Di markas Geng Bedog, Bryan tengah menatap foto Shireen dan mencari tahu latar belakang gadis itu. Dari laporan yang ia dapat dari Dagong, ia tahu Sullivan membawa Shireen ke Kanada. Jelas, hal tersebut mencurigakan baginya.
Apalagi ia tahu bagaimana dinginnya Sullivan pada perempuan. Bryan menatap lekat foto Shireen, sesekali sudut bibirnya menyunggingkan senyum. Ia geram karena sampai sekarang, Sullivan masih susah untuk dikejar, ia ingin hak nya segera direbut.
"Sulli, gue tahu lo, jadi mulai sekarang. Gadis itu kesayangan lo, hahaha." Bryan tertawa sendiri.
Ia mengambil foto Shireen dan Sullivan, lalu membakarnya di atas lilin. "Siapapun yang dekat Lo, semuanya harus mati, Sullivan. Supaya Lo tau, rasanya kehilangan."
Bryan membuang foto ke lantai, sampai sebagian foto sudah terbakar. Tak cukup sampai di situ, ia pun menginjak foto tersebut. Lalu membuang ludah dan pergi meninggalkan markas.
Kembali ke Kanada.
Shireen dan Sullivan tengah bersiap, saat Shireen sedang membereskan barangnya. Sullivan fokus menunggu berita dari Tuan Fredrick, tangan kanannya selama ia pergi ke Kanada.
Fredrick ia tugaskan untuk menjaga Kanaya dan Ghailan, anaknya. Sullivan takut Bryan mengetahui pernikahannya dengan Kanaya dan mencelakai wanita tersebut. Walau tidak ada cinta dalam hatinya untuk Kanaya.
Sullivan tetap merasa bertanggungjawab atas keselamatan istri di atas kertasnya itu. Fredrick mengabarkan bahwa sejauh ini, keadaan masih kondusif. Ia menyamar sebagai security di rumah megah milik Kanaya.
"Gue baru kepikir, kenapa lu ngajak gue ke sini. Kenapa, lu nggak ngajak bini lu sih, Om," protes Shireen, sambil bersiap.
Sullivan menoleh sesaat, ia berpikir sebelum menjawab pertanyaan gadis yang membuatnya cukup pusing. Setelah membaca pesan Fredrick, ia menutup laptop. Lalu berjalan menghampiri Shireen.
"Emang kenapa?" Sullivan balik bertanya.
"Ya, aneh, kenapa gue yang dibawa." Shireen kembali memoles wajahnya.
"Lo sudah tahu, hidup dalam bahaya. Masih aja nanya."
"Hmm, entar kalau bini lu tahu. Repot gue di cap pengembat laki orang."
"Jangan suka nethink. Penyakit di otak Lo, kayanya susah sembuh." Sullivan meraih kopernya.
"Apaan nethink?"
"Buka search engine."
"Botak pala gue lama-lama deket sama lu."
"Udah, buruan ngelenognya. Supir udah nunggu di bawah," titah Sullivan mendesak Shireen mengakhiri polesan make up nya.
"Iye iye udah." Shireen membuntutinya dari belakang.
Mereka sudah berada dalam sebuah bus besar berwarna biru, dengan dua seat atas dan bawah. Shireen meminta Sullivan mengambil tempat duduk di seat atas. Karena ingin merasakan naik bus dua tingkat dan menikmati perjalanannya.
Meski sempat sebal pada Sullivan, perlahan kemarahan Shireen berangsur sirna. Kanada tengah di selimuti salju, Shireen yang tidak pernah melihat salju. Sangat antusias melihat keluar jendela, matanya hampir tak berkedip saking merasa takjub.
"Bibir Lo pucat, minum ini." Sullivan menyodorkan segelas kopi moka pada Shireen.
"Ini dapat di mana?" tanya Shireen, sambil menerima kopi yang terbungkus dengan cup kertas tebal. Saat menyesap kopi, matanya langsung terpejam menikmati rasa dan aroma yang menguat.
"Beli lah," jawab Sullivan singkat.
"Emang ada warung kopi di sini?" Shireen celingukan.
"Astaga! Banyak tanya tapi ngga tau apa-apa, oncom!" Sullivan tersenyum tipis.
Shireen menatap cup di tangannya, beberapa saat matanya bergantian melihat gelas dan Sullivan. Lalu senyum lebar merekah dari bibirnya yang mungil. Ia menempelkan gelas ke pipinya.
"Makasih, ternyata lu sweet juga," kata Shireen, menyesap kopinya lagi.
