Sel Wirman semakin menjauh ditelan kegelapan. Satu persatu sel para tawanan bersorak ketika melihat kami berlari melewati jeruji. Aku tidak tahu sampai kapan mereka akan terpancing kesini ketika mendengarkan kegaduhan yang semakin menjadi-jadi.
Lantai 4 tempat ini sudah seperti labirin. Mataku menerawang seluruh wajah yang bermandikan cahaya api namun tidak ada ekspresi familiar. Aku mengetahui seluruh nama dan wajah reguku seperti telapak tanganku sendiri.
"Kita seharusnya berpencar agar menemukan yang lainnya dengan cepat," usul Sadik ngos-ngosan.
"Tidak!" Aku menghentikan langkahku. "Kumohon! Maaf dik tapi sudah cukup! Aku tidak ingin kehilangan reguku lagi di tempat menyedihkan ini."
"Tenang ketua! aku akan ... baik-baik saja."
"Tapi bagaimana kalau kita tidak akan bertemu lagi?" kenapa kalian sebegitunya ingin meninggalkanku? Air mata ini berusaha kubendung.
Ia terdiam menunduk.
"Aku tidak peduli jika aku sendiri yang menemukan teman-teman kita sendiri, tapi bagaimana kalau itu semua terjadi dan kau tidak ada disana untuk mendukungku?" Tanganku berusaha menyingkirkan derasnya keluh-kesah yang mengalir dari mataku.
Segala kegilaan yang terjadi disini membuatku ingin teriak. Tempat ini ... semuanya berubah drastis saat sebelum ada pemberontakan itu. Kita sudah terlalu lama mengurung diri kita sampai lupa bagaimana dunia nyata berubah. Aku tidak bisa mempercayai siapapun lagi, bukan Pasukan Aliansi, bukan Nova yang kukira peduli denganku, bukan Amir yang kukira kita sangat dekat, apalagi area kepungan kabut ini yang tidak jera melahap semua manusia di dalamnya, yang masuk kabut ataupun orang-orang sepertiku yang mencoba berdiam diri melihat kenyataan dihadapanku diputar begitu saja.
"K-ketua," ia bergumam.
"Dik, a-apa kau tidak takut akan semua ini?"
"Sebenarnya ketua. Aku sangat takut tapi bagaimana kalau kita tidak menemukan mereka dengan cepat?"
"Kita akan menemukan mereka bersama-sama dik!" aku menggenggam tangannya erat.
"Jujur sih ketua, aku tidak akan begitu banyak berguna jika terus di belakang ketua menunggu perintah."
"Kenapa kau ingin sekali kita berpisah?"
"Maaf kalau sedikit menyinggung ketua tapi keahlianku lebih berguna jika membawa seseorang yang mengerti sekali caraku mengerjakan sesuatu. Ketua yang terlalu banyak mengakomodasi kita semua setara kurang memperhatikan hal detail seperti ini."
Ternyata benar perasaan yang kualami ketika Sadik seperti tidak nyaman bersamaku. Sial, aku melupakan aspek Sadikin yang seperti ini. Berbeda dengan kakaknya yang vokal, ia memilih untuk menjadi pengamat dan bergerak bersama dengan orang yang dikenalnya betul.
Seringkali aku melihatnya bersama 2 temannya Hasbi dan Lisa mengobrol sementara yang lainnya bergerumul bersama. Hanya mereka berdua yang dapat Sadik andalkan. Namun meskipun seperti itu, mereka bertiga adalah penentu kemenangan perang tepi kabut kemarin.
"Aku percaya kemampuanmu untuk menemukan mereka dibandingkan semua orang di regu ini, tapi bagaimana setelah itu?"
"Akan kubebaskan mereka, dengan caraku! Mereka dalam bahaya jika tidak diselamatkan dengan cepat," ia mulai berjalan menjauhiku. Kata-katanya begitu yakin seperti tidak akan goyah oleh keadaan apapun. Itu caranya menyelesaikan semua permasalahan yang terus datang padanya. Ada yang bilang tidak ada yang bisa menyelesaikan masalah lebih pintar dari Sadikin, meskipun kupikir Rudy masih di atas angin. Tapi berbeda dengannya, Sadikin tidak banyak bicara dan langsung menyelesaikannya sendiri kalau bisa.
