Alunan musik memekakkan telinga terdengar dari berbagai sudut, memenuhi ruangan yang berisikan banyak sekali orang. Mereka bergerak dengan liar, tanpa memandang jenis kelamin dan ras semuanya menari sembari sesekali menggoda satu sama lain. Suasana di tengah ruangan terasa lebih panas, seperti cacing-cacing yang di siram air garam. Mereka sangat bersemangat menikmati hingar bingar meski waktu sudah mulai larut. Tak ada seorang pun yang bisa menahan gejolak darah muda, bebas, lepas dan liar.
Berbanding terbalik dengan seorang pemuda yang memilih mendudukan diri di sisi kanan, tepatnya pada lingkup tempat lebih privasi. Ada sekat-sekat kaca yang menutupi tempat ini, seolah memiliki dunia sendiri. Biasanya orang memesan tempat tertutup seperti ini dengan ditemani beberapa gadis yang memang dipekerjakan sebagai pelayan 'tambahan', atau membawa gadis acak yang tak sengaja ditemui di tempat semacam pub ini. Tetapi apa yang terlihat sekarang cukup berbeda. Hanya dengan dua botol wine tahun 1972, Simon persis seperti orang yang baru saja dicampakkan.
"Kau yakin tidak mau keluar?" tanya pria gondrong di sebelahnya. Raut wajah Jack sangat menunjukkan kalau dia sungguh ingin keluar, menikmati segala keramaian di luar sana.
Simon menggeleng, tanpa berkata apapun, lalu menyesap cairan merah gelap dalam cawan.
"Hey, lebih baik kau ikut keluar saja daripada hanya berdiam diri di sini. Kesedihanmu tak akan terobati kalau kau hanya duduk sendirian saja." Jack berusaha membujuk Simon. Dia mulai iba juga saat melihat raut wajah temannya yang sering mengesalkan berubah menjadi tak ada harapan hidup.
"Kalau kau mau keluar, lakukan saja sendiri."
"Lalu membiarkanmu di sini? Memangnya teman macam apa aku ini?!" cerocos Jack mendeklarasikan perannya sebagai teman sejati yang tak akan pernah meninggalkan Simon sendirian.
"Kau bisa menggunakan kata-kata manismu untuk menggoda gadis di luar sana."
Jack mendengus sebal. "Entah kenapa aku merasa kau tak sedang memujiku, melainkan menghinaku."
Simon hanya mengangkat bahu dengan acuh kemudian menghabiskan sisa cairan anggur dalam cawan sebelum kembali menuangkan dengan takaran penuh.
"Aku heran bagaimana wanita-wanita lebih menyukai orang sepertimu, lihat saja caramu berbicara. Secara normal mereka harusnya tak memasukkanmu dalam list orang yang harus dikencani. Kau cukup membosankan—"
"Yeah, aku tahu itu."
Jacob mengangkat sebelah alisnya, ada yang tidak beres dengan tingkah Simon sekarang. Sesuatu terasa berbeda, aura pemuda itu tak lagi cerah malahan secara kasat mata tampak asap hitam keluar dari tubuh Simon. Jack menyipitkan mata, menelisik setiap jengkal ekspresi yang terpahat di wajah temannya. Sekejap dia berubah menjadi ahli mikro ekspresi.
"Ada masalah dengan Emily?"
Simon terhenti tepat sebelum bibirnya menyentuh pinggiran gelas kaca. Tampaknya pertanyaan Jacob memberikan pengaruh pada alam bawah sadar Simon. Dia membatu cukup lama sebelum kembali menenggak Wine 1972 yang terasa agak pahit dalam sekali teguk.
"Aku tidak ada masalah apapun."
"Masa sih?"
"Tapi kami sebentar lagi akan putus."
"HOLY CRAP!" Jacob berseru secara reflek. "Jangan bilang kalau dia memergokimu tidur dengan orang lain?"
Simon kembali mengangkat bahunya dengan mimik wajah tanpa minat. Tanggapan dari Jack lumayan benar kalau posisinya dibalik, tentang siapa yang memergoki siapa. Tetapi untuk apa juga Simon menjelaskan secara detail. Toh, semuanya sudah terjadi. Dia juga sadar benar kalau dirinya tak sepenuhnya benar. Mereka belum menikah, belum memiliki ikatan secara resmi dan paten. Tak ada larangan bagi dia maupun Emily untuk memilih tidur dengan orang lain.
