai kopi, kali ini ia sendiri tak ditemani Dhea. Ia sengaja memarkir mobilnya di seberang jalan. Kedai kopi yang berada di Jalan Radio Dalam itu terlihat ramai. Tepat pukul delapan malam Andini tiba di sana. Beberapa pasang mata menatapnya ketika ia membuka pintu kedai. Suara alunan music dari stereo yang terpasang di sisi kanan kiri dinding menambah suasana di kedai kopi itu sangat menyenangkan.
Andini menahan kakinya, beberapa menit menarik napas, menikmati aroma semerbak kopi di ruangan itu. Memejamkan mata, lalu kemudian menarik nafas dalam. Ia memang bukan pecinta kopi seperti Dhea dan teman-teman kantornya tapi Andini bisa merasakan aroma kopi yang menyengat hidung itu. Andini mengedarkan pandangan, mencari sosok yang ia ingin temui. Seorang wanita cantik melambaikan tangan ke arahnya, ia duduk di sudut kanan dekat dinding mengenakan kaos putih dan celana jeans rambutnya yang hitam panjang terikat ke belakang, lehernya bertengger syal warna warni pelangi dan kacamata hitam di tergantung di kerah bajunya, Michele.
"Andini apa kabar?" Michele berdiri tersenyum lebar.
"Baik." Jawab Andini lalu mereka berdua berpelukan.
"Michele, aku hampir nggak kenal loh sama kamu." Andini menatap Michele dengan terkagum-kagum.
"Hmmm ... ini tuntutan pekerjaan Din."
"Oh yah?"
"Hoh. Duduk yuk." Ajak Michele.
"Gimana? Ceritain dong bisnis kamu." kata Andini.
Andini menjatuhkan tubuhnya ke sofa empuk berbahan beludru itu terus menatap Michele. Kini wanita di hadapannya itu sangat berbeda. Michele terlihat lebih muda dan fresh dari beberapa bulan yang lalu terakhir mereka bertemu. Andini tahu sahabatnya itu kini menjadi salah satu pengusaha garmen terkenal di Indonesia, usahanya berkembang dan Michele menjadi salah satu ikon fashion remaja anak sekarang.
"Ayo, ceritain dong gimana bisa sukses. Aku penasaran neh sama kamu."
"Din, maaf ya. Aku baru bisa nemuin kamu."
"Ah, Chele. Udah nggak apa-apa. Kamu kan sekarang sibuk banget."
"Iya Din, aku terima kasih sama kamu udah percaya sama aku. Bisnis ini semoga berjalan terus. Kamu lihat, kan?" Michele menunjuk dirinya sendiri.
Andini mengangguk.
"Ini, dandanan ini semua dari perancang aku. Aku harus ikut trend model, karena menurut mereka aku sekarang tengah jadi sorotan karena bisnis aku yang berhasil. Yah udah aku ikutan aja." Michele tersenyum lebar, Andini ikut tersenyum.
"Aku senang mendengarnya Chele. Setiap kali baca berita tentang kamu, sungguh aku bahagia. Kamu berhasil."
"Semua karena kamu, Andini." Michele meraih tangan Andini, menggenggamnya.
"Makasih Din."
"Hmm.."
"Oh ya hampir lupa. Aku pesanin coklat hangat yah. Sebentar ..."
"Frappuccino ..." Jawab Andini dengan cepat.
"Apa? Frap ...." Michele menatapnya dengan wajah heran.
Andini mengerling, "Yups ... Frappuccino."
"Baiklah, Frappuccino." Michele tersenyum lebar.
Michele mengangkat tangan ke arah salah satu pramusaji yang tengah berdiri dekat pintu masuk. Tak lama pramusaji itu sudah berdiri di hadapannya.
"Mas, pesan Frappuccino satu yah ukuran medium."
"Oke Mbak." Pramusaji itu mencatat di ponsel miliknya, "Ada tambahan lagi Mbak?" lanjutnya.
Michele menatap Andini.
"Itu aja deh, nanti aja yah." Jawab Andini tersenyum ramah.
"Baik Mbak." Jawab Pramusaji lalu meninggalkan mereka.
"Din, aku ikut berita tentang kamu. Gimana? Udah ada perkembangannya belum?"
Andini menggeleng.
"Kamu yang sabar ya Din."
Andini hanya mengangguk, lalu tersenyum.
"Gimana kabar putri kamu."
"Ohh.. yah dia sekarang lagi seneng-senengnya ngelukis bareng sama papa-nya."
"Darah nggak bisa di boohingn yah Chele."
"Iyah bener."
"Terus Papa kamu gimana?"
