Chereads / Secret Friendzone / Chapter 14 - Hubungan Di Atas Kertas

Chapter 14 - Hubungan Di Atas Kertas

Saat pintu kamar mandinya tidak bisa terbuka. Sullivan mengira pintu kamar mandinya telah rusak. Ia pun memanggil Yudi, untuk membawa kunci cadangan. Namun, kunci tidak bisa diputar, karena Sullivan kebelet ia pun merusak gagang pintu.

"Lo ngapain di sini!" Sullivan terkejut saat melihat Shireen tertidur di bath cup.

"Astaga!" pekik Shireen, ia menyeka air liur yang menetes di pipi kanannya.

"Lo ngapain di sini!" ulang Sullivan, alisnya terangkat sebelah.

"Hoammh, ngumpet, ngapain lagi," jawab Shireen dengan santai. Kemudian gadis itu beranjak duduk di atas toilet, mengangkat sebelah kakinya.

Sullivan bersikap waspada, ia menyuruh Yudi segera keluar dari ruangan. Yudi, security sekaligus partner dalam kehidupan nyatanya tersenyum geli. Yudi mengira Sullivan yang terlihat tidak normal, tidak pernah menyukai wanita. Ternyata memilik aib yang besar.

"Ngapain senyum begitu, sudah sana kerja lagi!" seru Sullivan.

"Yes bos, eh, iya Pak, permisi." Yudi membungkukkan badannya lalu mundur beberapa langkah. Setelah keluar dari kamar bos nya, Yudi tertawa keras membuat Sullivan merutuk kesal.

Sullivan menarik Shireen dengan kasar, lalu mendorong tubuhnya keluar dari kamar mandi. Shireen yang masih setengah ngantuk, sedikit linglung dengan tempat dihadapannya. Sementara di dalam, Sullivan mengganjal pintu dengan tempat sampah.

"Dasar gadis gila!" rutuk Sullivan.

Shireen menatap sekeliling ruangan, ia melihat meja kerja, lalu televisi kecil jadul, springbed yang terlihat empuk. Ia melihat foto-foto Sullivan bersama dengan Rangga. Melihat Sullivan tersenyum lebar, Shireen merasa bertemu dengan sosok lain.

Bukan pria dingin yang selalu ia temui beberapa hari ini. Shireen berjalan ke arah jendela besar, pertama kalinya ia melihat pemandangan ibukota dengan sangat jelas dari atas gedung tinggi. Matanya berbinar menikmati panorama ibukota.

"Lo bukannya tadi sudah pulang," kata Sullivan.

Shireen berbalik ke belakang, lalu melihat Sullivan hanya memakai kaos hitam, juga celana jeans, dengan kacamata yang bertengger di depan hidungnya.

"Udah mau pulang, mampir dulu ke kedai sana. Eh, ada dua preman nodong pisau," jelas Shireen, ia berdiri berhadapan dengan Sullivan.

"Dua preman?"

"Ya, kaya yang waktu malam itu. Biasa nanyain Lo, Om."

"Apa yang mereka tanyakan?"

"Ye apalagi, cuma itu doangan. Apa hubungan gue sama lo. Gue jawab sejujurnya, nggak kenal Lo siapa."

"Adalagi yang mereka tanyakan?"

Shireen menggelengkan kepalanya.

"Terus, ngapain Lo sampai ke mari?"

"Gue bingung lari, mau balik ke kost an juga takut. Nggak bisa mikir tadi, selain masuk ke sini." Shireen merengut, tak suka dengan pertanyaan Sullivan.

Sullivan berjalan ke arah meja kerja, Shireen masih berdiri di dekat jendela, matanya memperhatikan gerak-gerik Sullivan yang khas. Sementara, Sullivan merasa gelisah, karena penyerangan yang terjadi pada Shireen ia yakin ulahnya Geng Bedog.

Bayangan sang kekasih saat sekarat di depan matanya melintas. Deraian air mata, busa yang keluar dari mulutnya, membuat Sullivan merasa sesak. Ia beralih menatap Shireen, gadis berwajah polos dengan tingkahnya yang ajaib.

Mereka saling memandang satu sama lain. Sullivan menelisik jauh ke dalam mata Shireen, ia merasa ada kebaikan dalam diri gadis itu. Sebuah ketulusan yang hanya ia lihat dari kekasihnya yang telah pergi.

"Ngapain lihatin gue begitu, awas jatuh cinta loh," kata Shireen, ia mengibaskan rambutnya yang hitam.

Sullivan terkesiap lalu memalingkan wajahnya.

"Tuh, kan, kalau ke gep pasti begitu gelagatnya," cetus Shireen, ia tersenyum tengil.