Alasan Simon ingin memutus hubungan bukan karena dia merasa terkhianati, tetapi lebih pada membiarkan gadis itu bahagia dengan pilihannya. Karena, selama mereka berpacaran tak pernah sekalipun tidur bersama. Mungkin itu juga alasan mengapa Emily memilih tidur dengan orang lain.
"Dia gadis baik. Aku tak mau menahannya dengan orang sepertiku. Aku tak bisa membuatnya bahagia," tutur Simon.
"Oh. Ya ampun," Jack menepuk dahinya lumayan keras. "Kau harusnya mendekatkanku dengan Emily lebih dulu sebelum kalian putus. Astaga, akan sangat susah kalau sekarang ku dekati~"
"Kau bukan tipe pria idamannya. Dia suka pria yang mempunyai mobil Audi."
"Hey!" Jack hendak protes namun langsung dia urungkan kembali. Kalau memang begitu tipe pria idaman gadis populer di kampus mereka, itu berarti tak ada kesempatan untuknya. Sama sekali.
"Aku serius. Kau tak harus selalu menemaniku di sini sampai selesai," ujar Simon lagi.
"Kau tahu, cara paling ampuh mengobati patah hati adalah dengan mencari cinta yang baru," tutur Jacob sembari menepuk bahu Simon sebelum pergi dari ruangan private tersebut.
Padahal ucapan itu sekonyong-konyong keluar dari mulut Jack secara tiba-tiba tanpa persiapan matang. Bisa dibilang hanya sekedar basa-basi penyemangat untuk temannya yang sedang patah hati.
Tetapi, anehnya ucapan itu cukup mengganggu pikiran Simon.
"Apa aku bisa menjalani hubungan yang sehat?"
.
.
.
.
.
Ruangan yang semula gelap perlahan menjadi terang. Cahaya dari luar sana menelusup ke balik gorden tipis. Hembusan angin pagi juga menyelusup dari celah-celah yang tak terlalu tertutup rapat. Membuat udara pagi bersih mengalir masuk mengisi ruangan 3x3 meter.
'Sraak—'
'Greep—'
Seorang pemuda di bawah selimut mengernyitkan alis ketika dadanya terasa sesak. Seperti ada sesuatu yang sedang berada tepat di atas tubuhnya.
Mungkinkan ini yang dinamakan ketindihan? Sleep Paralysis?
Isi kepalanya langsung memproyeksikan makhluk-makhluk astral, monster malam, atau pun bayangan gelap tinggi besar. Sesuatu yang biasanya digambarkan pada film, komik serta novel horor. Sesuatu yang bersifat jahat dan bisa membahayakan nyawa. Seringkali wujudnya tampak menyeramkan, membuat siapapun akan ketakutan setengah mati saat melihatnya.
Maka, Ashley memutuskan untuk tetap memejamkan mata meskipun dia masih merasakan beban di atas tubuhnya.
Kemudian dengan sangat mengejutkan, beban tersebut tak lagi menetap di satu titik saja. Sesuatu itu mulai bergerak ke sisi lain dari tubuhnya. Ini pasti monster. Karena Ashley sadar benar kalau dia merasakan kaki-kaki kecil menginjak-injak dada lalu berpindah ke perut.
"Puurrrr~ Meoooww~"
Eh?
Monster macam apa yang mengeluarkan suara menggemaskan seperti ini?
Ashley seketika membuka mata. Raut ketakutan di wajahnya langsung berubah saat mendapati siapa 'monster' yang telah membuatnya ketakutan setengah mati.
"Oh Ya Tuhan~ Kau hampir membuatku terkena serangan jantung Meggy~" Si kucing hitam hanya menatap lurus dengan ekspresi polos. Pupil matanya tampak membesar ketika dia menyamankan posisi tidur di atas perut Ashley.
Tersenyum, Ashley total bangun tanpa rasa kantuk sama sekali. Dia lalu duduk dan bersandar pada kepala tempat tidur sambil mengelus bulu hitam lembut milik kucing peliharaannya.
"Meooow~ Meeooww~~"
"Kau lapar?"
Si kucing hitam lantas menggesekkan kepalanya pada telapak tangan Ashley sebagai jawaban.
"Okay sebentar, aku akan siapkan makananmu dulu.."