Chereads / FIREFLIES : first love / Chapter 15 - Keajaiban Atau Kebetulan?

Chapter 15 - Keajaiban Atau Kebetulan?

Ruang penyimpanan berukuran tak terlalu luas, hanya cukup untuk menyimpan sekitar 5 karung besar biji kopi, beberapa kilo kardus berisi kopi bubuk, alat kebersihan dan semakin menyempit kala pemuda bertubuh besar mendudukkan diri di tengah-tengah ruangan.

Niat awalnya mengecek persediaan kopi hanyalah alasan belaka demi menghindari amukan si singa betina. Selain itu, pikirannya malah terdistraksi pada kejadian beberapa saat lalu. Ketika mengantarkan flashdisk pada salah satu seniornya, dimana adalah orang yang sama dengan tempo hari pernah bertemu dengannya. Pemuda pemarah yang dia kira seorang pencuri karena terlihat berusaha membuka pintu cafe.

'Maaf, aku tak menyukai laki-laki.'

"Ugghh..." Ashley merasa bulu kuduknya berdiri ketika mengingat ucapan senior tersebut. "Apa wajahku seperti seorang gay?" tanyanya pada ruang kosong, tentu saja tak akan ada jawaban.

Kalau dipikir lagi, wajah senior itu lumayan manis untuk ukuran pria dewasa. Mungkin saja banyak laki-laki yang menyatakan perasaan pada senior tersebut, membuat Ashley mendapatkan imbas dari kesalahpahaman.

"Tapi, maksudku kan baik. Aku ingin minta maaf dengan cara memberi minuman. Apa hanya itu saja bisa mengindikasi aku menyukainya?" monolognya di dalam ruangan kosong.

Mungkin terlihat sepele, orang lain bisa saja melupakan hal memalukan seperti itu, tetapi tidak bagi Ashley. Dia harus memperbaiki kesalahpahama yang terjadi tanpa sengaja. Dan, bisa saja senior itu sudah sangat membencinya hingga berpikiran yang tidak-tidak tentang Ashley.

Karena itu, Ashley bertekad kuat untuk mendekati senior berwajah manis untuk membuatnya mengerti kalau dia seorang pria dewasa yang normal.

Meskipun sampai sekarang belum pernah berkencan dengan wanita, sama sekali.

Baiklah, lupakan hal miris tersebut.

Ashley segera mengeluarkan ponsel dari saku celana, mencari nomor kontak seseorang yang sekiranya bisa membantu dalam situasi macam ini.

"Halo.."

.

.

.

.

.

.

'Bruk!'

Pemuda berkulit pucat menjatuhkan tubuhnya di atas sofa panjang, menghasilkan efek memantul beberapa saat. Dia menghela nafas, terdengar berat dan lelah, seperti seseorang yang telah berlari maraton.

Kelopak mata dengan bulu-bulu lentik menutup sedari tadi, kenyamanan luar biasa menjalari tubuhnya lalu mulai mempengaruhi kinerja otak menjadi lebih tenang.

Tetapi ternyata tidak semudah itu. Karena, detik berikutnya iris hitam sekelam malam terbuka sempurna. Dia menoleh ke sisi kanan, dimana sebuah tas tergeletak tak berdaya di atas karpet bulu. Sebab sang pemilik telah melemparkannya ketika baru saja masuk ke dalam ruangan.

'Bagaimana kalau Anda mampir dulu ke Cafe Saya dan menikmati secangkir minuman di sana? Saya akan berikan gratis, sebagai permintaan maaf saya kemarin.'

"Tsk!?" desisnya kesal. "Dasar, trik murahan seperti itu masih ada yang melakukannya ternyata."

Simon mulai kembali memejamkan matanya lagi. Kalau sedang kesal begini, dia sering melampiaskan dengan tidur sangat lama, bisa sampai berjam-jam bahkan mungkin akan bangun tengah malam nanti.

Rencana tersebut akan berjalan mulus kalau saja Simon tak ingat pada file yang harus dia kerjakan.

"Sial."

Umpatan keluar dengan mulus dari sela bibir tipisnya, Simon mau tak mau turun dari sofa, merelakan rasa nyaman yang membuatnya mengantuk demi sebuah tugas sialan yang diberikan oleh dosen sialan juga.

Intinya Simon hanya ingin memaki pada apapun yang terlintas dipikirannya. Barangkali dengan itu bisa memudarkan kekesalannya.

