Genangan air pasca hujan tadi masih tertinggal. Memantulkan cahaya dari lampu jalan di sekitar. Meski begitu, genangan air ini juga mengotori siapa saja yang tak sengaja menginjaknya. Udara semakin dingin menusuk kulit, itulah mengapa jarang terlihat orang berkeliaran di luar sini. Ditambah, jalanan kecil jauh dari keramaian kota besar menjadi tempat strategis untuk melakukan tindak kriminal.
Ibu Ashley jadi orang pertama yang paling menentang perihal tempat tinggal si anak lelaki ketika dia mengetahui letak kos-kosan yang akan Ashley tinggali. Entah sudah berapa kali memaksa agar Ashley tinggal di tempat Helena. Tentu saja hal itu sangat ditentang dengan keras oleh Ashley. Tinggal bersama kakak perempuannya sama saja dengan memasuki kandang singa.
Itu juga alasan kenapa Ashley tak bisa mendapatkan uang saku tambahan untuk membayar sewa kos, dia harus bekerja dan tempat yang diperbolehkan hanya Cafe milik sang kakak.
Mau bagaimanapun pilihannya, dia tetap berakhir dengan menjadi mangsa empuk si singa betina.
'Cpak..Cpak...'
Bunyi kecipak air terdengar setiap kali kakinya tanpa sengaja menginjak genangan air. Keadaan di sini cukup gelap, hanya diteriangi oleh cahaya lumayan redup dari lampu jalan. Beberapa bahkan sudah terlalu tak layak untuk digunakan dengan saklar tampak terbuka dan cahaya berkedip-kedip, seolah tinggal menghitung waktu kapan akan mati.
Jalanan menanjak membuat Ashley harus berhati-hati melangkah meski sudah sangat terburu-buru. Susah payah dia menyeimbangkan tubuh agar tidak tergelincir. Sebenarnya, Ashley tak sedang menghindari kejadian supranaturan —dari kecil pun dia sama sekali tak takut meski pernah beberapa kali melihatnya secara langsung— atau takut menjadi target perampokan —dia bahkan sudah mencapai sabuk hitam saat masih duduk di bangku SMP tingkat dua— tetapi ada hal paling penting, lebih dari dua opsi di atas.
Dua belokan lagi, kanan ketika bertemu tikungan dan kiri saat ada pertigaan. Berdiri sebuah bangunan rumah lumayan besar tapi sedikit tua dengan beberapa lumut hijau tua menghiasi sebagian dinding luar, ada juga retakan-retakan kecil menjalar dari bawah sampai ke atas. Rumah ini punya tiga lantai yang memiliki masing-masing dua kamar di setiap lantainya. Ada tong sampah besar di sisi samping rumah, sekarang terlihat menumpuk dan beberapa tercecer keluar. Ashley memunguti sampah plastik dan botol bekas untuk dia buang di tempat sampah, sebelum itu dia pisahkan lebih dulu antara plastik biasa dengan yang berbentuk plastik.
Si pemuda tinggi menengadahkan wajah, dari luar terlihat jendela-jendala menggelap tanda para penghuni lainnya sudah tidur. Kecuali satu jendela di sebelah kiri, menyala sendiri dan terbuka. Ashley sontak membulatkan mata, tanpa pikir panjang langsung merangsak masuk.
'Braak!'
Ashley tergesa-gesah berlari hingga reflek membanting pintu depan. Dia meringis ketika mendengar suara gebrakan sangat kencang di belakangnya. Kalau begini sudah bisa dipastikan besok akan ada surat peringatan yang terselip di celah pintu, atau malah dia akan mendapat teguran secara langsung dari penghuni lain.
Ugh, semua sudah terlambat, maka tak ada yang bisa Ashley lakukan selain terus berlari lalu menaiki tangga hingga sampai di lantai dua, dimana kamarnya berada. Dada bidangnya bergerak naik turun, diiringi suara hembusan dan tarikan nafas yang sangat jelas, kontras dengan kesunyian di sini.
Dia memasukkan tangan ke saku celana bagian depan, mengeluarkan sebuah kunci berbahan besi stainless dengan gantungan sebuah karakter lobak berwajah —pemberian dari pamannya seorang petani— memutar batang kunci hingga terdengar suara 'Ctak' tanda kunci telah terbuka. Ashley memutar kenop pintu lalu masuk dengan tak sabaran.
