Pukul 16.30 sore hari, mereka sudah sampai di terminal Megabus di Bay Street, Toronto. Sullivan sudah memperkirakan perjalanan mereka akan sampai kapan, ia pun mengabari sopir keluarga Madam Choi untuk menjemput mereka pukul lima sore.
Sejak di dalam bus, Sullivan memperhatikan mimik muka Shireen yang terlihat kelaparan. Gadis keras kepala itu, sejak kemarin tidak mau memakan roti baggel maupun roti tawar yang dibawanya dari toko Ali.
"Lo lapar?" tanya Sullivan.
"Kok, tahu?" Shireen balik bertanya.
Bola mata Sullivan berputar malas, ia segera berlari ke salah satu kedai yang ada di sana. Karena ia tahu Shireen seorang muslim, ia pun memesan makanan dengan label halal. Beruntung, ada satu kedai kebab yang menuliskan halal di halamannya.
"Makan ini," perintah Sullivan tak lama setelah memesan makanan.
Shireen bergidik ngeri melihat penampilan kebab di tangan Sullivan. Roti baggel saja dia tidak mau, apalagi bentuk kebab yang aneh baginya. Meski aroma daging menusuk indera penciumannya dan menggugah selera makan.
"Lo mau sakit di negara orang? Kalau lo sakit, gua tinggal loh," ancam Sullivan.
"Ih, ya udah sini!" seru Shireen, merebut kebab dari tangan Sullivan.
Sullivan menikmati kebab miliknya, ia juga tidak terlalu suka masakan di rumah Madam Choi. Shireen yang semula ogah-ogahan, kini mulai rakus melahap kebabnya. Tanpa malu, gadis itu merebut kebab dari tangan Sullivan dan meminta pria itu membelikannya satu buah kebab lagi, sebab Shireen kelaparan.
"Gadis oleng memang dia," gumam Sullivan, menggelengkan kepalanya.
"Enak juga," komentar Shireen, menyantap kebab ketiga miliknya.
"Makanya, jangan sok jadi anak Sultan. Biasa juga makan ikan asin," cemooh Sullivan.
"Kan, lu mulai lagi, Om." Shireen cemberut, memonyongkan bibirnya.
"Lagian, sok ogah, tahunya habis tiga. Mana punya gua diembat," gerutu Sullivan.
"Pembalasan ya, mie instan gue kemarin yang lu embat juga," balas Shireen, bergaya sok cool sambil tersenyum tipis.
Bulu kuduk Sullivan merinding seketika, melihat senyum Shireen yang begitu manis di matanya. Darahnya berdesir panas, tatapannya enggan beralih dari Shireen, yang tengah lahap memakan kebab. Sullivan tersenyum semringah, hatinya mengucapkan sesuatu.
Tin! Tin!
Suara klakson mobil membuat Sullivan menoleh dan segera mengajak Shireen masuk. Sopir memasukkan barang bawaan mereka, Shireen masih sibuk dengan kebabnya yang tinggal setengah. Sullivan memberikan tisue dan menyeka bekas makanan yang menempel di pipinya.
***
"Hai my son, long time no see ya," sambut Madam Choi, saat mereka tiba di rumah besar yang berdiri kokoh, diantara tumpukan salju.
"Moms, how are you?" Sullivan menyapa balik ibu angkatnya.
"I'm fine, who she's?" Madam Choi bertanya, saat matanya melihat Shireen yang berdiri kaku di belakang Sullivan.
"She's Shireen, moms, my friend," jawab Sullivan.
'Pran pren, pran pren, somplak! Kalian ngomong apa gue nggak ngerti,' gerutu Shireen dalam hatinya.
"Does she speak English? or just language?"
"Not yet, she's stupid girl," kelakar Sullivan.
"Oh Sulli, no! Don't talk like that okay, no problem baby. Im understand in bahasa." Madam Choi memeluk Sullivan, lalu menyuruhnya masuk dan ia menghampiri Shireen.
"What's is your name, baby?" tanya Madam Choi, menyentuh muka Shireen.
Shireen terdiam, ia bingung tidak mengerti apa yang diucapkan Madam Choi.
"Oh, God, Im sorry. Siapa, namamu sayang?" Madam Choi mengulangi pertanyaannya, dalam bahasa Indonesia meski memakai aksen bule.
"Saya Shireen, mom," jawab Shireen mengikuti Sullivan memanggil moms.
