Chereads / Secret Friendzone / Chapter 19 - Memori In Montreal

Chapter 19 - Memori In Montreal

Setelah melalui perjalanan panjang, hampir 24 jam dari Jakarta sampai Montreal, mereka pun sampai di sebuah hotel yang disewa Sullivan. Ia sengaja menyewa kamar di sana, untuk menemui kawan lamanya.

Shireen yang kelelahan, langsung terlelap saat tubuhnya melihat kasur. Sullivan tertawa geli melihat tingkah gadis itu. Ia sadar, Shireen sangat kampungan dan dirinya lupa membawa makanan Indonesia.

Di sana hanya ada roti baggel dan susu. Sullivan memejamkan matanya sebentar, lalu membuatkan sarapan untuk Shireen. Dengan sebuah pesan di bawah gelas susu.

[Makan roti dan minum susunya. Jangan Lo makan juga piringnya.] Tulis Sullivan di secarik kertas.

***

Sullivan berjalan kaki ke daerah sekitar Montreal, di sana ada masjid Al-Nusrat. Tempat Ali, temannya yang beragama muslim. Ketika berkunjung ke Kanada, Sullivan selalu menyempatkan diri untuk bertemu dengan Ali.

Tidak sulit menemukan Ali, karena ia bekerja di masjid Al-Nusrat. Masjid yang terletak di provinsi Quebec, Kanada, ini terletak di tengah pulau Montreal. Masjid ini merupakan fasilitas aula perjamuan yang terdiri dari tiga aula.

Ada dapur komersil yang besar, juga beberapa toko yang disewa oleh jemaat. Ali, juga menyewa salah satu toko tersebut. Ia juga menjual makanan Indonesia, meski dengan harga yang mahal.

"Assalamualaikum," ucap Sullivan, begitu sampai di masjid Al-Nusrat dan melihat Ali sedang menyapu.

"Salam, kawan, sungguh ini kejutan yang manis," jawab Ali, ia tidak menjawab salam Sullivan. Karena mereka berbeda keyakinan, hal tersebut dilarang oleh agama nya.

"Apa kabar, brother?" Sullivan merangkul Ali.

"Baik, baik, sejak kapan datang? Kenapa tidak mengabari lebih dulu?"

"Ada urusan mendadak, sepertinya ini juga pertemuan terakhir kita," jawab Sullivan, dengan nada sedih.

"Why, Sullivan? Are you okay?"

"Im okay, but ya. You know my life is trouble, Ali."

"Jangan bersedih Sulli, Tuhan selalu bersamamu." Hibur Ali, menepuk punggung Sullivan.

"No, no problem. Apa saya mengganggu pekerjaanmu?"

"Tentu tidak, saya hanya sedang ingin membantu marbot masjid ini, Sullivan. Mari, kita bicara di toko saja. Sebentar, saya cuci tangan terlebih dahulu." Ali beranjak pergi ke toilet.

Mereka bicara dalam dialek Inggris Indonesia, sedikitnya Ali juga belajar. Supaya bisa memahami Sullivan, teman baiknya beberapa tahun ini. Ali segera mengajak Sullivan ke toko yang tidak jauh dari masjid.

Meski seorang lajang, Ali sangat pandai memasak. Berhubung cuaca sedang musim dingin, Ali menghidangkan Sup kacang polong. Makanan tersebut merupakan salah satu sajian Perancis-Kanada, sup ini terdiri dari kacang polong, ham, sayuran, dan lainya.

Sullivan sangat menyukai masakan Ali, apalagi dimakan bersama dengan roti dan pastinya lezat terasa di lidah. Ali menyajikan juga Nanaimo Bars sebagai hidangan penutup. Sullivan menghabiskan semangkuk sup, karena jarang sekali ia bisa makan.

"Ali, thanks you. Masakan kamu memang selalu enak, saya jadi ingin belajar," ucap Sullivan, setelah menghabiskan makanannya.

"Your Wellcome, Sullivan," balas Ali, mereka duduk berhadapan.

"Ali, bolehkah saya bertanya sesuatu?"

"Boleh, silahkan Sullivan." Ali melipat tangan ke meja dan menunggu Sullivan bicara.

Sullivan menghela napasnya yang terasa berat. Sudah lama ia ingin mengutarakan hal ini. Akan tetapi ia bingung harus bicara pada siapa.

"Jika orang mengambil sesuatu milik kita. Lantas, jika kita mengambil hak itu dengan cara yang sama, bagaimana?"

"Maksud nya?"

"Misalkan, saya rebut toko kamu ini. Lalu, saya menyamar jadi karyawan untuk mendapatkan toko ini. Karena setelah di telusuri, pewaris sah dari toko ini adalah saya," jelas Sullivan.