Dengan gusar mengeluarkan Macbook dari dalam tas, menyalakan benda berwarna putih agak tipis sebelum memasukan flashdisk tersebut ke dalam lubang port di sisi kanan laptop. Simon menyamankan posisi duduknya dengan menyender pada sisi bawah sofa sembari menggenggam mouse. Menggerakan kursor, satu klik kanan pada salah satu folder, satu klik lagi pada satu-satunya file yang ada di dalamnya.

Isinya sebuah jurnal PDF yang harus dia pelajari secepatnya lalu mengisi kuisioner di bagian akhir halaman. Terkesan mudah kalau hanya melihat dari perintah yang dituturkan, kalau saja jurnal ini tak berisi ratusan halaman. Astaga, mata Simon langsung terasa berat hanya karena menggeser sampai ke akhir halaman. Ini bukan lagi gila, tapi SANGAT GILA.

"Dasar dosen sialan, seenaknya saja memberikan tugas tak manusiawi seperti ini dan pergi begitu saja," rutuknya kesal. "Ku doakan semoga rambutnya semakin tipis dan menjadi botak permanen!"

Meski telah mengeluarkan sumpah serapah sedemikian rupa, nyatanya Simon tetap membaca setiap baris dan paragraf dengan seksama. Dia tak mau rasa kesalnya ini malahan membuatnya mendapatkan nilai paling rendah atau malah berakhir gagal. Tidak, itu tak boleh terjadi.

'Kruyuuk'

Perutnya bersuara dengan keras tiba-tiba, cukup mengganggu konsentrasi Simon yang sedari tadi menatapi layar. Dia berusaha mengabaikan, andaikan saja bisa, tapi cacing-cacing pita di dalam sana tampaknya sedang melakukan demo masal agar pemuda itu segera mengisi apapun ke dalam perutnya.

Simon tahu, tak ada bahan makanan apapun di dalam kulkas. Dia belum mengisi stok untuk bulan ini. Dia terlampau malas untuk repot-repot belanja persediaan makan dan memasaknya sendiri. Lebih suka makan diluar ataupun pesan antar. Maka, karena tak ingin fokusnya terganggu hanya karena perut kosong, Simon memutuskan untuk memesan makanan cepat saji saja. Perlu satu hingga dua jam hingga makanan tersebut sampai di tempatnya, setidaknya itu lebih baik daripada harus keluar dari apartemen ini. Rasanya, udaha di luar dapat membuat emosinya menjadi tidak stabil.

Simon belum sempat menekan tombol hijauh di layar ponsel ketika bel pintu depan berbunyi dengan keras. Seseorang tengah berada di luar sana, menunggu untuk dibukakan pintu.

Pemuda berkulit pucat memasang ekspresi heran, karena setahunya dia tak memiliki janji dengan seseorang. Kalaupun ada yang akan datang, orang tersebut pasti mengiriminya pesan lebih dulu, mengecek apakah Simon ada di dalam atau tidak.

Rasa penasaran yang kuat telah mendorongnya untuk mendekat ke arah pintu depan. Ada sebuah layar kecil di dekat pintu, gunanya mirip seperti lubang intip untuk melihat siapa atau apa yang ada dibalik pintu.

Simon lumayan terkejut ketika mendapati seorang pria tak dikenal berdiri di luar sana. Seketika adegan tentang penculikan dalam serial tv yang dia tonton kembali teringat. Tunggu, kejadian tersebut tak akan menimpanya bukan? Simon menepis kekhawatiran tak masuk akal itu.

Pemuda itu mendekatkan wajahnya ke arah layar. "Siapa?"

Pria di luar pintu juga mendekatkan tubuhnya pada kotak kecil hitam yang berada di sebelah pintu. Hampir sama dengan di dalam ruang apartemen ini, hanya saja tak ada layar. "Saya hendak mengantarkan pesanan."

Ini gila atau mungkin ajaib?

Apakah Tuhan telah mengabulkan permintaannya sebelum Simon sempat mengehubungi layanan pesan antar?

Tidak, keajaiban semacam itu nyaris tak mungkin terjadi di dunia nyata.

Ini bukanlah drama ataupun novel fiktif.

Dunia tak mungkin berbaik hati semudah itu.

"Maaf, tapi saya tak memesan apapun."

"Tunggu sebentar," dari layar tersebut si pria terlihat mengecek sesuatu, secarik kertas. "Nomor 315 atas nama Tuan Simon Jefferson, benar?"

Baiklah, mau tak mau Simon harus menerima kalau memang benar keajaiban macam ini benar adanya.