"Nggak usah sok tahu Lo, besok persiapan ke Kanada udah Lo packing belum?" Sullivan mengalihkan pembicaraan.

"Udah, tapi mau pulang ke kost-an juga takutlah Om. Gue berasa horor banget sejak kenal sama Lo," keluh Shireen.

Sullivan terdiam sesaat, hatinya merasa bersalah karena telah membawa Shireen ke dalam masalahnya.

"Ada teman yang bisa Lo mintain tolong?" tanya Sullivan, ia serius menatap Shireen.

Gadis itu tampak berpikir lama, ia memilih siapa orang yang akan diminta tolong olehnya.

"Ada sih, tapi kudu main duit." Shireen menggerakkan jari telunjuk dan jempol nya.

"Gampang, asal hubungi aja dia. Tapi, jangan sekarang, gue mikir dulu," titah Sullivan.

Shireen hanya menganggukkan kepalanya, masih dengan posisi berdiri. Sullivan terdiam lagi, matanya terpejam mencari jalan keluar dari kemelut masalah yang membelenggu masa depannya.

Melihat urat di kepala Sullivan yang kaku. Shireen beranjak berdiri di belakang pria itu. Perlahan ia memijat kepala Sullivan, tapi dengan kasar Sullivan menolak apa yang Shireen lakukan.

"Apa-apaan sih Lo!" seru Sullivan, sengit.

"Pijatin, Om," jawab Shireen sambil cengengesan.

"Nggak butuh! Duduk sana!"

"Yakin? Pijatanku enak loh." Shireen memelintir rambutnya, sambil menjulurkan lidah.

Sullivan bangkit menggeser kursinya dan menabrak Shireen, sampai gadis itu mengasuh kesakitan. Karena hantaman dari kursi yang mengenai perutnya.

"Astaga! Kasar amat Om tua!" sungut Shireen, memegangi perutnya.

"Jaga sikap Lo! Jangan berani Lo sentuh gue, ngerti Lo!" bentak Sullivan, suaranya tenang tapi penuh tekanan.

"Iya, maaf iya."

"Gue ingetin sekali lagi. Mau Lo telanjang bulat depan gua! Gua nggak akan nafsu, paham Lo!" Sullivan nyalang menatap Shireen.

"Dasar nggak punya hati!" cibir Shireen.

"Apa Lo bilang?!" Sullivan semakin murka. Tiba-tiba ponselnya berdering, tanda panggilan masuk dari Kanaya.

"Ya, ada apa?" tanya Sullivan.

"Nggak bisa, gua sibuk Naya. Ngomong aja sekarang."

"Lo tahu kan, gua sekali A ya A, tidak bisa berubah B!"

Sullivan terus bicara sendiri, sesekali matanya melirik pada Shireen. Khawatir gadis itu menguping obrolannya, Sullivan keluar dari dalam kamar rahasianya.

Shireen bernapas lega, karena pada akhirnya pria itu pergi meninggalkannya sendirian. Dalam hatinya ia terus merutuk kesal, sejak awal pertemuan dengan Sullivan. Hidupnya selalu terasa sial dan diteror oleh orang tak dikenal.

Cukup lama Sullivan belum kembali, Shireen merasa bosan dan membuka ponsel. Matanya melotot saat membaca pesan dari temannya yang mengatakan bahwa dia dipecat dari pekerjaannya. Shireen balik menelpon temannya tersebut.

"Ya, pokoknya ada dua orang datang. Dia marah-marah sama manager dan bilang kalau kami nggak ngasih tahu siapa Lo. Bar ini bakal diobrak-abrik sama mereka, Shireen. Jadi, sorry gue nggak bisa bantu." Sepenggal penjelasan itu yang Shireen dapatkan dari temannya.

Ia menangis di sudut ruangan, berpikir bagaimana nasibnya ke depan. Jika tidak ada lagi pekerjaan yang bisa dia lakoni selain di diskotik D'jacko.

"Tuhan, emang nggak pernah adil sama gue. Jangan banget Tuhan, padahal sesaat tadi gue baru mau percaya." Shireen membatin meratapi nasibnya.

***

"Sullivan, aku sangat merindukanmu," kata wanita di seberang telepon.

"Ingat Kanaya, hubungan kita hanya sebatas di atas kertas. Lo jangan terlalu berharap dari gua," jawab Sullivan.

"Tak bisakah kamu memberiku sedikit kesempatan?"

"Lo tahu motto hidup gua. Take it or leave it, understand?"

Sullivan menutup telepon sebelah pihak. Ia tidak peduli pada Kanaya, pikirannya saat ini hanya sibuk memikirkan nasib Shireen.