Sosok Sadikin berjongkok di tengah lorong. Tatapannya menunduk meskipun wanita dihadapannya tengah bermain-main dengan senjatanya. Pisau-pisau pemberian Wirman yang dibawanya berhamburan bahkan ada beberapa yang dipotong bersih. Nafasnya tersengal-sengal dibalik tubuhnya yang berdarah-darah oleh tebasan.
"Kenapa kau tidak membunuhku?" Sadik terus-menerus mengambil nafas.
"Aku hanya tidak mau, bukan kewajibanku. Lihat siapa yang sudah datang jauh-jauh kesini. Kau sudah membunuh si culun itu?" tanyanya menunjukku.
"Ia tak begitu buruk. Sayangnya aku tidak membunuhnya."
"Baguslah, soalnya kalau memang demikian, aku akan sangat marah," ia mengacungkan pisaunya lalu menyiapkan kuda-kuda.
"Kalian sebenarnya siapa?" teriakku.
"Hanya orang-orang yang dendamnya terpenuhi."
"Kau tidak punya masalah dengan kami, begitu pula kami sebelum ini terjadi. Sebaiknya kita hentikan pertarungan ini!"
"Tidak bisa, kalian akan menjadi penghalang bagi rencana kami suatu saat," ia melaju ke arahku. Sadik langsung bangkit lagi dan mencoba menahannya. Pedang beradu antara anak buahku dan wanita ini. Tidak kusangka gerakan Sadik selihai ini. Tapi beberapa bagian tubuhnya bergetar. Seperti meminta tolong untuk berhenti bergerak sebelum overheat.
"Jangan bergerak!" teriakku. Aku mengarahkan pistol ke arah pertarungan itu. Mereka berhenti lalu melirikku bersamaan. Pistol langsung kuarahkan pada tubuh wanita yang diam itu. Ia mencoba bergerak. Suara mesiu meluncur mengenai betisnya. Darah terus mengucur tapi itu tidak mengubah caranya berdiri.
"Jadi kalian benar-benar bertarung dengan tidak adil ya, baiklah!"
Matanya melotot. Pupilnya berubah merah lalu berubah membesar dan mengecil dengan pola yang hampir sama dengan Melodi dan lelaki berkacamata itu. Tiba-tiba pistolku tergelincir begitu saja dari genggaman. Kedua pergelangan tanganku lemas sekali. Namun bukan hanya aku, pisau yang dipegang Sadik sudah berada di dekat kakinya. Pergelangan tangannya bengkok lemas.
Ia mulai berlari ke arah kami. Aku menendang pistol di bawah kakiku sejauh mungkin lalu berlari. Sadik dapat mengikuti kecepatan lariku begitu pula sebaliknya. Namun sosok wanita itu hampir tidak berlari di belakang. Kakinya diseret sedemikian rupa demi menangkap kami, tapi kecepatannya sama dengan berjalan.
Kami beberapa kali berhenti dan menengoknya. Namun kami hanya bisa menatapnya saja. Tinjuku sama sekali tidak bisa dikepalkan di hadapan matanya. Lalu senjata yang dibawa Sadik sudah berada di lewati wanita itu.
Seperti menarik ulur tapi ini merupakan jalan yang belum pernah kita lewati sebelumnya, masih sama pemandangan sel-sel tidak tahu apa yang akan menanti kita. Mataku melihat dalam menuju sel sambil berlari namun tidak ada tanda-tanda timku. Sesuatu membuatku menghentikan langkah, jalan buntu!
Aku menarik tangan Sadik mencari pertigaan tadi. Tapi wanita itu sudah menutup jalan kami kembali. Kami hanya bisa mundur perlahan secepat ia dapat menyeret kaki kirinya yang terluka.
"Sudah kubilang aku akan menangkap kalian bagaimanapun juga," ia mulai memainkan pedangnya, "Kalian berdua akan kutebas lalu teman-teman menyedihkan kalian di sel bawah."
"Sel bawah? Maksudmu di lantai 3?" tanyaku.
"Yup, di pojokan bangunan ada lorong tersembunyi untuk menyimpan tahanan spesial. Percuma aku memberitahu kalian info macam ini, kalian akan mati dan akan kupastikan itu."
"Tunggu dulu!" teriakku mencoba mengangkat tangan dengan pergelangan lemas. "Sebelum kau menghabisi kami, aku ingin tahu semua kebenaran tentang rencana Sang Penyelamat.
