Chereads / Ketika Dia Selingkuh / Chapter 23 - Karena Tuhan

Chapter 23 - Karena Tuhan

Tepat pukul delapan pagi Andini, Michele dan Dhea tengah berjalan beriringan menuju kediaman Pak Handoko. Michele mengendarai mobil melambat, di belakang mengikuti Andini dan Dhea. Andini terlihat tegang duduk di sebelah Dhea, memegang minuman hangat kesukaannya, coklat hangat. Tatapannya lurus ke depan sesekali ia menyesap minuman itu. Sebelum berangkat tadi mereka mampir sebentar ke Cafe Strawberry depan apartemen Andini untuk membeli minuman.

Beruntung pagi ini jalan menuju arah Pantai Indah Kapuk lengang, menurut info dari Michele, Pak Handoko ingin bertemu dengan mereka pagi-pagi. Dhea pun terlihat tegang menyetir dengan konsentrasi mengikuti mobil Michele. Meski ia sudah sering ke daerah Pantai Indah Kapuk, untuk rumah Handoko, dia belum pernah ke sana.

Biasanya pagi seperti ini jalan di pluit raya macet meski pagi buta, jalanan dipenuhi mobil kontainer perusahaan perikanan daerah Muara Baru dan bus antar jemput anak sekolah. Dhea mendesah melirik kearah Andini yang masih menatap ke depan jalan dengan posisi tangan masih menggenggam cup minumannya.

"Mbak, jangan tegang gitu dong. Aku kan jadi ikutan tegang."

Andini menoleh, lalu tersenyum menurunkan tangannya ke pangkuan.

"Siapa yang tegang, biasa aja." Elak Andini.

"Lah dari tadi nggak bergerak gitu."

"Kelihatan yah."

"Iyah."

"Oke.." Andini menarik nafas dalam lalu mengeluarkannya, menggerakkan bibirnya ke kanan ke kiri.

"Masih kelihatan tegang nggak?" Andini menoleh kearah Dhea.

"Lumayan." Jawab Dhea tersenyum melihat tingkah Andini. Lalu Andini menyesap kembali minuman itu, mendesah.

Sebenarnya bukan hanya Andini yang merasa tegang, Dhea pun merasakan hal yang sama. Pertemuan ini, sebuah harapan besar bagi mereka jika berhasil menemui Handoko maka semua permasalahan itu akan selesai. Kunci dari semuanya berada di Handoko, semenjak berita menghilangnya sang pengusaha besar itu Andini dan Dhea tak pernah bisa menemukan keberadaannya.

Beruntung Michele mau membantu mereka, keluarga besar Michele memiliki hubungan baik dengan keluarga Handoko. Michele menghubungi putra Handoko yang kabarnya baru saja kembali dari Amerika. Dan hari ini mereka akan bertemu, putranya itu mengizinkan mereka menemui ayahnya.

Michele memberitahu mereka bahwa sebenarnya selama ini Handoko tengah sakit keras, keluarganya sengaja menyembunyikan hal tersebut agar media tidak mengekspos tentang kondisi Handoko. Pantas saja! Pikir Andini.

Tepat di pintu masuk perumahan Pantai Indah Kapuk, mobil Michele berhenti. Salah satu penjaga mendekati mobil Michele, beberapa saat mobil Michele melaju ke depan dan berhenti. Dhea sudah berada tepat di depan pos penjaga. Mengeluarkan kartu identitas, memberikannya ke penjaga itu.

"Keluarga Bapak Handoko." Sapa penjaga itu tersenyum ramah.

"Iyah." Jawab Dhea balas tersenyum.

Penjaga itu mengembalikan kartu identitas milik Dhea setelah memeriksanya.

"Silahkan Mbak." Penjaga itu memberi hormat dan membuka palang penghalang jalan.

"Makasih." Dhea masih tersenyum, Andini ikut tersenyum.

Lega, pikir Andini akhirnya mereka tiba di komplek perumahan Pantai Indah Kapuk. Dhea masih mengekor mobil Michele. Dhea memperhatikan dengan seksama komplek perumahan itu. Seingat dirinya beberapa tahun yang lalu, ia pernah ke tempat ini namun masih berbentuk rawa-rawa, tapi sekarang semuanya berubah. Rumah-rumah mewah berpagar tinggi hampir dua meter berjajar di kanan kiri. Sungguh, Dhea tak pernah menyangka keluarga Pak Handoko ternyata tinggal di sini, selama ini dirinya berpikir mereka melarikan diri ke luar negeri. Dhea tersenyum sendiri, sementara Andini lagi-lagi terlihat tegang menatap lurus mobil Michele tanpa bergerak sekalipun. Ia khawatir tertinggal oleh Michele.

"De, berhenti." Tiba-tiba suara Andini mengagetkan Dhea, terpaksa Dhea menekan rem mendadak tapi untungnya ia menyetir dalam keadaan stabil.

