Shireen bangkit dari duduknya, menyeka air mata yang sempat melintas sesaat. Dia mengulurkan tangannya pada Sullivan, pria itu mengangkat wajah berbalik menatapnya. Senyum mengembang di bibir manisnya, Shireen meminta Sullivan menjabat tangannya.
"Baiklah, aku menyerah," ucapnya.
"Apa?" tanya Sullivan keheranan.
"Aku menyerah mengejarmu, mulai saat ini tidak akan lagi sekalipun. Aku menampakkan diri dalam hidupmu, thanks for everything Oom Suu." Wajahnya berubah serius.
Ragu hatinya menerima tangan Shireen, gadis rasa janda itu menarik paksa tangan kanannya. Mereka saling berjabat, senyum mengembang di wajah Shireen, Sullivan masih bergeming tanpa ekspresi.
"Gua ngak yakin, lo gampang nyerah," tebak Sullivan.
"Hahaha, fix! You miss me suing, you cannot forget about my self, everything." Shireen mundur perlahan, hatinya sangat senang mengetahui pria menyebalkan baginya itu masih mengingat segala tentang dirinya.
Sullivan masih bergeming di tempatnya, melihat tawa Shireen yang begitu puas. Pria itu mengalihkan pandangannya. Dia sama sekali tidak peduli pada Shireen, sampai wanita itu berjalan jauh darinya. Sullivan enggan untuk sekadar menoleh, karena Shireen sudah tidak berada dekat dengannya. Dia menyalakan lagi sebatang rokok sampoerna menthol favoritnya.
Jika berada di rumah, Sullivan tidak pernah berani menyalakan sebatang rokok. Sekalipun mulutnya terasa pahit setelah makan, dia lebih baik keluar rumah sebentar saja. Sebelum kembali masuk ke dalam rumah, dia selalu membersihkan diri lalu mengganti pakaiannya di toilet yang ada didekat garasi.
Asap rokok sangat membahayakan bagi kesehatan, terutama anak-anak yang masih kecil. Kenginan untuk berhenti merokok sudah ada dalam dirinya sejak lama, tapi saat setres masalah pekerjaan. Sullivan tidak bisa mengabaikan benda panjang tersebut. Plihannya lebih bak merokok diluar, dari pada asapnya terpapar pada Alea.
Shireen masih melambaikan tangan ke arah Sullivan, walau pria itu tidak menggubris tindakannya. Dia memutuskan untuk menjauh dari kehidupan Sullivan sementara waktu. Langkahnya terus berjalan mundur hingga keluar taman bougenville, karena tidak menyadari posisinya yang sudah berada diluar area taman. Shireen tidak tahu ada sebuah mobil yang melaju kencang dan dengan cepat menyambar tubuhnya.
Braakk!
Bhoomm!
Shireen terpelanting hingga lima meter, kepalanya terbentur bangku yang terbuat dari semen. Orang-orang berteriak histeris melihat kondisinya yang mengenaskan, darah segar mengalir deras dari kepalanya. Sullivan yang melihat kerumunan langsung menghampiri kumpulan warga, sebagian warga mengeliling mobil dan memaki pengendaranya karena telah lalai menabrak Shireen.
Sullivan terbelalak saat melihat Shireen terkapar bersimbah darah, tangannya masih bergerak seolah meminta pertolongan. Sullivan memegang kepalanya, pria itu menerobos kerumunan warga yang berusaha menolong Shireen.
"Ambulance! Ambulance! Panggil ambulance sekarang juga," perintahnya meneriaki warga. Sullivan memangku kepala Shireen dan berusaha membuat wanita itu tetap sadar.
"No, no, no! Kagak begini endingnya, Shireen please sadar," ucapnya panik, tangannya terus menepuk-nepukk pipi Shireen.Namun wanita dipangkuannya hanya terdiam, matanya terbuka dan tertutup pelan. Darah terus mengalir dari belakang kepala Shireen dan membasahi celana pendek yang dipakainya.
"Lama banget sih ambulance hah?! Kalian sudah panggil belum?" teriak Sullivan, hatinya semakin panik melihat dada Shireen yang kembang kempis.
"Ambulance sebentar lagi datang, Pak, sekitar lima menit," jawab seorang warga.
"Astaga, lama banget sudah," gerutu Sullivan, giginya gemerutuk menahan geram. Tapi otaknya berpikir realistis, dia paham betul bagaimana jalanan di ibukota yang macet. Tidak seperti di luar negeri, ketika ambulance lewat semua kendaraan akan memberikan jalan.
Tiba-tiba sisi spiritualnya muncul, Sullivan berdoa dalam hatinya meminta pertolongan Tuhan. " Tuhan, aku tidak pernah minta apapun selama ini darimu. Engkau memberikanku duka yang mendalam, aku diam. Engkau limpahkan kekecewaan dalam titian hidupku sejak kecil, aku pun tidak pernah marah padamu. Tuhan tolong, jika engkau memang ada di dunia ini. Tolong selamatkan dia, Tuhan, aku bersumpah akan mengurusnya seumur hidup" ucapnya, menahan getir.
