Chereads / FIREFLIES : first love / Chapter 14 - Si Pengantar File

Chapter 14 - Si Pengantar File

Tahu apa yang lebih menyebalkan daripada datang buru-buru dan mendapati kelas ternyata kosong?

Bertemu lagi dengan orang yang sangat menyebalkan.

Firasat Simon sudah buruk semenjak berkendara dalam kecepatan hampir 150 di jalanan kota yang padat tadi. Setelah mengalami kesialan karena menyadari hal yang dia lakukan ternyata sia-sia saja, hal buruk lainnya menyusul tak lama, bahkan tak menunggu dirinya bernafas sejenak.

Berdiri di hadapannya, sosok pemuda berambut cepak dengan tubuh sebesar raksasa. Rambutnya yang cepak menambah kesan lebih maskulin namun cukup menyeramkan. Tetapi, lain halnya dengan Simon, dimatanya sosok pemuda ini tak lebih dari seseorang yang bodoh dan menyebalkan.

Meski pertemuan mereka bisa dibilang sangat singkat, namun kesan pertama adalah yang paling berkesan bukan?

"Simon?" tanya Ashley, lelaki bertubuh besar itu tampak terkejut, terlihat jelas dari bagaimana kelopak matanya terbuka sempurna.

"Mana file nya?" sergah Simon, tangannya terulur dihadapan Ashley yang masih memproses kejadian saat ini. "Heh! Jangan bilang kau melupakan file itu?!" ulang Simon lagi. Kali ini suaranya meninggi.

Ashley terkesiap oleh hardikkan dari pemuda bertubuh kecil dihadapannya. Pemuda yang sama dengan yang kemarin bertemu dengannya, juga si korban penumpahan kopi kemarin sore. "I—ini Senior..." Dengan gugup mengeluarkan sebuah flashdisk berwarna hitam dari tas ransel kecil dipunggungnya. Ashley menyerahkan benda itu dalam keadaan tangan gemetaran. Entah kenapa dia merasakan aura begitu kuat keluar dari tubuh pria yang lebih kecil darinya.

Simon menghela nafas, tak ada gunanya juga dia memarahi si pemuda besar —secara kebetulan menjadi adik kelasnya— dia hanya akan terlihat seperti orang jahat karena melampiaskan kemarahan pada orang tak bersalah. Setidaknya untuk hari ini.

"Terima kasih."

Maka, Simon mengambil alih flashdisk di tangan Ashley, mengeluarkan kata-kata yang cukup sakral baginya sebagai bentuk apresiasi untuk pemuda tinggi itu karena telah mengantarkan benda berharga ini padanya.

"Lain kali, jangan terlalu menurut dengan si gondrong itu. Dia pasti hanya akan menganggapmu sebagai bawahan saja daripada seorang anggota," ujar Simon sembari berjalan melewati Ashley.

Otot-otot Ashley yang tadinya membeku sepersekian detik, langsung mencair, dengan begitu dia secara cepat membalikkan badan untuk mendapati punggung sempit yang mulai menjauh darinya.

"Senior!" Ashley sendiri tak mengerti kenapa dia memanggil pemuda kecil itu, seakan tak mulutnya bergerak dengan sendiri tanpa kendalinya.

Pemuda yang dipanggil lalu menghentikan langkah kaki. Menoleh ke belakang, sorot matanya seakan mengatakan 'Mau apa lagi?'.

"Anu.. Bagaimana kalau Anda mampir dulu ke Cafe Saya dan menikmati secangkir minuman di sana? Saya akan berikan gratis, sebagai permintaan maaf saya kemarin."

"Aku tak mau berakhir disiram kopi atau kehilangan barang lagi, atau mungkin keduanya. Jawabanku, tidak."

"Anda tak perlu meminumnya di sana, tidak masalah, bawa pulang saja kalau Anda mau," jelas Ashley. Senyuman lebar masih menghiasi wajahnya, namun kali ini terkesan canggung. Ujung bibirnya berkedut-kedut tipis.

Simon mengangkat sebelah alis. Menatap lekat-lekat dari ujung kepala hingga kaki si pemuda tinggi. Ini aneh. Seseorang harusnya tak akan melakukan hal percuma kalau lawan bicaranya terlihat tak berminat. Pengabaian adalah hal wajar dan sangat manusiawi. Simon tak membutuhkan permintaan maaf atau balasan berupa makanan atau minuman, toh itu semua tak akan menghapus kenangan buruk kemarin. Hal yang sia-sia, jika saja orang itu tak memiliki maksud lain.

Maksud lain?