Mobil Michele berhenti tepat di depan sebuah bangunan super besar, pagarnya tinggi kira-kira lebih dari dua meter, pagarnya bercat putih. Tak lama seorang penjaga memberi aba-aba kepada Dhea untuk maju, mobil Michele masuk lebih dahulu. Dhea membuka kaca jendela, tersenyum kepada penjaga berkumis tebal dan berwajah garang itu. Penjaga itu hormat kepada mereka berdua. Akhirnya mereka sudah berada di halaman rumah mewah itu.

Andini masih terkagum-kagum dengan bangunan di depan matanya itu. Sungguh, ia tak pernah membayangkan ternyata selama ini Pak Handoko berada di tempat ini. Rumah itu besar sekali, semuanya bercat putih dan ternyata bangunan gedungnya sangat sederhana tak seperti yang ia bayangkan sesaat tadi sebelum masuk ke rumah itu. Dhea mematikan mesin mobil, lalu membuka pintu mobil.

"Mbak, ayo keluar." Ajak Dhea.

Andini terkesima, lalu mengikuti Dhea yang sudah keluar terlebih dahulu. Michele sudah berdiri menunggu mereka berdua, tersenyum.

"Masuk yuk." Ajak Michele. Dhea semakin yakin kalau Michele sudah biasa ke rumah ini. Andini dan Dhea berjalan bersisian mengikuti Michele. Halaman rumah itu terdapat tanaman hias tak bisa dihitung jumlahnya. Andini berjalan menatap tanaman itu tanpa berkedip, si pemilik rumah pastinya penyuka tanaman hias. Sebuah ayunan bertengger di tengah taman, bangku-bangku kecil pun berada di sana. Mereka di sambut oleh salah seorang asisten rumah tangga, seorang wanita paruh baya mengenakan pakaian baby sister warna putih dan mengenakan jilbab, dengan ramah ia membawa mereka masuk ke dalam rumah. Dhea semakin yakin, jadi bangunan ini dari halaman depan langsung masuk ruang keluarga begitu mereka sudah berada di dalam rumah, mereka sudah ditunggu oleh keluarga Pak Handoko.

Kini mereka sudah berada di ruang keluarga berukuran besar, luasnya lebih besar dari kamar apartemen miliknya, pikir Andini. Sofa berwarna hijau duduk manis di depan televisi berukuran besar, kanan kirinya stereo lebih seperti bioskop mini. Karpet beludru memenuhi ruangan itu. Jadi terlihat luas karena tak banyak sofa dan benda-benda lainnya.

"Apa kabar Cici?" tiba-tiba seorang laki-laki tampan keluar dari balik pintu, tersenyum lebar, Andini dan Dhea saling berpandangan.

"Jo." Michele berjalan menghampirinya, mereka berpelukan, cipika cipiki.

"Wah, pangling aku Jo, kamu berubah drastis."

"Cici bisa aja. Gimana kabar keluarga?"

"Baik. Salam dari Papa."

"Papa sehat?"

"Alhamdulillah."

"Oh yah, Jo! ini yang aku bilang di telpon kemarin." Michele menoleh ke arah mereka Andini dan Dhea.

"Andini."

"Jonathan."

"Dhea."

Mereka saling berjabat tangan, Jonathan memperkenalkan diri, ia putra pertama Pak Handoko. Wajahnya sangat berbeda dengan Handoko yang ia tahu di beberapa majalah dan koran, Jonathan, ia baru mengetahui Handoko memiliki putra setampan ini. Meski bermata sipit seperti nenek moyangnya, Jonathan memiliki kulit berwarna coklat, jadi terkesan ia seperti anak keturunan Jepang bukan Tionghoa.

Aroma peppermint menyerbak dari tubuh Jonathan, ia mengenakan kemeja bergaris simetris dengan kedua lengan kemeja dilipat sampai lengan, memperlihatkan otot-otot kekarnya, berleher jenjang, tingginya sekitar seratus delapan puluh lebih, sedangkan Handoko, bertubuh gendut dan tambun, jauh sekali. Andini meringis, ia malu dengan dirinya sendiri karena memperhatikan Jonathan sedetail itu. Dhea menyikut Andini, kedua matanya melebar dari balik kacamata, paham apa yang tengah dipikirkan Andini, mereka meringis bersama.

"Silahkan duduk." Jonathan menjatuhkan tubuhnya di sofa warna hijau, di ikuti Michele, Andini dan Dhea. Mereka duduk saling berhadapan, Michele duduk di sisi kanan Jonathan, Dhea bersebelahan dengan Andini.

"Saya sudah mendengar semua cerita detail dari Cici" Jonathan menoleh ke Michele yang duduk di sebelahnya.

"Terima kasih sudah mau menerima kami." Kata Andini, Jonathan tersenyum.

"Saya hanya bisa membantu kalian bertemu dengan papa, semua tergantung papa. Dan maaf jika papa saya selama ini membuat kalian susah. Saya dan keluarga tidak bermaksud menyembunyikan beliau, hanya saja saya berpikir papa butuh waktu untuk pemulihan." Jelas Jonathan.

Pemulihan..

Andini lalu berpikir bahwa selama ini Handoko sakit dan tak ada satupun orang yang mengetahui kondisinya, kalau ternyata ia tengah sakit.

"Mbak Andini ...."