Sedan hitam berhenti tepat di depan rumah mewah bertingkat, di depan pintu gerbang seorang satpam tengah asyik menonton tayangan reality show, tak sadar dengan kedatangan Andini dan Dhea. Andini masih terdiam, mengamati rumah besar itu. Dhea tidak mau ketinggalan, antusias bahkan. Membuka kaca jendela dan mengeluarkan separuh kepalanya. Dhea bersiul, termangu melihat pemandangan tak lazim di depannya itu.
Andini tanpa banyak bicara keluar dari mobil, ia mengetuk kaca pos penjagaan.
"Permisi." Andini mengetuk kaca untuk yang kedua kali. Barulah satpam menengok ke arahnya, alis tebalnya terangkat sebelah, mata kirinya menyipit memandang Andini dengan penuh selidik.
"Siang Pak." Sapa Andini.
"Iya, selamat siang." Jawab satpam langsung berdiri, kemudian berjalan keluar.
"Ada yang bisa saya bantu, Mbak?"
"Saya Andini, sudah janji bertemu dengan Bapak Handoko." Andini tersenyum ramah, sambil melirik kearah pintu. Sepi, yah terlihat sepi. Andini mulai berpikir, jangan-jangan rumah itu sudah tak berpenghuni karena terlihat nggak ada satupun aktivitas.
"Maaf Mbak, ingin bertemu siapa yah?" tanya penjaga itu ke Andini.
"Bisa bertemu dengan Bapak Handoko?"
Andini melirik lagi ke arah bangunan mewah di hadapannya itu, penjaga yang kini telah berdiri dihadapannya menggenggam tongkat warna putih menatap Andini dengan lekat dari ujung rambut hingga kaki, kemudian ia membuang muka ke arah Dhea yang masih duduk di dalam mobil, Dhea berusaha tersenyum menyapa penjaga itu akan tetapi penjaga itu bersikap dingin dan penuh curiga.
"Maaf, dari mana ya Mbak?" penjaga itu kembali bertanya ke Andini.
"Saya Andini, rekan kerja Bapak Handoko." Jawab Andini berbohong, padahal seumur hidupnya Andini tak pernah bisa sekalipun untuk berbohong tapi kali ini, wajahnya terlihat tak meyakinkan, penjaga itu masih menatap lekat Andini. Dhea terlihat tak sabar dengan apa yang dilakukan sang penjaga namun Andini dengan isyarat kedua matanya menyuruh Dhea untuk tetap di posisinya. Dan Dhea terlihat gemas dan kesal.
"Hmm ... sepertinya Mbak salah alamat. Nggak ada yang namanya Bapak Handoko di rumah ini." Sang penjaga menunjuk ke arah rumah besar itu. Kini Andini menatapnya dengan tajam, berusaha mengenali penjaga di depannya itu, jangan-jangan ia berbohong kepadanya. Tapi penjaga itu terlihat biasa saja tak ada rasa gugup sekalipun, dan Andini menarik nafas.
"Jadi ini rumah siapa yah Pak?"
"Ini milik keluarga Broto, Mbak."
"Bapak yakin nggak ada namanya Pak Handoko di rumah ini?" Andini masih berusaha mencari tahu meski ia sendiri sadar kalau penjaga itu tak terlihat membohonginya.
"Mbak, saya sudah sepuluh tahun bekerja di sini, bisa saya lihat alamat rumahnya?" kata si penjaga.
Andini dengan cepat merogoh tasnya dan mengambil kotak tempat menyimpan kartu nama.
"Ini Pak." Andini memberikan kartu nama itu ke penjaga.
"Alamatnya sih benar Mbak, tapi namanya saya nggak kenal. Mbak dapat darimana kartu nama ini. Setahu saya ini keluarga Pak Broto, Mbak. Berani sumpah saya Mbak." kata si penjaga dengan yakin dan raut wajah serius.
Mendengar perkataan itu Andini tersenyum getir, karena instingnya pun yakin kalau laki-laki bertubuh tegap di hadapannya itu sedang tak berbohong.
"Baiklah Pak, terima kasih informasinya dan maaf sudah mengganggu." Andini berpamitan akhirnya setelah penjaga itu mengembalikan kartu nama milik Andini.
Andini sudah duduk di sebelah Dhea, menarik nafas panjang. Ia memejamkan kedua matanya, selama ini ia sudah di bodohi oleh nasabahnya itu.
"Mbak, gimana?"