"Jika bisa dibicarakan baik-bak, bicara saja Sulli. Akan tetapi, jika tidak bisa itu semua kembali padamu."

"Terima kasih Ali," ucap Sullivan.

"Sama-sama, lakukan yang terbaik menurut pikiranmu. Tapi, kamu harus ingat Sulli, gunakan akal daripada perasaan." Ali menunjuk kepalanya sendiri.

"Akan selalu kuingat." Sullivan menyalami temannya.

"Kapan kamu menikah?" tanya Ali.

Sullivan terdiam mendengar pertanyaan temannya. Ia tidak ingin mengatakan tentang privasinya. Ia pun tersenyum dan menjawab, "Kalau Tuhan sudah mengizinkan, terkadang kita menikah dan mencintai. Tapi, cinta itu sendiri entah ada di mana. Saya, tidak mau gegabah."

"Hahaha, kamu benar sekali. Cinta adalah kasta tertinggi dari rasa. Oleh sebab itu, perasaan cinta tidak mudah untuk diberikan. Good job Sulli, saya doakan semoga kamu segera menyusul," sahut Ali.

"Baiklah Ali, saya kembali ke hotel. Ada yang saya tinggalkan di sana," pamit Sullivan.

"Jaga baik-baik, dia masa depanmu," pesan Ali.

Sejak bertemu dengan Ali, ia bisa mengubah pemikirannya. Ali juga merupakan seorang muallaf, namun pemikirannya yang cerdas dan menerima setiap kepercayaan dengan pikiran terbuka. Membuka mata hati Sullivan juga yang sekarang tidak rasis seperti dulu.

Stok makanan Indonesia di toko Ali sedang habis. Sullivan membawa roti tawar saja, ia khawatir Shireen merepotkan nya karena tidak makan. Tiba-tiba saja ia terpikir akan kesehatan gadis itu.

Sepanjang jalan menuju hotel, Sullivan banyak berpapasan dengan wanita muslim yang mengenakan hijab. Dua tahun lalu ia datang sendiri ke Kanada, belum banyak yang berani menggunakan hijab. Ia salut dengan kemajuan Islam di negara ini.

Sullivan sendiri percaya akan adanya Tuhan. Tapi, ia tidak mau memeluk agama mana pun. Karena baginya kehadiran agama hanya mengikatnya untuk tidak bebas bergerak. Dengan segala peraturan yang sebagian dibumbui oleh manusia itu sendiri.

Di hotel Shireen tengah tersenyum bahagia, membaca pesan di secarik kertas yang Sullivan tulis. Meski ia bingung memakan roti baggel, tidak cocok di mulutnya. Ia teringat menyempilkan mie instan dua bungkus di dalam pakaiannya.

"Ribet banget hidup di luar negeri. Jangankan ada jengkol, semuanya roti dan susu, emanglah tingkat masyarakat miskin juga auto kaya." Shireen bicara sendiri.

"Udah gua duga, Lo pasti nggak makan roti."

"Kutu kupret!" Shireen terlonjak kaget, melihat Sullivan tiba-tiba berdiri di belakangnya.

"Susu sama roti itu makanan sehat. Daripada makan mie instan!" seru Sullivan, masih berdiri sambil melipat tangannya.

"Gue nggak doyan, itu makanan orang kaya. Gue miskin cuy."

"Oh, pantes aja orang nggak ada yang menghargai Lo. Lo sendiri aja nggak mau menghargai diri sendiri."

"Aduh, gue belum makan Om. Tolong, jangan pakai bahasa sansekerta," protes Shireen.

"Bukan bahasa gua yang masalah, tapi otak Lo," tukas Sullivan, menyimpan roti di meja lalu masuk ke dalam kamar mandi.

Aroma mie instan goreng menyeruak menusuk hidung Shireen yang tidak mancung. Matanya berbinar menatap mie dengan telur ceplok di atasnya. Shireen membuka mulut lebar-lebar dan mulutnya siap menyantap mie.

"Makan tuh roti! Jangan makan beginian!" seru Sullivan merebut piring mie dari tangan Shireen. Gadis itu melongo dengan mulutnya yang masih menganga.

"Ih, sini itu makanan gue!" Shireen berusaha merebut piring dari Sullivan.

"Nggak bisa, ini buat gua aja. Lo makan roti!" Sullivan berlari ke kamar mandi dan mengunci pintunya.

"Om, kurang asem! Eh, apa sih ini manusia!" teriak Shireen mengejar Sullivan.

Di kamar mandi, Sullivan terkekeh pelan dan menghabiskan mie instan yang dibuat Shireen.