"Tunggu bukan itu maksudku!" ia memberhentikan langkahnya, "Seberapa yakin kamu kalau mereka masih ada di tempat ini?"
"Kita tidak akan tahu sebelum mencari!" balasnya.
"Mencari di tempat luas ini dengan begitu banyak orang di setiap sisi begitu? Gimana kalo memang mereka tidak ada?"
Ia terdiam. DIrinya tahu bahwa Sang Penyelamat terlalu kuat saat ini.
"Dengar! Aku tidak ingin bermain permainannya. Mereka akan tetap membunuh kita meskipun tinggal jeruji yang memisahkan antara kita dan regu. Aku tidak mau mati kehilangan cairan akibat kekuatan aneh Melodi itu. Jadi bagaimana kalau kita tidak kemana-mana dan bersiap?"
Sadik menghela nafas panjang lalu memberi anggukan tegas.
"Baiklah kita butuh butiran debu atau pasir."
Suara langkah kaki terdengar menggema di tempat kita tadi. Gemuruh dari para tahanan menghilang perlahan. Aku menghela nafas sedalam-dalamnya. "Mereka datang, 1 orang," ujar salah satu sel dihadapanku.
Sebuah bayangan muncul dari tikungan, memperlihatkan sosok kurus seorang wanita berkulit coklat berambut hitam dikuncir dan dibiarkan turun melebihi bahu dengan pakaian sedikit terbuka memperlihatkan pundak dan paha.
"Waktu habis untuk kalian berdua!" ujar wanita itu mengayun-ayunkan kepalanya seperti sedang bermain.
Kami berdua menyiapkan ancang-ancang.
"2 lawan 1 sama sekali tidak adil!" komentarnya.
"Semua situasi yang kalian tempatkan pada kami sama sekali tidak adil," balasku.
"Dasar makhluk tak tahu berterimakasih, kami bisa saja menjadikan kalian bahan percobaan seperti gadis di kursi roda tadi."
"Dimana kau sembunyikan mereka?" teriak Sadik tidak sabaran.
"Kalau kalian sudah mencari seharusnya pertanyaan tadi tidak ada dong," tangannya mulai mengeluarkan berbagai macam pisau berbentuk bermacam-macam, ada yang bergerigi, ujung tajam, dengan berbagai ukuran. "Ya sudah, akan kami akhiri sekarang."
"Kami?"
Sebuah benda keras mengenai punggungku. Sosok pria muda berkacamata bulat berdiri di belakangku melempari batu. Sejak kapan ia berdiri di belakangku? Tahanan di sekitarku bertanya-tanya pada satu sama lain kenapa mereka tidak melihatnya datang ke arahku.
Ia berdiri di sana tanpa kuda-kuda ataupun senjata yang mencolok di pinggangnya. Bahkan sosoknya berdiri dengan tangan kosong.
"Ketua urus orang berkacamata itu, biar aku urus wanita ini."
"Kembalilah dengan selamat!" ia membawa berbagai jenis pisau yang diberikan pemuda itu. Tapi dibandingkan dengan pedang wanita itu ... , tidak! Aku percaya Sadik tahu apa yang harus dilakukannya.
Suara pedang bertubrukan terdengar keras di belakangku. Tidak lama kemudian suara jejak kaki menjauhi dan semakin menjauh. Hanya lelaki itu yang berdiri di hadapanku dengan diiringi suara kebingungan para tahanan disekeliling.
"Tenang, aku hanya ingin menjawab pertanyaan kalian kok. Mereka ditahan di sel sebe-"
Pandanganku mengarah ke arah langit-langit. Kenapa aku tertidur di tempat seperti ini? Sesosok pria berdiri tepat di depanku dengan senyum menyeringai. Mulutku seperti menahan gumpalan cairan hangat yang terbentuk. Cairan merah keluar begitu saja menuju tanganku.