Ia menghela nafas dalam. "Baiklah akan kuberitahu, sudah lama aku ingin jujur dengan kalian," ia berdehem, "Dengar kalian semua! Kalian berdua dan yang ada di dalam penjara. Sudah tidak ada lagi masa depan bagi kalian di tempat ini".
"Kenapa begitu?" tanyaku. Suara di dalam sel mendadak menggelegar.
"Sang Penyelamat dan Pasukan Aliansi akan menghancurkan kabut dan semua orang di dalamnya. Hidup kalian sebagai kelinci percobaan akan berakhir sebentar lagi."
"Apa-apaan kau ini?!" teriak Sadik tiba-tiba. Gemuruh dari sel semakin keras. Sebuah suara pistol berbunyi keras memecah keributan di lantai ini. Wanita itu berhenti melaju lalu menatap perutnya yang penuh darah. Ia langsung ambruk di hadapan kami. Sebuah tangan dijulurkan dari sel tepat di samping tubuh wanita itu.
Uluran tangan dengan pigmen hitam dan sangat kasar sampai aku bisa melihat lekukan ototnya dari sini. Tangan itu mengulurkan pistol yang tadi kutendang. Aku mencoba menahan rasa kecewaku terhadap orang-orang ini dan mengucapkan terimakasih pada orang itu, mengambil pistol dan tanpa jeda langsung berlari ke lantai bawah. Sedikit lagi kami dapat mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, tapi nasib mengatakan lain.
================================================================
Gelap, dingin, dan penuh bisikan. Itulah lantai 3 penjara ini. Aku heran kenapa tidak ada penjaga yang ada disini melawan kita? Apakah Melodi menyuruh mereka untuk menghormati permainan ini dan tidak ikut campur? Dia bilang sendiri mereka berempat akan melawan kami berdua. Tak kusangka itu benar-benar mereka berempat.
Langkah dibelakang kita seolah ditelan bayangan. Bagian penjara lantai 3 yang dikatakan wanita itu tidak mempunyai bilik-bilik penjara di setiap temboknya. Semakin jauh langkah kami, semakin berkurangnya pula bisik-bisik di belakang. Sadik yang meskipun terluka namun masih bisa bergerak dan menyenandungkan kepalanya sangat mengganggu.
"Kamu santai sekali untuk orang yang hampir mati," komentarku.
"Kita sudah berhasil mengalahkan jendral pribadi Melodi. Jadi hanya tinggal ia sendiri kan yang belum kita lawan?" tawanya.
"Berbeda dengan mereka, mungkin ia akan berniat membunuh kita saat melakukan kontak mata."
Sadik mengangguk dan mukanya menajam. Di depan kami berdiri orang yang tidak kami sangka akan berpartisipasi dalam perburuan ini. Tangannya menggenggam pistol di sakunya. Aku terlalu marah untuk berbicara dengannya. Kusenggol pinggul Sadik, mudah-mudahan ia mengerti kalau aku tidak ingin berbicara dengan orang itu.
"Apa yang kau lakukan disini Mir?" tanya Sadik.
"Maafkan aku, tapi kalian harus berhenti!" Ia mengarahkan pistolnya pada kami.
"Kamu orang baik Mir dan aku berhutang budi padamu. Ikutlah bersama kami kumohon!" bujuk Sadik dengan nada yang anehnya lembut.
"Sudah terlambat membujukku kembali, seperti yang Clara bilang, dimana lagi aku akan diterima selain disini?"
Sial aku ingin sekali menampar si apatis ini. "Kamu ngga tahu ya Mir, kalau Melodi terlibat dalam fenomena ini?"
"Aku sudah tahu ra! Ia sudah mengutarakan semuanya padaku," jawabnya.
"Jadi kau tahu rencananya yang sebenarnya?"
"Siapapun yang berada di dalam Kota Ciragam pasti memegang kunci atas fenomena ini, Melodi ingin memaksa orang-orang di sana untuk menghilangkan kabut ini."
"Dengar ya, Melodi ingin menghancurkan seluruh tempat ini dan mengakhiri hidup kita sebagai kelinci percobaan", balasku.
Ekspresinya menajam, dapat kau. "Kau mendengarnya dari siapa?", tanyanya. Padahal aku hanya mengutip kalimat dari wanita itu tanpa tahu apa maksudnya. Dari selama ini aku berinteraksi dengan teman dan anggota timku, ekspresi itu mengatakan kalau pernyataanku benar atau ada benarnya di mata lawan bicaraku.
"Apa lelaki itu yang memberitahumu?" tanyanya.
"Lelaki siapa? Kami tahu info ini setelah mengalahkan si kacamata dan wanita berkulit hitam itu."