Seakan doanya dijawab kontan, suara sirine ambulance berdenging dari kejauhan. Para warga langsung menyingkir memberikan jalan, saat ambulance tiba mereka semua membantu Sullivan menggotong tubuh Shireen masuk ke dalam mobil. Ketika hendak ikut masuk, dia teringat pada Alea yang masih asyik bermain, dia meminta seorang warga sebagai perwakilannya di rumah sakit.
Beruntung salah seorang warga mau menolongnya, Sullivan berpesan untuk melakukan apapun yang terbaik untuk Shireen yang terlihat sangat kritis. PIntu ambulance tertutup, entah kenapa hatinya merasa hampa dan berarak sangat jauh dengan Shireen, wanita yang sedang dia benci saat ini.
"Boy," panggil Alea, bocah itu berlari ke arahnya, tapi tidak berani mendekat karena melihat celananya yang penuh darah.
"Girls, tunggu disitu yah. Kamu pulang sama pak Yudi ke rumah, ya," ujarnya, memberikan kode mengangkat jari telunjuknya ke atas.
"Boy, tante cantik mati yah." Alea terlihat sedih, matanya berkaca-kaca. Anak itu sempat melihat saat tubuh Shireen tersambar mobil.
"No, dia nggak apa-apa, cuma sakit aja. Nanti juga dia sembuh. Oke," ucap Sullivan menenangkan. "Wait, jangan bicara dulu. Boy mau telepon pak Yudi," titahnya. Alea menganggukkan kepala.
Sullivan segera menelepon Yudi, ajudan kantornya yang selalu stand by di sana, dia meminta Yudi membawa pakaian miliknya. Berselang lima belas menit, Yudi datang dengan pakaian didalam kantong kresek berwarna hitam.
"Bos, yakin pake baju saya?" tanya Yudi.
"Kaya nggak pernah aja," sahut Sullivan, dia membuka kresek lalu berlari ke toilet yang ada dipojok taman. Dia membuang pakaiannya ke dalam tong sampah.
"Yud, anterin kesayangan gua balik ke rumah. Terus, tungguin sampai si mbak dateng. Ni gua telepon dia ya," pesan Sullivan, tangannya sibuk memakai ponsel yang sedang dia gunakan memesan ojeg online.
"Siap Pak bos." Yudi menaruh tangan kanan di kepalanya, lalu berpamitan membawa Alea pulang.
Polisi datang terlambat ke tempat kejadian perkara. Pengemudi yang di caci maki warga, segera di gelandang ke dalam mobil patroli. Sullivan tidak sempat bertemu dengan pelaku, pikirannya hanya sibuk memikirkan keadaan Shireen.
Saat ojeg online tiba, secepat kilat dia langsung meminta supir mengemudikan motornya dengan cepat. Jalanan yang cukup ramai, bersamaan dengan bubarnya para karyawan, membuat Sullivan merutuk kesal sepanjang jalan.
Sesampainya di rumah sakit, dia langsung menuju IGD. Shireen sudah tidak ada di sana, menurut keterangan warga yang mengantarkan. Wanita itu langsung dibawa ke dalam ruang operasi, karena kondisinya yang sangat kritis akibat kehilangan banyak darah.
Diantar warga tersebut, Sullivan dituntun menuju ruang operasi. Pikirannya sedikit tenang karena Shireen ditangani dengan cepat dan cukup baik. Dia berdiri tepat didepan pintu ruang operasi, matanya tak lepas menatap lampu berwarna merah menyala, yang ada diatas pintu.
"Pak, terima kasih atas bantuannya, mohon maaf saya merepotkan," ujarnya, mengucapkan terima kasih sambil menjabat tangan warga.
"Sama-sama, Pak," sahut Warga. Sullivan menyodorkan sejumlah uang sebagai tanda jasa, namun warga itu menolaknya dengan halus dan mengatakan. "Ini atas dasar kemanusiaan, Pak. Tidak semua kebaikan orang harus selalu dibalas," lanjutnya.
Dia mencoba menetralkan pikiran dan perasaanya, saat tenang seperti itu. Sullivan baru merasakan, ada sesuatu yang aneh dalam hatinya yang dingin. Rasa yang sudah dia bunuh sejak lama, ketika hatinya kecewa akan cinta.
Sullivan tidak menampik, kehadiran Shireen dulu sempat menghangatkan hatinya yang sudah membeku. Rasa percaya, kekhawatiran, komitmen hubungan yang sudah dia lupakan. Kembali hadir dalam dirinya karena gadis rasa janda itu.
Pikirannya melayang pada peristiwa, saat pertama kali mereka bertemu di diskotik D'jacko. Tepat pada malam pergantian tahun.