"Apa yang ... terjadi?" Rasa sakit menyebar tiba-tiba. Orang-orang disekelilingku meneriakkan kata-kata seperti 'berdiri', 'hajar dia', 'jangan beri ampun'. Sesuatu seperti menusuk perut, pipi, dan kakiku. Rasa sakit itu datang bersamaan, seperti pukulan yang kena telak. Tapi sejak kapan ia menyerangku? Apa benar ia yang menyerangku? Terakhir kali kulihat ia ingin menjelaskan sesuatu. Tapi sekarang kakinya menerjangku yang sedang duduk. Tapi gerakannya sangat terbaca dan dilihat dari tendangannya, ia seperti baru menendang seumur hidupnya.
Kedua tanganku dengan mudahnya menggenggam kaki yang melaju lalu kubuang ke arah lainnya. Ia kehilangan keseimbangan dan dengan cepat terjungkal dan jatuh. Ini kesempatanku! Ia menatapku sebelum aku mengirimkan pukulanku.
Seketika tubuhku menghadap langit-langit lagi. Namun kali ini dengan rasa sakit tambahan di bagian wajah dan perut. Pria tersebut sementara itu sibuk menahan tubuhnya di tembok menggunakan lengan kanannya sembari mengumpulkan nafas.
Sebelumnya ia berada di tanah di tengah lorong, lalu bagaimana ia dengan cepat berada di tembok itu? Tangan kirinya sibuk memegang sekeliling mata kiri. Bagian tubuh tersebut menyala kemerahan seperti Melodi namun berkedap-kedip. Tidak bisa dipungkiri lagi, hilang ingatan yang terjadi barusan karena kemampuan mata itu, sama seperti 'mukjizat' Melodi. Untungnya pukulan sebelum hilang ingatan itu sampai padanya.
Aku tidak merasakan asam lambungku naik atau kepalaku berdenging. Apakah benar mereka berdua memiliki kemampuan yang berbeda? Ini kesempatanku! Wajahnya kutinju lagi, ia pun ambruk dengan punggung menghadap ke atas. Di satu sisi aku merasa bersalah karena melawan orang yang tidak punya latar belakang apapun dalam bertarung, namun apa yang mereka perbuat terhadap timku menghilangkan kecemasan tersebut.
"Dimana kalian menahan timku?" Aku menutup mata kanannya sambil menggenggam kecil leher kurusnya. Omongan salah yang keluar dari mulutnya akan berakibat fatal pada kelangsungan hidupnya.
"Di lantai 3, mereka semua ada di lantai 3! tolong ampuni aku!" teriaknya sesak nafas. Penonton di dalam sel bersorak.
"Siapa kalian sebenarnya? Apa hubungan kalian dengan orang di dalam kabut itu?" lelaki di hadapanku menutup pandangannya dariku. Tanganku di lehernya seketika tidak kuat menggenggamnya lagi. Aku bukan pembunuh!
"Kami bertiga dulunya punya hubungan dengan mereka, tapi sudah tidak lagi."
"Maksudnya kau, perempuan berpisau itu, dan Melodi begitu? Dan mereka adalah orang-orang di dalam kabut?" tanyaku memastikan.
"Betul."
"Hubungan apa itu?"
"Kami dulu bekerja dengan mereka," tawanya.
Mendadak darah panas menyembur ke kepalaku. "Maksudmu ini sesuatu yang disengaja? kenapa mereka begitu tega melakukan ini? Apa yang mereka inginkan?"
Telunjuknya menunjuk ke arahku. Suara gaduh para tersangka dapat terdengar di ruangan kita berbicara dengan Wirman tadi.
"Kau sebaiknya menolong temanmu, bisa kau lihat rekanku dengan kemampuan pedangnya kan?"
Kuhentak lehernya kesal. Kesadarannya hilang seketika. Ia membawa pistol dan pisaunya sendiri. Tapi pistol ini jarang sekali dipakai. Kenapa ia tidak memakai ini sejak awal?