"Kamu melamun Andini?" kali ini Andini tak bisa mengelak, Michele menangkap basah ia tengah memikirkan sesuatu.
"Kisahku nggak begitu menarik," jawab Andini meringis.
"Raka?" Andini berhenti meraih gelas minumannya yang terakhir, yah minuman terakhir yang akan ia sesap. Lama Andini tertegun menatap gelas minuman di hadapannya itu.
Raka, Michele menyebut kembali nama itu. Andini tak memungkiri, pastinya seluruh teman-teman dekatnya dulu sangat mengetahui kisahnya dengan manusia bernama Raka. Sempat putus nyambung hubungannya dengan Raka, seperti itulah Andini menggambarkan kisahnya dengan Raka. Hampir satu tahun ia dan Raka tak saling kontak setelah malam itu. Andini cepat-cepat menepisnya, ia tak ingin Michele mencurigai dan banyak bertanya tentang Raka.
"Andini, apa kabarnya si Raka?" Michele mengulang pertanyaannya.
"Baik dan lebih baik aku rasa," jawab Andini datar menghabiskan minumannya, ia masih memegang gelas itu walau isinya sudah habis ia tenggak.
Suara dering dari dalam tas Michele menyelamatkan Andini dari pertanyaan Michele. Michele membuka resleting, merogohnya.
"Ya, hallo sayang. Oke.. aku tunggu," Jawab Michele tersenyum menatap Andini. Andini pun tersenyum, dari nada bicara dan kalimat yang Michele katakan, Andini yakin Danang, suami Michele yang kini sedang berbicara dengan Michele.
KLIK.. Michele menutup handphone-nya.
"Danang?" tanya Andini.
"Iya, dia udah jalan arah ke sini," jawab Michele.
"Oke, emang sebaiknya kamu cepat pulang. Kanaya pasti uda nungguin."
"Hmmm.. suatu saat kamu harus ketemu sama Kannaya," Michele mengatakannya dengan bangga.
"Oke, Danang masih sibuk melukis?"
"Yah, begitulah."
Andini mengangguk, dan tak lama kemudian Danang, suami Michele keluar dari mobil Avanza hitam. Michele melambaikan tangan, Danang melihatnya dari balik kaca.
"Andin, aku balik dulu ya," Michele berdiri memeluk Andini.
"Baiklah, aku akan berusaha membantumu sebisa mungkin. Kamu jangan khawatir."
Michele mengangguk, dan ia pergi meninggalkan Andini. Sesampainya di parkiran melalui kaca jendela Michele dan Danang melambaikan tangan ke Andini, Andini masih duduk di dalam restoran kemudian mereka masuk kedalam mobil, mobil meluncur keluar dengan cepat.
Andini mematikan notebook-nya dan memasukkannya kedalam tas. Ia menatap ke kasir. Berpikir ingin memesan minuman kembali dan membawanya pulang. Sejenak, namun ia mengurungkan niatnya. Ia bangkit dari tempat duduk keluar menuju pintu berpapasan dengan seorang pelayan, pelayan itu tersenyum dengan ramah, Andini pun membalas dengan tersenyum. Merapatkan kedua tangannya, dingin. Ia cukup berjalan kaki menuju apartemen miliknya. Depan restoran kesukaannya ini, tempat tinggal Andini.
Andini berdiri, membetulkan syal mengusahakan agar menutupi seluruh bagian punggungnya dengan tas melingkar agak berat di bahu kirinya, menatap tajam lampu lalu lintas, hijau, kaki kirinya menendang-nendang jalan aspal. Ia sesekali menunduk, lampu kuning menyala, Andini siap-siap untuk menyeberang hanya ia seorang. Makin malam semakin ramai daerah tempat tinggalnya.
Lampu merah kini menyala, Andini dengan cepat menyeberang, di tengah jalan ia menghentikan langkahnya. Sosok laki-laki tersenyum kepadanya, berdiri di seberang jalan, tersenyum lebar mengenakan sweater bergaris mendatar biru hitam dan putih.
Andini tertegun sesaat, dan terkesiap dengan suara klakson mobil. Dengan cepat ia menyeberangi jalan dan melambat ketika sampai di bibir jalan. Menatap sosok yang kini berdiri beberapa langkah di hadapannya itu.
Bersambung ...