Tanganku mengepal erat. Ruangan perkuliahan diubah menjadi penjara. Penjaga mulai menaiki tangga besar di lorong sekitar 15 meter dari pintu masuk. Di lantai atas sumber suara mengganggu kini dapat kulihat.
Penjaranya terlihat lebih banyak daripada lantai bawah karena banyaknya pertigaan dan perempatan. Hamparan sel-sel menempel pada setiap penjuru tembok penjara.
"Hey cantik, pegang tanganku dong," ujar salah seorang pria bersuara parau di samping kanan tangga. Seluruh tubuhnya yang kurus menempel pada jeruji dengan tangan dan kaki yang menjulur keluar seolah aku adalah magnet baginya.
Penjaga yang mendampingiku memutar-mutar pistolnya dengan jari telunjuk. Wajah terdakwa yang memanggilku barusan langsung dipenuhi rasa takut. Ia langsung mundur dari jeruji. Lalu aku melihat beberapa tangan yang dijulurkan orang lainnya membuatku ketakutan, sebuah bolongan bahkan ada yang 2 bahkan 3 menembus telapak tangan mereka. Lubang yang cukup besar.
Mataku mencoba menganalisa berapa besar diameter pistol penjaga itu. Aku hanya bisa menggeleng sambil mengeluarkan nafas panjang, kejam sekali tempat ini.
Berbagai lorong dan tangga kami lewati namun tidak ada tanda-tanda dari reguku dimanapun. Sadikin dibelakangku tampak melihat sekeliling sel yang sama. Ekspresi wajahnya terlihat cemas sekali wajar saja saudaranya ada di genggaman orang-orang ini. Tapi ia harus menutupi aura cemasnya yang terasa sampai sini kalau tidak mereka semua akan curiga.
Lantai paling atas tidak mempunyai sel di penjuru lorong. Melainkan lebih seperti suasana ruang-ruang kelas. Suasana disini lebih hening dari dibawah sana bahkan suara nafas kami bertiga dapat terdengar mengganggu.
Tidak ada siapa-siapa selain kita disini. Namun aku mendengar suara samar di balik salah satu pintu yang kami lewati seperti suara bisikan yang keras. Seolah pita suara tidak menghasilkan suara manusia yang khas.
Kami berhenti pada pintu di ujung lorong. Penjaga mengetuk pintu tersebut. Jantungku berdebar-debar membayangkan apa yang akan menyambut kita dari pintu itu. Semuanya dipertaruhkan pada momen selanjutnya. Sepasang langkah kaki terdengar kecil lalu main dekat. Rasa ingin teriak panik kupendam semuanya di dalam tarikan nafas 'tenang' ini.
Seorang pria dengan tinggi lebih pendek dari Sadikin tapi lebih tinggi dariku membuka pintu perlahan. Kulitnya coklat dengan wajah oval dengan bagian pipi yang membentuk sebuah sudut. Rambutnya dipotong model pompador.
Wajahnya mulus tanpa ada bintik atau jerawat yang terlihat. Ini mungkin satu-satunya orang yang memiliki wajah yang bersih sempurna meskipun di tengah keadaan perang seperti ini. Ia tersenyum melihatku, bukan tersenyum senang, tapi senyuman lebar mengganggu dengan mata yang melotot. Penjaga di dekatku hanya bisa memandangnya pergi dari ruangan dengan tawa kecil.
Tangannya lalu mempersilahkanku masuk dan kemudian pergi begitu saja dari ruangan itu. Ada 4 orang di ruangan yang terlihat seperti ruangan santai selain dia. 2 orang sedang duduk pada sofa membelakangiku.
Wanita berkulit coklat dengan hidung mancung dan rambut hitam lurus pekat yang dibiarkan turun seleher. Tahi lalat kecil menempel pada pipi kanannya lalu bibirnya yang anehnya berwarna abu, tidak ada tanda-tanda aliran darah yang terlihat. Matanya mengernyit tajam melihatku.
Kemudian seorang lelaki berperawakan kurus dengan wajah mulus putih bulat memakai kacamata bulat yang terlihat ketakutan melihatku seperti sedang melihat hantu atau penjahat.
Dua orang lainnya yaitu seseorang yang aku hampir tidak terkejut melihatnya. Si bodoh Amir yang sedang bersender pada tembok di seberang ruangan.
Lalu Melodi yang duduk menghadapi arah orang masuk dan yang paling ujung diantara mereka berempat, tetap menahan senyuman di balik wajah porselennya itu. Senyumannya terlihat dipaksakan sekali. Meskipun 3 orang lainnya memasang wajah gelisah. Apa orang tadi yang membuat suasana ruangan seperti ini?
"Jadi Clara, kau sudah memberi jawabanmu? Sini masuklah, ajak Nova juga ke dalam bersamamu!" ajak Melodi memutar badannya menghadap pada pemandangan dibalik jendela belakangnya.
Sebuah benturan keras terdengar seketika itu di belakangku. Kepala pengawal tadi menyentuh tumit belakangku. Sadikin maju menodongkan senjatanya pada orang-orang di dalam ruangan. Mereka sama sekali tidak sempat berdiri membela diri sendiri.
Tangannya memberiku senjata familiar, yang sebelumnya dipamerkan terus oleh pengawal. Kita berhasil! Rencana ini sukses! Aku dengan cepat menarik tubuh pengawal itu ke dalam ruangan dan menutup pintu di belakangku.
"Ada yang kuingin tanyakan padamu. Jawablah sejujurnya singkat padat, segala usaha membelokkan pertanyaan maka aku tidak akan ragu menekan pelatuknya," jelasku menodongkan senjata padanya. Aku menarik nafas perlahan. "Apa benar kamu mengetahui cara keluar dari kabut ini?"