"Nothing De." Jawab Andini datar, menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Dhea kembali menengok ke arah kanan, bersamaan dengan penjaga itu pun masih menatap mereka berdua, berdiri berdecak pinggang. Dhea menundukan kepala.
"Kita balik De."
"Mbak yakin, dia nggak bohong."
"Nggak De, keliatan dia enggak membohongi Mbak, soalnya pas Mbak kasih kartu itu dia terkejut ekspresi wajah kan nggak bisa dibohongin."
"Terus gimana Mbak?"
"Kita balik, Plan B." Andini merebahkan kepalanya ke jok mobil lalu Dhea menyalakan mesin mobil, meninggalkan rumah besar itu. Dhea masih terus memandangi rumah itu dari spion meski mobil terus melaju.
Andini terus berpikir, apa yang akan dilakukannya. Semua tentang Handoko tak ada titik terang tentang keberadaanya seakan laki-laki itu ditelan bumi, hanya dia satu-satunya yang dapat memberikan informasi kepadanya tentang semua masalah yang kini tengah ia hadapi.
Tiba-tiba suara dering dari dalam tas Andini berbunyi kencang, Andini terkejut dan kemudian merogoh selulernya itu. Nama Argo tertera di layar sentuh selulernya.
"Hallo Ar."
"Andin. Lagi di mana kamu?"
"Aku ..." Andini tak meneruskan kalimatnya, ia menoleh ke Dhea. Dhea memberikan isyarat "Silent" dengan jarinya ditempel ke bibirnya, Andini mengangguk.
"Aku lagi makan siang sama calon nasabah, makan siang. Ada apa yah?"
"Hmmm ... nggak sih, cuma mau ngingetin sudah makan siang belum."
"Ooohh … makasih Argo."
Jawab Andini, wajahnya seketika berubah memerah. Padahal sikap perhatian Argo sudah sering ia terima tapi kali ini sepertinya Andini tengah memperhitungkan kembali tentang laki-laki yang satu ini. Dhea hanya menggeleng, dan mengerling.
"Oke, Andin, see you yah."
"Oke Ar, thanks ya."
Klik.
Telepon ditutup, Dhea menggoda Andini.
"Weee ... tadi pagi sok nggak ngeh di godain eh sekarang tiba-tiba jadi salting gitu."
"De, apaan sih. Udah ah, eh coklatnya masih ada ya." Andini dengan cepat meraih cup hazelnut chocolate miliknya yang ia simpan di samping tempat duduknya meski sudah tak panas lagi.
Dhea tertawa-tawa melihat tingkah Andini. Setidaknya ia bahagia Andini bisa kembali tersenyum. Dan ia geram seketika mengingat Raka, laki-laki menyebalkan itu.
Dan Dhea berpikir ia ingin menghajarnya jika suatu saat bertemu kembali dengan laki-laki itu.
"Mbak, udah tenang sekarang?" tanya Dhea.
Andini hanya meringis.
"Jangan khawatir Mba, Dhea selalu ada untuk Mbak, kapan pun. Ingat itu."
"Emang kamu mau nemenin aku selama dua puluh empat jam?"
"Eh ... Hm ... bisa ... bisa ..."
"Kenapa kok jawabnya ragu gitu?"
"Iya bisa, Dhea bakalan siap kapan pun Mbak butuh aku temenin."
"Makasih yah, aku nggak seperti apa yang kamu pikirkan Dhea. Tenang saja, aku akan selalu baik-baik saja. OK!"
Dhea melirik Andini.
Perkataan bos sekaligus sahabat dekatnya atau bahkan Dhea sudah menganggapnya kakak sendiri ini, seperti debu yang terhempas angin. Andini sosok yang pandai menyimpan perasaannya.
Jadi, kalau dia berkata, baik-baik saja itu justru sebaliknya.
"Udah, jangan ngeliartin aku terus, nanti kamu suka loh!"
"Uhuk ... Uhuk ... apaan sih Mbak."
"Lagian segitunya ngeliatin orang. Kayak nggak pernah lihat cewek cantik aja."
"Hahahaha ..." Dhea tertawa keras tidak bisa menahannya.
Mereka berdua akhirnya tertawa bersama ...
Dhea merasa lega, melihat Andini akhirnya bisa tertawa.
Satu-satunya hal yang dia inginkan adalah Andini bisa bahagia dan terlepas dari semua masalahnya.
'Aku sayang kamu, Mbak.' kata Dhea dalam hati di tengah tawanya yang lebar dan keras.
Bersambung ...