Pak Nano memutar setir berbelok ke kiri di pertigaan jalan depan Mall ITC Mangga dua. Jalanan berlubang sisa banjir dan gerusan air hujan membuat pengemudi harus mengurangi kecepatan.
Pagi yang mendung berubah cerah, namun tak seperti wajah Andini. Ia terus meyakinkan diri bahwa semua akan segera berakhir. Andini tak ingin semuanya berakhir seperti ini. Ia telah bersusah payah membangun perusahaan dengan sekuat tenaga dan ia tak ingin pergi meninggalkan semuanya dengan nama yang buruk.
Aku harus mencari siapa pelaku dari semua masalah ini. Aku nggak bisa menunggu para penyelidik itu.
Pak Nano melihat lagi dari kaca spion tengah, ia khawatir melihat atasannya itu gelisah dan sedari tadi hanya diam tak seperti biasanya. Tepat di depan lampu merah pintu masuk Ancol, Pak Nano melambat, sedikit macet beberapa kontainer dan truk berjajar di sepanjang jalan memenuhi ruas jalan. Seorang polisi lalu lintas tengah mengatur kendaraan-kendaraan itu agar lebih tertib dan tidak saling mendahului.
Pak Nano hanya menggelengkan kepala, Jakarta tak ada satupun jalanan yang tak macet. Terpaksa agak menunggu lama, container berhenti ditengah jalan menghambat laju lalu lintas. Dan ketika terbuka satu celah di sebelah kiri, Pak Nano dengan cepat melaju menepi menancap gas melewati kontainer. Hanya perlu sedikit memutar balik di bawah kolong jalan tol sampailah di depan Apartemen Marina Bay.
Pintu palang terbuka setelah Pak Nano mengambil tiket parkir dan melaju perlahan berhenti tepat di depan pintu utama. Andini membenarkan pakaiannya, ia hanya ingin berada di tempat ini untuk sesaat.
"Kamu boleh kembali ke kantor, jangan bilang siapa-siapa aku disini yah."
"Baik Bu." Jawab Pak Nano mengangguk, ada rasa iba dan penuh dengan tanda tanya di kepala Pak Nano, apa yang tengah terjadi dengan Ibu Andin, lirihnya.
Andini membuka pintu mobil, melarang Pak Nano keluar untuk membantu membuka pintu mobil. Pak Nano masih menunggu hingga Andini tak terlihat lagi menghilang di balik gedung raksasa itu. Marina Bay berdiri megah menjulang. Pak Nano akhirnya meninggalkan tempat itu.
Andini berjalan dengan langkah kaki sedikit tertahan, perasaannya kini tak karuan. Apa yang akan terjadi dengan keluarganya jika mereka sampai membaca artikel itu. Andini masih terus memikirkan bagaimana caranya untuk dia dapat menyelidiki sendiri masalah yang tengah ia hadapi.
Hampir saja ia menabrak seorang pengunjung apartemen yang lain, dan beruntungnya laki-laki itu hanya tersenyum melihat Andini tengah melamun sambil berjalan tak melihat ke arah depan. Andini menekan angka 99, lift berjalan nyaris tak merasakan getaran apapun. Tak seperti lift di apartemen miliknya.
Ting..
Lift terbuka.
Andini berjalan keluar, belok ke kiri mengingat-ingat nomor kamar apartemen. Ini kali pertama ia datang ke tempat ini. Tepat di depan kamar nomor satu-satu Sembilan, Andini berhenti menarik nafas dalam-dalam. Meyakinkan diri, dengan ragu mengangkat tangannya namun kemudian urung menekan tombol bel di hadapannya itu.
Andini membalikkan tubuhnya, mengurungkan niatnya untuk masuk. Dan menyandarkan ke pintu, tapi tanpa sengaja pintu terbuka tak terkunci. Andini terkaget, perlahan ia membuka pintu. Nampak sepi, tak ada siapa-siapa. Andini memberanikan diri masuk tanpa bersuara. Ia menekan hidungnya, aroma rokok menyengat. Berkali-kali Andini membuang nafas dari lubang hidungnya.
Kenapa pintunya terbuka?
Andini memutar kedua bola matanya ke kanan ke kiri. Tak seindah gedung yang terlihat, kamar itu terkesan berantakan tak terurus. Beberapa pakaian tergantung di sofa dan yang lain di lantai. Atau jangan-jangan ia salah masuk kamar. Namun, ketika ia hendak melangkah keluar. Andini menahan napas, sosok yang sangat ia kenali tengah berdiri di dapur ukuran kecil tanpa busana atasan memeluk seorang wanita.
