Lelaki berpenampilan sempurna dengan rambut disisir ke belakang layak pompadour yang berkilau. Baju jas hitam tanpa noda beserta celana tuxedo hitam pula. Berani sekali ia memakai atribut yang mencolok sendiri macam itu tanpa sebuah peluru nyasar mengenai tubuhnya, lalu tanpa penduduk-penduduk Bandung mencabik paksa baju bagusnya. Seolah ia yakin bahwa dirinya memang tidak tersentuh di dalam kota ini. Seperti seorang Dewa yang berjalan di tengah kerumunan manusia.
"Apa yang kau inginkan dariku?" Aku sudah tidak merasakan rasa takut lagi atas kehadirannya. Semuanya sudah tidak berarti sekarang.
"Kau sebagai lelaki lemah sekali." Tawanya.
Omongan seperti itu sudah tidak berarti bagiku.
"Sampai kapan kamu mau menyalahkan diri sendiri atas kesalahan yang tidak secara langsung kau perbuat? Atau kau hanya syok dari berita yang Sang Penyelamat sampaikan?". Aksen Indonesianya dipenuhi oleh intonasi yang lembek. Ia bukan berasal dari negeri ini.
"Keduanya! Kau puas sekarang. Kau pikir orang disini suka dengan perbuatanmu? Setahun lalu semuanya saling bunuh dan kau diam saja? Aku akan membunuhmu seorang diri kalau bisa," aku menaikkan nada suara.
"Buat apa kau memberitahu hal macam ini, toh yang seperti itu sudah lewat," kedua telapak tangannya disandarkan pada bagian belakang kepalanya. Ia tersenyum senang seperti tidak ada masalah dalam hidupnya.
Ia lalu melemparkan sesuatu ke arahku. Sebuah pistol biasa dengan peluru di dalamnya.
"Sekarang bunuhlah aku seperti perkataa-," ia terdiam lalu tertawa sejadi-jadinya.
Apa yang terjadi? Peluru yang keluar dari pistolku tiba-tiba menghilang. Sebuah asap kecil muncul sekitar 5 senti di depannya melayang. Bau mesiu jelas tercium tapi dimana pelurunya. Peluru kedua ketiga keempat kutembakkan. Semuanya disambar oleh kilatan ungu yang datang secara tiba-tiba dari permukaan bajunya.
Aku melemparkan pistol kosong itu ke arahnya. Tangannya menangkap tanpa bergeming. Telapak tangan kukepalkan bersiap menerjang wajahnya yang menyebalkan itu.
"Stop!" Teriaknya membuat tubuhku berhenti mendadak, "Apa yang membuatmu berpikir kalau tanganmu akan utuh seperti pistol ini?"
Rasa takut yang amat sangat tiba-tiba menghantuiku. Sihir teknologi macam apa ini? Inikah yang dimaksud Meli? Dewa tak tersentuh yang berjalan layaknya manusia. Aku tidak sanggup menghadapi hal seperti ini lagi.
"Sudah puas?" bibirnya semakin tersenyum.
"Kenapa … kenapa kau melakukan ini semua?"
"Singkatnya untuk melindungi kalian dan melindungi dunia, percaya tidak?"
Aku membuang bola mata, "Sama sekali tidak."
"Ah, dibohongi pujaan hatimu membuatmu menjadi tidak naif lagi sepertinya."
Aku memukul meja di depanku, "Orang-orang yang hilang di kabut, kemana mereka sekarang?"
"Mati." matanya menghadap pojokan langit-langit, "Percobaan belum selesai tapi kalian mencoba pergi? Tega sekali kalian."
Posturnya sudah kemana-mana. Kedua kaki sudah melewati sandaran lengan sofa. Sementara kepalanya menyandar pada senderan lainnya. Wajahnya malas menatapku. Lalu apa-apaan nada suaranya tadi. Seolah-olah ia mengejekku, tidak ada pertimbangan terhadap lawan bicaranya. Ah ya aku lupa, kami di matanya sudah lebih rendah dari manusia, sebagai bahan percobaan.
"Percobaan yang kami lakukan mempunyai tujuan mulia, berbeda dengan wanita itu. Kau lihat kan orang-orang malang disini?"
Aku tidak bisa berkata-kata. Entah karena aku benar-benar tidak tahu akan tujuan percobaan Melodi atau betapa munafiknya 'orang' di depanku ini.
"Gadis yang malang, ia menjadi relawan untuk menjadi pengawas saat kita baru seperlima jalan pada percobaan ini. Dalihnya sama sepertiku, ingin menyelamatkan dunia luar yang sekarang. Tapi sebuah penyakit aneh menimpanya tiba-tiba, lalu ia menyalahkanku atas apa yang terjadi padanya. Miris sekali."