"Meggy!" Ashley berseru —dia sungguh akan mendapat teguran besok— tepat setelah melepaskan sepatu.
"Meggy!" Derap langkah kaki mengiringi tubuh si pemuda yang bergerak serampangan, tak peduli sudah berapa kali menendang benda di sekitarnya, dari tong sampah kecil sampai kaki meja. Yang terakhir sangat sakit sampai Ashley harus berhenti berjalan dan mengelus-elus jari kelingking kakinya. "Meggy.." tapi dia tetap tak putus asa memanggil nama tersebut.
"Aeeong~~"
"Meggy!"
Wajah kesakitan Ashley langsung berubah ketika dia melihat hewan berkaki empat, berbulu hitam pekat berjalan ke arahnya. Nama Meggy terukir pada sebuah kalung berwarna merah yang melekat di leher si kucing betina. Insting binatang itu bekerja saat bertemu dengan pemiliknya, dia mengusel ke arah kaki-kaki si pria tinggi, sesekali menggigit-gigit ujung celananya.
"Maaf yah, aku pulang telat~ kau pasti lapar..." ujar Ashley smebari mengelus wajah serta leher si kucing.
"Aeeong~"
Ashley terkekeh kecil ketika mendapat jawaban, ia merasa bangga pada dirinya sendiri karena bisa berkomunikasi dengan seekor hewan. Meskipun kemungkinan suara tadi hanyalah sebuah kebetulan, karena sampai sekarang pun tak ada manusia yang benar-benar bisa berkomunikasi dengan binatang.
Ashley berjalan ke sebuah rak kecil tempat dimana dia menyimpan beberapa stok makanan, Meggy mengikuti dengan ekor yang bergoyang meliuk-liuk, anggaplah dia sudah tahu jika sebentar lagi akan mendapatkan jatah makan. Ashley kemudian berjongkok, membuka laci di bagian bawah, meraih bungkusan plastik dengan gambar kucing bermata lucu di bungkusnya.
"Aeeeoong~ Aeeoong~"
Suara Meggy kian mengeras saat Ashley membuka perekat pada bungkus plastik. Suara gemerisik lalu terdengar bersamaan dengan isi dalam bungkus tertuan pada sebuah wadah berwarna orange, tempat makan si kucing hitam.
"Aku tambahkan lebih banyak, sebagai permintaan maaf karena telat memberi makan untukmu~" tangan besar pemuda itu mengelus sayang bulu-bulu lembut di tubuh si kucing.
Berbicara dengan binatang seperti ini sudah menjadi kebiasaan Ashley sejak kecil. Binatang apapun, dari yang bersuara sampai yang tak berbicara sama sekali, misalnya ikan. Pernah sekali dia menghabiskan waktu semalaman mengobrol dengan seekor ikan Guppy berwarna biru yang dia namai 'Tiger' —yang sampai sekarang masih menjadi perdebatan kenapa seekor ikan dinamai macan— agar dia bisa mengetahui kapan Tiger tidur, tapi malah Ashley sendiri yang selalu ketiduran. Intinya, pemuda berperawakan besar ini sudah sangat akrab dengan binatang. Terkecuali serangga. Ashley tak begitu menyukai binatang kecil berkaki banyak dengan wajah menyeramkan.
Meggy merupakan hewan peliharaan yang dia bawa langsung dari kampung halaman. Itu alasan paling utama kenapa dia susah mencari tempat tinggal di kota besar ini. Tak sedikit tempat sewa yang melarang keras memelihara binatang.
Sedikit cerita lucu —tapi miris— yang Ashley alami ketika dia baru saja sampai di tempat ini.
Dengan badan besar dan warna kulit lebih gelap, Ashley sempat dikira sebagai tukang servis yang telah si pemilik gedung ini hubungi beberapa saat lalu. Dan, berakhir dengan dirinya membantu memperbaiki kulkas yang rusak, beruntung karena Ashley cukup bisa diandalkan dalam hal mekanik semacam ini. Lalu tak lama setelah dia berhasil memperbaiki kulkas tersebut, sebuah panggilan masuk yang mengatakan bahwa jasa perbaikan tak bisa mengirimkan tukang servis karena terkendala kekurangan pegawai.
Berkat bantuan yang Ashley berikan —juga sebagai permintaan maaf— akhirnya si pemilik gedung memperbolehkan Ashley menyewa salah satu kamar di sini meskipun membawa sebuah hewan peliharaan.