Tanpa di sadari Raka pun tak kalah terkejut melihat Andini berdiri beberapa langkah di hadapannya. Wanita itu yah wanita yang kini berpelukan dengan Raka, Andini sangat mengenalnya.
Kerongkongan Andini tercekat, seakan seluruh tubuhnya teraliri api menyengat, panas dan membakar. Ia tak menyangka, benarkah sosok laki-laki di hadapannya itu, Raka, pria yang sangat ia cintai.
"Andini." Kata Raka lirih, sama tak bergeming perlahan melepaskan rengkuhannya dari pinggang wanita itu, Dwi Anggraini, wanita yang sangat ia kenal.
Andini ingin sekali pergi dari tempat itu dengan segera atau bisa jadi menghilang dan langsung berada dalam apartemennya. Kini air matanya jatuh, tak terbendung. Kedua tangannya menutup mulutnya. Pemandangan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Bermimpikah aku, Tuhan.
Dan Andini melesat keluar tanpa banyak bicara.
"ANDINI ...." Raka berusaha mengejar Andini, Dwi menahannya menarik lengan Raka.
Raka geram mengibaskan dengan kencang, tapi Andini sudah masuk ke lift dan Raka tak mungkin ke bawah dalam keadaan setengah telanjang. Ia kembali ke kamar mencari pakaian dengan cepat memakai tanpa menghiraukan Dwi berdiri mematung, tersenyum.
Andini terus menangis, kali ini ia sangat terguncang dan tak kuasa kedua tangannya bahkan gemetar memeluk erat tas miliknya. Beberapa mata menatapnya aneh.
Tuhan, aku ingin menghilang dan berada di dunia lain.
Un-break my heart
Say you'll love me again
Undo this hurt you caused
When you walked out the door
Un-cry these tears
I cried so many night
Un-break my heart
My heart
(Unbreak My Heart, Toni Braxton)
****
Pagi yang cerah, perlahan mentari menyembul dari celah jendela kamar Andini, ia menggeliat, mengerjapkan kedua mata, di sisi kanan tempat tidur Dhea masih pulas dan terlihat sangat lelah. Andini memandangi wajah Dhea, tersenyum dan dengan lembut mengusap wajah nan ayu itu.
Andini bangun dengan kepala masih berat dan tubuh yang lemah. Malam panjang dan melelahkan. Suara gemerisik dari luar kamar membuatnya penasaran. Andini hendak membuka jendela namun diurungkan, membalikkan badan ke arah Dhea yang masih tertidur pulas. Ia bangkit dengan perlahan, berjalan ke arah pintu, membuka grendel pintu dengan pelan sekali.
Hawa dingin menyeruak, embun menutupi pandangannya. Hari ini cerah, awal bulan Februari hujan perlahan meninggalkan jejak. Setitik sinar matahari mengenai kedua matanya yang sembab, terlalu lama menangis.
Ia menyentuh wajahnya, tersenyum.
-Terlalu menyedihkan jika aku harus larut dalam kesedihanku, dan aku harus kuat menyelesaikan semuanya, hingga tuntas.-
Ada banyak ide dan plan dalam otak Andini, kini ia tengah mengatur strategi untuk segera melakukan tindakan. Sebelum semua masalah ini semakin meruncing dan keluarganya menjadi korban atas semua masalah yang tengah ia alami. Beberapa nama menjadi daftar agendanya, Andini sangat bersemangat, bahkan tumbuh berkali lipat dalam diri Andini.
Andini kembali tersenyum, senyum sinis menatap pemandangan luar biasa dari atas puncak Bogor. Yah, kini ia tengah berada di villa milik keluarga Dhea. Villa itu berada di atas puncak pas Bogor. Gunung salak berdiri kokoh seakan tengah menantangnya, Andini tersenyum.
-Seperti gunung, aku tak akan pernah menyerah. Seberapa banyak ia dilalui orang, di pangkas, dibabat dengan tanpa perasaan di injak-injak, kau tetap berdiri tegak memperlihatkan kegagahanmu.-
Sorot mata Andini berubah, kejam dan terlihat sinis.
Terlalu dini jika aku harus mundur dan mengakui semuanya atas sesuatu yang bukan aku lakukan.
"Mbak …" suara Dhea membuat Andini menoleh ke belakang, Dhea mengucek kedua matanya masih mengenakan selimut, Andini tersenyum, tangannya terulur. Dhea menghampirinya, dan kini berdiri di sisi kanan Andini.
