Om Sullivan menungguku di depan kampus, dari kejauhan senyum manisnya sudah terlihat. Setengah berlari aku bergegas menghampirinya, dia memberikan kode untuk segera masuk mobil. Jalanan cukup macet apalagi di sore hari jam pulang para pekerja kantoran. Walau jarak dekat, jangan harap bisa sampai sesuai ekspektasi kita.
Sebetulnya aku tidak enak meminta tolong padanya, tapi kata hati mendorongku untuk menghubunginya. Aku ingin membuktikan, bisakah kami berteman tanpa saling jatuh cinta? Adrenalinku tertantang untuk menaklukkan lelaki tua, yang katanya hanya butuh teman. Semakin hari dia selalu membuatku penasaran, menebak-nebak sendiri berapa usia.
Jika suaranya menenangkan dia seperti pria usia tiga puluh tahun, namun fisiknya menampik hal tersebut karena dia terlihat seperti usia empat puluh delapan tahun. Pemikirannya yang tinggi, seperti bukan orang biasa. Mungkin karena jiwa mudanya masih bergelora, dia suka bergaul.