Tidak, dia tidak merasa kasihan ataupun menyesal atas omongannya itu. Seolah semuanya terjadilah. Tapi Melodi, sampai sekarang aku masih merasakan perasaan iba meskipun aku sangat menentang caranya melakukan ini semua. Karena pada dasarnya situasiku dengannya adalah sama. "Kau tahu apa yang sangat diinginkan Melodi?" tanyaku.
"Balas dendam?" tebaknya terlihat bingung.
"Tidak, itu bukan keinginannya, balas dendam adalah pilihan yang sengaja ditimpakan padanya."
"Kau tidak lihat apa yang telah dibentuknya di kota ini untuk membalaskan dendamnya? Kita pasti benar-benar bodoh kalau melepaskannya begitu saja."
"Iya karena kau tidak memberinya pilihan. Meskipun aku tidak tahu detailnya, kau tidak dapat membiarkannya berkeliaran di dunia luar seberapa besar resiko yang akan terjadi, begitu kan? Keinginannya yang sebenarnya adalah sama seperti kami semua, keluar dari tempat ini apapun yang terjadi. Meskipun harus mengasingkan diri di hutan menurutnya."
Mulutnya ingin membentuk sebuah kalimat tapi kemudian menutupnya kembali. Ia kembali duduk tanpa mengatakan apa-apa. Sebelum kebenaran akan rencana yang sebenarnya terungkap, Melodi ingin sekali meraih kebebasan tapi menurutnya itu tidak mungkin. Saat ia berteriak di pojokan disana, tidak ada rasa puas di suaranya. Ia ingin keadilan seperti kami semua. Kami ingin hak kami sebagai manusia bebas.
"Aku suka pemikiranmu, tapi hampir benar." Bibirnya menorehkan senyum kembali.
"Maksudmu?"
Ia hanya tersenyum. "Aku tidak bisa melakukan itu. Kami membutuhkan kalian untuk mengatasi sesuatu yang lebih besar disana."
"Mengatasi wabah yang ada di luar kan maksudmu?"
"Bukan-bukan, sesuatu yang lebih hebat lagi seperti stem cell, regenerasi, bahkan gen fisik yang ajaib, semua kekurangan umat manusia bisa terselesaikan dengan percobaan ini," ia menyalakan layar-layar seperti Melodi tadi dari matanya, menunjukkan video klip tentang perkembangan sains dan sebagainya.
"Dengan mengorbankan kami sebagai kelinci percobaan kan? Dasar sakit!" teriakku tak tahan mendengar makhluk tak bermoral ini.
"Kau akan dikenang sebagai pahlawan, coba bayangkan, satu juta warga Indonesia berkorban demi kemajuan ilmu pengetahuan. Seluruh warga dunia akan mengenang nama kalian."
"Lalu bagaimana denganmu? Dibandingkan kami yang kelinci percobaan, kau yang susah payah pasti akan menyapu kotoran seperti kami di bawah keset kehebatanmu. Tidak akan ada yang mengingat kesejuta nama kami, tapi mereka akan mengingat satu nama pelopor semua kesengsaraan ini. Apa itu saja tujuanmu datang ke ruangan ini?"
"Jaga ucapanmu nak! Kau tidak ingin mati?" matanya menajam.
"Apa gunanya? Kami akhirnya ditakdirkan untuk mati demi proyekmu."
Suasana menjadi tenang. Ia berjalan-jalan di ruangan dengan sesekali melirikku. Seperti orang yang memikirkan sesuatu dengan sangat dalam. Apa dia memikirkanku? Memikirkan apa yang akan dilakukannya terhadapku?
"Kenapa kalian tega sekali melakukan uji coba terhadap manusia?" teriakku berusaha mencari jawaban.
"Kami tidak punya pilihan lain. Manusia dari awal sudah mengalami lomba lari dengan kematian. Pikir baik-baik! Global warming, evolusi bakteri dan virus, wabah baru, krisis ekonomi, overpopulasi, kita sudah berhasil melalui itu semua berabad-abad karena sains. Tapi moralitas merusak kita semua, mereka memperlambat percobaan sains terutama percobaan langsung terhadap manusia. Lihatlah akibatnya, kematian mulai menyusul kita karena itu."
"Dasar sakit! Coba bayangkan kalau kau atau keluargamu yang dikurung di tempat ini."
"Semuanya perlu pengorbanan, kalian sendiri yang bernasib sial berada di area ini," ia tertawa terbahak-bahak.
Aku mengepalkan tangan. Ia berani mengatakan hal tersebut tanpa konsekuensi apapun. Tapi dia benar, kita bisa apa melawannya yang menciptakan semua ini?
Ia kemudian berhenti tertawa lalu menatapku. "Sesuai pertanyaanmu tadi tentang tujuanku di ruangan ini. Aku ingin meminta tolong padamu, bukan minta tolong, anggap saja sebagai negosiasi, kau akan mendapatkan sesuatu setelah sukses melaksanakan apa yang kusuruh."
"Apa yang akan kau berikan?" tanyaku tidak percaya.
"Sebuah tiket kebebasan dari kabut ini."