"Hmm.. Papa. Udah bisa nerima semuanya."
"Aku senang dengarnya."
Suara ponsel Andini berbunyi dari dalam tas.
"Bentar yah Chele."
"Hallo ... iyah ... apa ... belum bisa ketemu sama Pak Handoko ... hmmm ... terus sekarang kamu dimana ... oke ... iyah ... aku lagi di radio dalam ... siip ... see you."
Klik.
"Dhea." Kata Andini setelah mematikan ponsel dan menaruhnya di atas meja.
"Oh Dhea ... apa kabarnya?"
"Baik." Jawab Andini, kali ini mimik wajahnya berubah, Michele menangkap perubahan wajah sahabatnya itu.
"Din?"
"Iyah." Jawab Andini tergagap, ia tengah melamun.
"Aku dengar kamu sebut-sebut nama Handoko?"
"Oh ... iya Pak Handoko." Andini terdiam.
"Handoko Budiawan?" tanya Michele.
"Iya.. iyah.. kamu kenal?" Andini terlihat antusias ketika Michele menyebut nama Handoko.
"Dia teman papa aku."
"Beneran?" Andini makin penasaran.
"Heeh." Jawab Michele.
"Bisa bantuin aku?, uda lama aku mencarinya tapi setiap datang ke rumah dan kantornya semua orang bilang dia nggak pernah ada."
"Din, ada urusan apa sama Pak Handoko?" tanya Michele penasaran.
Andini menoleh ke kanan ke kiri, berusaha agar suaranya tak terdengar oleh tamu pengunjung lainnya.
"Permisi ... ini pesanannya." Tiba-tiba seorang pramusaji sudah berdiri di sisi kanan Michele. Mereka berdua menengok ke arah suara itu. Andini menghentikan kalimatnya, menunggu.
"Terima kasih." Kata mereka berdua bersamaan, pramusaji itu tersenyum dan pergi meninggalkan meja mereka.
"Chele, kamu bisa bantu aku bertemu dengannya?" Andini mencondongkan tubuhnya dekat dengan Michele wajahnya terlihat serius.
"Andini, ada apa dengan Pak Handoko emangnya?"
"Sstt ... dia salah satu kunci masalah aku di kantor selama ini."
Michele terperangah mendengar penjelasan Andini.
"Aku sendiri bersama Dhea berusaha mencari tahu siapa dalang di balik kasus yang sekarang menimpa aku, Chele."
"Aku bantu Din."
"Makasih ya Chele."
"Kalau semua itu bisa membersihkan nama baik kamu, aku mau bantu kamu. Aku kenal Om Handoko, dia teman dekat papa aku."
"Michele ..." Andini memegang tangan Michele, tangannya dingin.
"Jadi benar yah, kalau kasus kamu itu sengaja dibuat seseorang buat jatuhin kamu, Din?"
"Aku nggak tahu Chele. Sebelum bertemu dengan Pak Handoko aku belum bisa mengambil kesimpulan."
"Aku dengar Om Handoko sakit keras Din. Kamu harus cepat menemuinya, tapi tunggu. Anak pertamanya sudah kembali ke Indonesia, mengambil alih perusahaan."
"Hmmm.. pantesan semua orang melarang aku menemuinya."
"Minggu depan, gimana kalau kita jenguk dia. Nanti kita janjian yah. Aku yakin Om Handoko mau bantu. Aku kenal beliau Din. Dia orang baik."
"Makasih ya Chele."
Michele mengangguk.
"Hei ... diminum yuk ntar keburu dingin minuman kamu." Michele meraih cangkir minumannya.
Andini tersenyum senang, kali ini senyum itu terlihat ringan sudah waktunya ia mencoba hal baru, yah Frappuccino itu, berharap perlahan ia bisa bersahabat dengan minuman yang satu ini, perlahan melupakan coklat hangat kesukaannya.
Akhirnya ia memiliki harapan untuk dapat menemui sosok yang bisa membuka tabir kasus yang tengah menimpanya.
Makin larut malam kedai kopi itu semakin ramai, pengunjung di sana benar-benar penikmat kopi. Andini menenggak minumannya dengan perasaan bahagia, lalu lintas di jalan terlihat padat macet seperti malam-malam sebelumnya. Sesekali ia terkekeh mendengar cerita Michele tentang putri tunggalnya. Malam itu mereka habiskan dengan saling bercerita. Andini memiliki harapan untuk bertemu dengan Handoko, dan ia berdoa semoga pertemuannya dengan Handoko bisa memberinya petunjuk atas semua masalah yang tengah ia hadapi.
Bersambung ...