"Maaf, aku tak menyukai laki-laki," tukas Simon dan kembali melanjutkan langkah kakinya, sedikit lebih cepat daripada yang tadi.

"Tu—tunggu! Bukan begitu maksudku—"

Sayangnya, lontaran kalimat tadi sudah samar-samar terdengar karena Simon sudah berada pada jarak dimana tak cukup menangkap suara pemuda di belakang sana. Simon bergerak cukup cepat dengan kaki kurusnya yang tak terlalu panjang. Sejujurnya, dia tak pernah membeda-bedakan orientasi seksual seseorang. Siapa menyukai siapa, tak menjadi masalah asalkan mereka benar-benar menyukai satu sama lain. Malahan, Simon sedikit merasa iri dengan pasangan yang meraskan indahnya saling mencintai. Karena, dia sadar bahwa dirinya lebih menyedihkan dari yang terlihat. Hanya saja, Simon tak mau mendapati dirinya mendapat pengakuan cinta dari seorang lelaki. Alasannya cukup simpel, karena dia juga tak bisa menyukai siapapun.

Simon sudah cukup berpengalaman mengenai pendekatan dalam hal percintaan. Memberikan makanan atau minuman, mengajak makan bersama dan sebagainya tentu saja adalah tanda bahwa seseorang mulai tertarik padamu. Dan, dia melihat hal itu dari perilaku si pemuda tinggi tadi.

Hal semacam ini bukan cuma sekali menimpanya. Ada lebih dari dua kali, seingat Simon begitu. Lebih banyak terjadi ketika dia dan Jacob pergi ke sebuah Bar yang tentunya pilihan pemuda gondrong itu. Bar kecil yang bahkan tak mempunyai cukup meja dan lantai dansa. Seorang lelaki pasti akan mendatangi meja mereka, mengobrol santai dengan Jacob meskipun matanya tak henti memandang ke arah Simon. Itu juga yang membuat Simon lebih memilih diam dan menikmati bir nya. Lalu, diakhiri dengan secarik kertas yang terselip di bawah asbak disertai kedipan sebelah mata dari pria yang baru saja berbincang dengan Jacob.

"Dasar Jack si pemalas..." gerutunya sembari membuka pintu mobil. Simon meraih ponsel, mengetikan pesan pada Jacob perihal file tersebut sudah sampai ke tangannya. Sekedar itu saja. Rasanya tak perlu mengungkit si bocah tinggi yang menunjukkan tanda-tanda ketertarikan tadi, semua itu tidak perlu.

.

.

.

.

.

'PLAK!'

"Ouch!"

"Kerja yang benar!"

Ashley mengerucutkan bibir sembari mengelus belakang kepalanya, bekas tamparan tangan sang kakak masih terasa cukup panas. Heras, padahal tubuh Helena lebih kecil daripada tubuhnya, tetapi sejak dulu tenaga wanita itu begitu kuat. "Kau tak lihat dari tadi aku sudah kerja dengan benar?"

"Ya ya ya.. Sangat benar malahan. Sampai mungkin perampok tak perlu repot menodongkan pistol untuk mendapatkan segepok uang dari laci yang tidak terkunci ini," desis Helena, jari telunjuknya mengarah langsung ke laci di samping Ashley berdiri. Benda itu sedikit terbuka dengan kunci logam yang masih menggantung.

Bukti paling kuat untuk membuat Ashley diam seribu bahasa. Nyatanya, apa yang dikatakan Helena tak sepenuhnya salah. Perempuan itu benar mengenai sikap Ashley yang melalaikan pekerjaannya, melamun dan membiarkan laci penyimpanan uang tak terkunci sudah cukup untuk menendangnya keluar dari pekerjaan ini.

"Maaf deh," sahut Ashley meskipun wajahnya sama sekali tak terlihat menyesal.

'PLAK!'

"Ouch!" Ashley menjerit tamparan kembali menghujam tubuhnya, kali ini sasarannya adalah pantat. "Apa masalahmu sebenarnya sih?!"

"Pantatmu membuatku kesal," sahut Helena sembari berlalu dari hadapan adiknya.

"Dasar si gila itu—"

"Kau bicara apa?"

Helena berbalik menatap tajam Ashley di balik mesin penggiling kopi. Posisinya terbilang cukup jauh untuk mendengar gerutuan pemuda itu yang lebih mirip seperti sebuah gumaman. Secara ajaib, telinga wanita itu akan bekerja lebih baik berkali-kali lipat jika ada seseorang yang menjelek-jelekkannya.

"Ti—tidak kok!" Ashley buru-buru mengalihkan wajah. "Whoa, aku lupa mengecek stok kopi.." dengan tergesah berjalan ke ruangan lain.