"Kamu lihat gunung itu Dhea." Andini menunjuk ke arah Gunung Salak. Dhea mengikuti telunjuk tangan kanan Andini.
"Aku seperti dirinya, kuat dan tegar. Makin kuat pastinya" kalimat Andini ditekan dengan keyakinan. Dhea menoleh ke Andini, kedua matanya melebar. Andini berubah, wajah dan sorotan mata itu. Dhea memeluk Andini.
Tak ada yang berubah di kantor semua seperti biasa, mereka enggan berkasak kusuk meski semua tahu tentang berita besar beberapa hari yang lalu. Ibud menaruh teh hangat kesukaan Andini di atas meja sambil bersenandung. Andini hanya mengangguk dan tersenyum ia tengah asyik mengetik, serius menatap layar laptop.
Beberapa rekan kerja Dhea sesama AO sibuk mempersiapkan segala sesuatu berkenaan dengan pembiayaan. Minggu yang sibuk, Ana, Boy dan Angga memiliki jadwal masing-masing sesuai perintah Andini. Hanya suara-suara ketikan yang terdengar. Kali ini sedikit berubah tak ada karyawan Admin di ruangan itu. Ia telah mengundurkan diri dengan alasan menikah dan ikut suaminya keluar kota. Namun Andini tak mau pusing dengan masalah itu. Toh ia sudah terbiasa mengerjakan semuanya sendiri.
TOK ...
TOK ...
Andini mendongak, Dhea nyengir di ambang pintu.
"Masuk ..." kata Andini.
"Apa rencana kita hari ini Mbak?" Dhea menjatuhkan tubuhnya di kursi.
"Bentar yah." Andini masih asyik mengetik, Dhea mengangguk.
"Selamat pagi girls ..." Argo menyembul dari balik pintu dengan membawa segelas Hazelnut Chocolate. Andini dan Dhea saling berpandangan dan kemudian tersenyum bersamaan.
"Hmmm.. pasti aku nggak dapat." Dhea mendengus.
Argo meringis.
"Sorry yah, aku pikir kamu udah jalan." Argo menaruh minuman itu di atas meja.
"Makasih Ar, seharusnya kamu nggak usah repot kayak gini. Aku udah punya minuman, tuh." Andini tersenyum, menunjuk teh buatan Ibud yang masih mengepul.
Argo berdiri di sisi kiri Dhea. Argo mengangkat kedua alisnya dan mengerling ke Dhea. Seketika Dhea memonyongkan bibirnya, Argo tertawa geli.
"Sebaiknya kamu minum selagi hangat An."
"Oke, thanks ya Ar."
"Selamat bekerja kembali Andini."
Argo memukul pundak Dhea sambil berlalu. Dhea mendengus dan kembali menatap Andini.
"So sweet deh Mbak." Goda Dhea.
"Apa sih Dhea, Argo dari dulu kan emang baik. Kamu ini!"
"Tapi Mbak, ada kesempatan kan?"
"Dhea, apa lagi ini."
"Mbak, ayolah kasih kesempatan Mas Argo. Dia kan baik, menunggu Mba sekian tahun. Belum cukup pantaskah untuk menerima hati Mbak Andin." Andini berhenti mengetik, menatap Dhea, sesaat tersenyum dan kemudian menggelengkan kepala.
"Udah ... udah .. ayo kita pergi, ada yang harus kita kerjakan hari ini." Andini mengalihkan topic yang lain, kali ini ia tengah tak ingin membahas perihal masalah perasaan, cukup ia tengah berusaha menutup rapat perasaannya, ia tak ingin membahasnya dan itu sangat membuatnya sesak. Andini mematikan laptop miliknya dan merapikan kembali memasukkan ke dalam tas laptop, menyeruput teh hangat buatan Ibud kemudian meraih Hazelnut Coffee pemberian Argo, mengerling ke Dhea.
"Mbak mau keluar?"
"Iya, kamu ikut ya."
"Kemana Mbak?"
"Nanti juga kamu tahu."
Andini sudah keluar ruangan, ketika Dhea hendak berdiri dan tak lama Dhea berlari mengejar Andini. Mereka menuruni anak tangga saling menatap. Dhea masih belum tahu, apa yang akan Andini perbuat saat ini. Namun, kekuatan Andini dapat Dhea rasakan. Bahwa Andini punya cara sendiri untuk mengakhiri semua masalahnya, meski ia tak yakin dan di kepalanya penuh dengan pertanyaan terhadap Andini.
Bersambung ....