"Lupakan, aku percaya Melodi akan menghilangkan kabut ini, kalian berdua cuman pengganggu yang akan terus menyeretku kembali ke sana," teriaknya.
"Lalu kenapa kau menolong aku dan Syarif waktu itu?"
"Cih, aku tidak mau kalian menderita karena pengkhianatanku."
"Tapi nyatanya tidak, hebat sekali kau ikut mengajak seluruh timku masuk ke tempat apa ini," potongku tidak tahan.
"Kalian menyalahkanku? Salahkan job desc kalian yang membuat nasib kalian seperti ini," balasnya balik marah.
"Kamu ya ...ini semua salahmu!" aku tidak tahan lagi melihatnya masih sehat sentosa di hadapanku. Pistol kukeluarkan dan tanganku hampir menekan pelatuk, namun pistol yang diarahkan padaku olehnya menahan jariku untuk menembaknya.
"Hentikan!" teriak Sadik.
Kami saling menatap satu sama lain. Terdapat jeda tidak menyenangkan antara kami bertiga.
"Mir!" Sadik bersuara, "Kira-kira bagaimana pendapatmu tentang kejadian di kantor lantai 5 tadi?"
Amir berusaha keras menjauhkan pandangannya dari kami. Ia mengernyitkan giginya lalu nafasnya menjadi tersengal-sengal. "Itu salah kalian, kenapa melakukan konfrontasi terhadap Melodi."
"Tapi kami berusaha mencari keadilan untuk teman-teman regu kita. Mereka akan menjadi bahan percobaan untuk apapun yang Melodi ingin raih saat ini. Kau lihat sendiri kan matanya di ruangan itu?"
"Aku ... tidak tahu itu yang akan dilakukannya,"
"Kita sebelum kejadian ini adalah teman Mir, sampai sekarang kami masih menganggapmu teman. Ayo kita kembali Mir, kami akan berusaha sebisa mungkin untuk mengurangi hukumanmu. Percayalah pada kami!" Sadik mengulurkan tangannya pada Amir. Aku tidak tahu Sadik mempunyai kepribadian seperti ini, mungkin ikatan spesial mereka berdua terbentuk saat Amir menyelamatkan Sadik seminggu lalu.
"Sudah terlambat bagiku untuk meminta maaf. Aku sudah tidak sanggup lagi memandang orang-orang yang sudah kukhianati, Bobby, Eric, Rudi, Sinta, regu kalian. Seperti kata mereka, Penyesalan datang di akhir. Andai saja aku tidak mengiyakan ajakan surat itu. Kalian tidak mungkin berada dalam situasi ini," air mata mulai membasahi pipinya.
"Kau korban dari konspirasi ini Mir. Mereka pasti akan mendengarkan keringanan itu," ujarku mulai mengerti perasaannya yang sebenarnya.
Langkah kaki terdengar dari belakang kami. Sadik melangkah mundur. "Biar aku yang urus ini ketua, bujuklah Amir agar bergabung dengan kita".
Aku hanya mengangguk.
"Mir! Maafkan aku karena sangat marah padamu. Betul kata Sadik, kau adalah korban dari semua ini. Ayo kembalilah!" aku mengulurkan tangan padanya.
Amir melangkahkan satu kakinya ke arahku. "Aku sudah tidak punya masa depan lagi kan kalau bersama kalian?"
"Kami akan sebisa mungkin meringankan untukmu!"
Amir melangkahkan satu kakinya lagi. "Aku sudah membunuh teman kita, bekerja sama dengan Pasukan Elang, lalu membuat kalian berada dalam situasi ini. Perbuatanku tidak dapat diampuni oleh orang berhati malaikat sekalipun."
Suara batuk dan mual terdengar di belakangku. "Jangan menengok ke belakang!", teriak Sadik kepadaku. Seketika rasa penasaran sirna.
Aku dapat mendengar suara tubuh yang ambruk di belakangku. "Tolong!", suara langkah kaki semakin keras di belakangku. Aku ingin berlari tapi tidak bisa selagi Melodi mengunci Sadik dengan kekuatan anehnya.
"Masih ada kesempatan Mir, Sadik tidak layak mendapat perlakuan macam ini, dan kau tahu itu kan?".
Amir gelisah.
"Kamu masih bisa berbuat hal yang benar Mir sekali lagi".