"Kau pasti mendengarnya dari Nova. Ya begitulah, ia kadang kelepasan saat membicarakan masa lalunya terutama pada orang kompleks yang sudah membunuh orang tercintanya, kasihan sekali."
"Bukan itu jawaban yang kucari." Tanganku mulai menarik pengaman pistol. Baru satu kalimat tapi ia benar-benar membuatku kesal.
"Hentikan Ra! Kita bisa membicarakan ini baik-baik," Amir memotong.
"Dengar ya Mir! Jika kau pikir aku tidak akan menembakmu sekarang maka kau salah. Jariku gatal ingin menghabisi kalian berdua atau minimal salah satu di antara kalian hanya untuk melihat ekspresi sedih satu sama lain saat pasangan kotor seperti kalian jatuh dalam ambang kematian. Aku sangat ingin menikmati pemandangan itu jujur. Tapi disaat yang sama prioritasku adalah untuk menolong sesama reguku yang sedang ditawan oleh pelacur satu ini dan pasukan aliansi terkutuk munafik yang ingin saja menusuk dari belakang." Aku menarik nafas pendek berulang. Lega rasanya sudah bebas mengutarakan perasaanku yang sesungguhnya kepada gerombolan sampah dan munafik ini.
Amir langsung menatap Melodi tajam. Aku tidak tahu itu ekspresi sungguhan atau apa. Tapi apa pedulinya dia pada organisasi yang sudah susah payah ia tinggalkan?
"Untuk pertanyaan Clara mengenai apa aku menemukan cara keluar dari kabut ini adalah iya, aku menemukan caranya. Tapi Kota Ciragam dan Pasukan Elang harus benar-benar ditumpaskan terlebih dahulu. Kami membutuhkan sumber daya yang kalin timbun lalu selanjutnya karena Kota Ciragam adalah kunci," ujarnya tetap menahan gestur.
"Lalu kenapa harus menghancurkan pasukan kompleks? Kita bisa saja bekerjasama menghancurkan Pasukan Elang bersama-sama."
"Tapi kehancuran kompleks adalah keinginan seluruh warga Bandung dan Sumedang. Kami membutuhkan semua yang dimiliki oleh Pasukan Kompleks, baik itu makanan, personel, dan persenjataan. Itu semua tak bisa terpenuhi dengan perjanjian kerjasama dan birokrasi sana sini. Atasan kalian ingin memberi kami sebanyak luas kedua telapak tangan sedangkan kami ingin seluruh tubuh kalian, jika kau mengerti maksudku", jelasnya dengan berbagai gestur tangan.
Ia menghembuskan nafas lalu tersenyum. "Jadi ayolah ra, bergabunglah dengan kami! Tinggalkanlah semua masa lalumu di dalam sangkar dan bergabunglah dalam misi pembersihan daratan ini".
"Mel! Tidak semua orang ingin bergabung dalam peperangan ini", teriakku menyangkal.
"Oh begitukah?" wanita itu menoleh pada Sadikin, "Siapa namamu tuan?".
"Namaku Sadikin, kenapa bertanya?"
"Kenapa orang sepertimu bisa berakhir menjadi Pasukan Kompleks? Apa karena Pasukan Elang merebut kota tercintamu?"
"Kalau iya lalu kenapa?"
"Bergabunglah dengan kami! Pasukan Elang sudah menebar ketakutan dan akan semakin kuat kalau terus didiamkan. Coba lihat dirimu! Kami sangat membutuhkan prajurit dengan perawakan bagus dan tekad untuk berbuat benar. Kalian semua orang baik, kami tahu itu. Tapi cobalah tengadahkan kepala kalian dan lihat dunia luar seperti apa," suara Melodi semakin melembut. Sadikin dibuatnya tersipu malu.
"Tunggu dulu! Dari mana kau tahu semua ini? Bahwa Kota Ciragam adalah kunci pada masalah kabut ini?" potongku sebelum anak buahku jatuh hati pada ucapan manis penyihir ini.
Ia diam sejenak lalu menarik nafas. "Apa dari mana aku dapat info itu penting untuk saat ini?"
"Kau tidak menjawab pertanyaanku." Dapat kau penyihir atau nabi palsu.
"Duniamu sebentar lagi akan hancur ra, kabut akan mendatangi tempat ini satu persatu. Tidak ada yang akan selamat ketika hari itu datang. Penyesalan akan datang di akhir dan kalian akan benar-benar menyesal tidak berbuat sesuatu yang berguna selama 2 tahun terkurung".
"Mel! Kau masih belum menjawab pertanyaanku."
Ia menatapku tajam. Pupilnya memerah. Porselen di bawah mata dan pipinya mengalami keretakan. Suara memekakkan telinga membuatku mual. Tanganku bergetar hebat seperti darah yang seharusnya mengalir memberiku tenaga entah kenapa menjadi tiba-tiba memutar haluannya. Kusadari lututku yang kini menahan berat badanku di lantai. Penglihatanku sangat buram.
Semuanya terlihat berputar dihadapanku. Aku hanya bisa mengandalkan lengan depan kananku untuk memegang tumpuan yang benar. Sadikin di belakangku juga terjatuh. Suara hoek terdengar keras keluar dari mulutnya. Sial, asam lambung juga.
Kenapa yang lain masih bisa berdiri setelah mendengar suara memekakkan itu? Si culun berkacamata anak buah Melodi berdiri mengambil pistolku begitu pula wanita bertahi lalat yang mengambil pistol Sadikin.
Aku menengadahkan wajah melihat pupil yang berwarna merah tadi sudah tidak berada lagi disana namun retakannya masih ada. Pupil itu ... pupil jahat itu mengingatkanku pada sesuatu tapi apa?