"Maksud Lo?" Sullivan mengernyitkan dahinya.
"Om perhatian banget sama gue, sampai ngasih kopi segala, biar nggak kedinginan," ucap Shireen, hendak meraih jemari Sullivan. Tapi dengan sigap, pria itu menepis tangan Shireen.
"Biasa aja."
"Om, kenapa sih jutek banget. Bisakah bersikap normal aja?"
"Emang gue aneh?"
"Aneh banget abis nya. Kadang manis, tapi juga jutek. Seumur hidup gue belum pernah ketemu orang kaya lu."
"Lo aja main kurang jauh, otak dangkal, pikiran sempit, pendidikan rendah," cibir Sullivan.
"Stop!" Shireen marah menatap tajam pada Sullivan. Ia meremas cup kopi, sehingga isinya tumpah.
Sullivan tersenyum sinis melihat ekspresi Shireen, sekarang ia tahu apa yang membuat gadis itu marah. Ia memalingkan wajah dan menatap keluar jendela mobil. Di depannya Shireen masih menatap sengit dirinya yang cuek.
"Lu emang suka banget nyakitin orang. Emang, apa ruginya buat lu. Kalau pendidikan gue rendah!" hardik Shireen.
"Rugi, buat gue? Nggak ada," sahut Sullivan datar.
"Terus, kenapa lu singgung terus pendidikan gue!"
"Gua bicara fakta, Lo banyak tertinggal. Kasian sebenernya gua sama lo."
"Kalau lu kasian, kenapa lu sakitin gue terus! Orang kasian itu dibantu, bukannya disakitin!" sungut Shireen, tak kuasa menahan emosinya.
Beberapa orang melirik ke arah mereka. Meski tidak mengerti bahasa Indonesia, dari intonasi bicara saja mereka tahu Shireen sedang marah. Sullivan melemparkan senyum tipis pada mereka dan mengedipkan matanya.
"Lo memang orang egois, nggak semua harus sama," ucap Sullivan.
"Lu yang egois! Tukang nyakitin!"
"Stupid you!"
"Bodo amat!" tukas Shireen, ia melipat tangannya ke depan lalu memalingkan wajah dari Sullivan.
Pria itu terkekeh pelan, menutup mulutnya yang menyunggingkan senyum. Matanya lekat menatap gadis di depannya, dari gesture tubuhnya, Sullivan bisa menebak bagaimana karakter Shireen.
Egois, impulsif, cemburuan, keras kepala, tapi hatinya lembut. Baru sampai sana Sullivan bisa menilai karakter Shireen. Bukan hanya faktor gadis itu terlibat dengan masalahnya. Ada sesuatu yang membuat Sullivan merasa kasihan pada Shireen.
Hati kecilnya mengatakan bahwa ia harus membantu Shireen sampai bisa. Karena ia melihat potensi lain dari diri gadis itu. Pekerja keras, mandiri, hanya saja Shireen tidak bisa mengenali dirinya sendiri. Sehingga ia tidak bisa melakukan apapun tanpa arahan orang lain.
"Kenapa lo sensi banget soal pendidikan?" tanya Sullivan.
Shireen bergeming tak menjawab.
"Karena lo punya cita-cita tinggi? Nggak kesampaian?" cecarnya.
Shireen hanya menoleh, masih menatap sengit pada Sullivan.
"Hati lo kuat, pekerja keras, sayangnya lo banyak tertinggal. Jadi ya gitu, nggak ada kemajuan," komentar Sullivan.
"Gue udah bilang, gue berkorban demi adik-adik. Gue nggak mau hidup mereka ngalamin susah, ya, orang tua kami memang miskin. Jangankan ada waktu buat main sama kami. Mereka sibuk kerja siang malam." Shireen akhirnya berani membuka luka masa lalunya.
"Lo nggak mikirin diri sendiri?"
"Nggak ada waktu, gue mau fokus bahagiakan mereka. Nggak peduli apa yang terjadi dalam hidup gue sendiri. Gue sayang sama mereka," ucap Shireen, air matanya meluncur deras.
Sullivan meraih wajahnya, lalu mengusap air mata Shireen dan menyunggingkan senyum. Shireen masih tergugu, bahunya berguncang keras, jika ia teringat keluarganya. Hatinya sakit saat semua kesusahan di masa lalu terkuak.
"Hei, jangan menangis. Kamu kuat sayang, percayalah suatu hari kamu akan mengerti sesuatu," ucap Sullivan dengan lembut.