"Nice, mari silahkan masuk. Di sini dingin sekali," ajak Madam Choi, dengan sangat ramah.
Saat masuk ke dalam rumah, Madam Choi memerintahkan asisten rumah tangganya untuk membawa Shireen ke kamar tamu. Sementara itu ia mengajak Sullivan bicara di ruang tengah. Shireen senang karena asisten Madam Choi adalah gadis indonesia.
Dalam waktu sekejap mereka pun menjadi akrab. Megan, yang bernama asli Mega itu sudah ikut Madam Choi, sejak orang tuanya meninggal. Dengan cekatan Megan membantu Shireen berganti pakaian dan mengantarnya lagi menuju ke ruang tengah.
"Megan, kamu betah tinggal di Toronto ini?" tanya Shireen. Saat mereka menuruni tangga menuju ruang tengah.
"Nggak betah, mau nya di tanah air. Tapi, di sana juga mau sama siapa," jawab Megan.
"Emang, nggak punya sodara?"
"Nggak ada, saya sebatang kara, Mbak." Megan tersenyum tipis.
"Hmm, kamu sudah lama ikut keluarga Om nyebelin?"
"Om nyebelin? Siapa?" Megan kebingungan.
"Tuh!" Shireen menunjuk Sullivan yang tengah bicara dengan Madam Choi.
"Ya ampun, mister Sulli, menyebalkan gimana? Dia orang baik, loh."
"Baik apanya, kaya monster tukang ngehina!" sungut Shireen.
"Kamu belum kenal dia saja," kata Megan, wajahnya tersenyum malu.
"Jangan gosip, gua denger!" teriak Sullivan dari bawah.
Kedua gadis tersebut terkesiap, Madam Choi terkekeh pelan, lalu menjewer kuping Sullivan. Setelah Shireen datang, Madam Choi langsung mengajak mereka berdua makan. Sejak tahu Sullivan akan datang, ia menyuruh kokinya memasak makanan Indonesia.
"Sulli, bagaimana dengan Rangga?" tanya Madam Choi, mereka berbicara dalam bahasa Inggris, supaya Shireen tidak mengerti.
"Dia sudah berusaha berubah, moms. Kapan, moms dan Daddy akan memaafkannya?" Sullivan balik bertanya.
"Sampai dia bisa menjalankan perusahaan, bukan hanya menghamburkan uang saja!" seru Madam Choi, bersungut-sungut.
"Kalau untuk itu, Sullivan sarankan jangan terlalu berharap. Karena sepertinya, Rangga tidak ada kemampuan untuk memimpin, moms."
"Kenapa kau tidak melatihnya? Aku mengangkatmu menjadi anak, tujuannya untuk itu! Bukan cuma jadi tangan kanan Rangga!"
Sullivan menghentikan aktivitasnya makan, ia menelan ludahnya mendengar perkataan Madam Choi. Shireen melihat ketegangan itu di wajah Sullivan. Meskipun ia hanya jadi pendengar, ia memahami ada hal serius yang dibicarakan ibu dan anak tersebut.
"Sorry, kita bahas nanti saja. Shireen, silahkan lanjutkan makannya," kata Madam Choi, saat melihat raut muka Sullivan yang berubah drastis.
"Yes moms, thanks you," balas Shireen.
"You can speak English, baby?"
"Hanya sedikit dan tahu thanks you, moms," jawab Shireen.
"Amazing, ya," puji Madam Choi.
"Dia memang cepat belajar, moms. Gadis yang pintar," timpal Sullivan memuji Shireen.
Semburat merah dan senyum merekah tersungging di bibir Shireen, mendapat pujian dari Sullivan serasa ia ketiban duren rubuh. Shireen mengedipkan matanya, tapi Sullivan menanggapinya dengan dingin. Selesai makan mereka pun membubarkan diri.
Sullivan berada di sebuah kamar besar, matanya berpendar menatap sekitar. Hatinya bertanya bagaimana bisa keluarga Madam Choi, menikmati kekayaan yang bukan hak mereka selama bertahun-tahun. Saat tengah diam, ia menangkap suara dari balkon sebelah kamarnya.
"Kau jangan tertipu dengan kebaikan Sulli pada kita. Dia anak jalanan yang kapan saja bisa mengeruk seluruh harta kita!" Suara Mr Dave, ayah Rangga terdengar marah pada Madam Choi.