"Oh Tuhan." Ia menutup mata dengan tangannya. Air mata merembes dari sela-sela jarinya. "Cukup!" ujarnya langsung berlari melewatiku dan berdiri di hadapan Sadik. Tubuh Sadik langsung rubuh. Ia sama sekali tidak sadar. Tidak, tidak bisa begini! Mataku tak kuasa untuk menahan derasnya air. Kau harus hidup Dik! Kita harus bisa melihat terbitnya matahari di ufuk timur lagi. Kau dengar kan Dik? Kita harus bersama-bersama melihat kabut ini hilang untuk selamanya. Aku menarik tubuhnya keluar
"Mereka ada di ujung lorong ini, ada lorong sempit yang berbelok." Sosok Amir ditelan kegelapan semakin kami menjauhinya. Ia terduduk, kedua tangannya mengenggam pelipisnya dan berteriak sejadi-jadinya. Terimakasih Mir!
Di lorong tersembunyi terdapat sebuah sel yang sangat redup oleh api. Sepasang tangan menggenggam batang sel. Jariku langsung ingin tahu menyentuh siapa pun dibalik sana. Seketika pria itu teriak, sebuah wajah muncul dari balik kegelapan sel.
"Ketua!" teriak pria itu dengan suara parau.
Wajahnya sangat mirip dengan Sadik namun terlihat lebih ekspresif darinya, "Syarif! Syukurlah." Aku meremas kedua tangannya pada jeruji.
"Bagaimana ketua bisa menemukan kami?" Matanya kemudian mengarah pada saudaranya yang terbaring lemas disebelahku.
"Sadik ..." ia tidak teriak atau melakukan hal impulsif lainnya. Seolah-olah ia tahu kalau akan seperti ini konsekuensi yang akan terjadi. "Apa yang terjadi padanya?"
"Sang Penyelamat ... Kami dipermainkan disini. Mereka mempunyai kemampuan mengerikan."
"Apa kau bawa kunci?" tanya Syarif seperti tidak terheran atas kemampuan mereka.
Tidak, tidak, kita sudah sejauh ini. Tinggal selangkah lagi. Segala hal yang kita lakukan, semuanya masih berada di dalam genggaman Melodi.
Lobang kuncinya besar dan dengan tubuh yang tebal. Aku mengarahkan obor yang kuambil dari tembok pada lubang kunci itu. Banyak gear dan mekanisme-mekanisme yang tidak kumengerti. Obor yang kubawa jatuh begitu saja. "Aku tidak bisa melakukannya!"
"Kau mungkin bisa mengambil kunci dari Sang Penyelamat," ide Syarif.
"Aku tidak yakin dapat mengalahkannya seorang diri," setelah pikiran negatif itu muncul, darah seperti berhenti mengalir pada tubuhku. Hawa dingin membungkus kulit, jari-jemariku kesemutan.
Suara langkah kaki melelehkan seluruh tekadku. Di lorong yang lebih sempit dari lorong-lorong sebelumnya ini, apakah aku bisa melawannya seorang diri?
Tak lama suara langkah kaki yang konsisten diiringi oleh langkah kaki lain dengan tempo yang berbeda. Detak jantungku semakin tak karuan. Ada 1 siasat terakhir yang bisa kulakukan. Tanganku langsung memasukkan pistol dan pisau pada saku. Aku harus mempercayakan diriku agar tidak selalu melawan.
"Aku menang!" teriakku berusaha menahan postur dihadapan Melodi dan kedua jendralnya yang terlihat geram. Si kacamata menggenggam tisu di hidungnya, lalu wanita berkulit hitam itu memegang perutnya dengan mata yang bersinar. Tanganku terasa lemas sekali lagi. Namun di sebelah mereka, Amir masih berdiri dengan sehat. Bahkan tersenyum licik. Apa-apaan ini?
"Maafkan aku ra, tempatku memang berada bersama Melodi," senyumnya.
Tanpa berkata apa-apa, Sang Penyelamat berjalan perlahan mendekatiku. Kami hanya berjarak kurang dari satu meter saling menatap. Lalu ia mengeluarkan sesuatu dari kantong seragam Pasukan Aliansinya, sebuah kunci besar jaman kuno dengan batang kunci berbentuk tabung. Ia memutar kunci dalam lubangnya dan mereka benar-benar terbuka. Sesuatu mendorongku dari belakang menuju sel tempat mereka dikurung. Tubuh lemas Sadik didorong ke dalam bersama yang lain.
"Bebaskan kami! Ini perjanjiannya bukan?" ujarku melangkah ke arah mereka bertiga di luar sel.
"Kalian sudah cukup mengganggu rencanaku. Membiarkan kalian diluar akan membahayakan semuanya," bayangan mereka perlahan-lahan pergi bersama sumber cahaya terakhir di balik belokan lorong.