Chereads / Secret Friendzone / Chapter 3 - Debaran Rasa

Chapter 3 - Debaran Rasa

Bagaikan terkena listrik tegangan tinggi, jantung Sullivan seakan melompat dari tempatnya. Rasa sesak di dadanya kian mencuat, menusuk jiwanya yang pernah terluka. Napasnya tersengal menahan emosi. Namun, melihat tatapan sendu wanita didepannya, membuat hatinya sedikit luluh, ia ingin segera pergi dari minimarket.

"Dengar, Shireen, gue sudah katakan sama lo untuk tidak terlalu berharap lagi. Kalau lo sekarang sudah punya kehidupan baru, nikmati saja sudah. Jangan lo kejar lagi apa yang terjadi di masa lalu. Biar otak lo nggak monoton, terkungkung dengan yang sudah-sudah. Gini yeah, orang sudah lari tapi lo masih saja berjalan merangkak," desis Sullivan, hatinya semakin gelisah dan hampir tidak terbendung lagi. Jemarinya basah oleh keringat dingin.

"Om, beri aku kesempatan sekali lagi," pinta Shireen, air mata lolos begitu saja dari bola matanya.

"Maaf, gue nggak bisa kasih lo kesempatan lagi, paham. Lo lanjutkan hidup dan nikmati, perjalanan lo masih sangat panjang," sergah pria itu cepat.

"Tapi, aku belum bisa melupakan semuanya, Om ...." Lirih ucap Shireen, ia berusaha menatap manik mata hitam Sullivan. Mencari sesuatu yang selama ini ia inginkan sebagai jawaban.

"Its a bullshit talk, you know. Janji manis lo udah terasa basi buat gue," sindir Sullivan tersenyum sinis.

Shireen hempas, hatinya semakin hancur melihat ekspresi Sullivan. Ia mengusap wajahnya, menyebut asma Allah berkali-kali. Pandangannya beralih pada Alea yang tengah asyik menggambar. Bocah itu sama sekali tidak peduli dengan percakapan dua orang dewasa didepannya.

Lama mereka terdiam, larut dalam pikirannya masing-masing. Sampai suatu pertanyaan mengusik relung hati Shireen." Berapa umur Alea, Om?" tanyanya kemudian.

"Kira-kira saja sendiri," jawab Sullivan, pendek. Ia sudah tidak ingin memperpanjang percakapannya tentang mereka.

"Sekali lagi, aku tanya, Om. Apakah Alea itu anakku?" Shireen mengulangi pertanyaannya, seperti menghunuskan samurai ke jantung Sullivan.

"Ngaco lo, ya bukanlah!" tukas Sullivan, wajahnya masih saja dingin.

"Kalau Alea anakku, jangan harap aku akan tinggal diam, Om," ancam Shireen, melemparkan tatapan tajam.

Drrrtttt

Drrrtttt

Drtttttt

Ponsel di dalam saku celana Sullivan bergetar. Pria itu segera mengeluarkan benda pipih dari saku kanannya. Terlihat dilayar nama asisten pribadinya memanggil. Jempolnya segera menekan tombol jawab, suara asistennya langsung bicara tanpa jeda, memberitahukan keperluannya.

"Oke, gua segera kesana. Suruh tunggu setengah jam lagi, gua mau naro bocah dulu, okey," perintah Sullivan, lalu menutup sambungan telepon.

Tangannya bergerak cepat memesan taksi online. Pria itu sama sekali tidak peduli pada Shireen, yang terus menatapnya penuh harap. Walau sinyal sedang bagus, sialnya driver taksi online hanya sedikit tertampil dilayar. Karena tidak ada yang dekat, Sullivan mengklik saja driver yang mau menjemputnya walau harus menunggu selama lima menit.

"Girls, bisakah kita sudahi menggambarnya? Kita mau pulang, nanti di rumah lanjutkan, ya," pinta Sullivan pada Alea, tersenyum manis.

"Oke boy, siap." Alea mengacungkan jempolnya, ia melipat buku lalu menyerahkannya pada Shireen.

"Tante cantik, thanks you so much ya. Nice to meet you, youre beautiful," ucap Alea, memberikan sun jauh lewat jemari mungilnya.

"Wow, nice darling. Pintar sekali bahasa inggrisnya, siapa yang ngajarin sih?" tanya Shireen, memberikan apresiasi.

"Dia, boy." Tunjuk Alea pada Sullivan.

Taksi online pesanan Sullivan datang, saat melihat plat nomor mobil sama dengan yang di ponselnya. Pria itu bergerak cepat menggendong Alea dan berlari menuju taksi online yang sudah parkir di halaman minimarket.

Shireen yang tidak menyangka mereka akan pergi secepat itu, mendadak panik. Berusaha mengejar Sullivan, karena terburu-buru. Wanita itu terhuyung jatuh menginjak gamisnya yang menjuntai menyapu tanah. Terlambat sudah, Sullivan masuk ke dalam taksi dan meminta sopir mengunci jendela.

"Om, tunggu, aku belum selesai bicara," teriak Shireen, berusaha bangkit meski kakinya terluka.

Di dalam taksi Sullivan masih bisa melihat, bagaimana wanita itu berusaha mengejarnya sebelum taksi melaju kencang. Ia pun memeluk Alea erat, rasa takut akan kehilangan bocah kesayangannya merasuki hati terdalamnya.

"Boy, kenapa kita lari, memangnya tante cantik jahat?" tanya Alea keheranan. Dahi bocah itu berkerut, kedua alisnya bertaut. Ia menelengkan kepala, menatap Sullivan yang membuang muka ke arah jendela.

Sullivan menoleh sebentar lalu menyunggingkan senyum. Ia berpura-pura sibuk menelepon orang rekan kerjanya. Sehingga Alea hanya terdiam mendengarkan pembicaraannya. Ekor mata Sullivan menangkap ketenangan dari bocah yang ada disampingnya. Ia pun menghentikan aktifitas kebohongannya menelepon.

"Pak, maaf, ubah rutenya yah. Biar saya bayar lebih nanti," titah Sullivan.

"Jadinya kemana, Pak?" tanya supir.

"Ke jalan Tengsin, Rt 07 rw 05 ya, Pak. Rumah kecil cat hijau muda, tidak jauh dari jalan raya," jelas Sullivan.

"Baik, Pak," sahut supir.

Taksi terus bergerak menyusuri jalanan aspal sekitar kawasan tanah abang. Sesampainya di daerah Tengsin, taksi langsung menuju alamat yang Sullivan arahkan. Setelah tiba didepan rumah, Sullivan meminta supir menunggu sebentar. Ia pun berlari ke dalam rumah dan mengambil uang, lalu membayar taksi online pesanannya.

"Pak, maaf saya buru-buru tadi. Ini uangnya dan terima kasih." Sullivan menyodorkan dua lembar uang berwarna merah, dengan gambar presiden indonesia.

"Terima kasih, Pak, Yaa Allah banyak sekali," ucap Pak supir menerima uang dengan mata berbinar.

"Sama-sama." Sullivan mengatupkan kedua tangannya, lalu masuk kembali ke dalam rumah.

Rumah dengan warna cat dominan hijau muda, bergaya klasik modern itu terlihat sangat asri. Didepan teras ada taman kecil, tempat bunga anturium berbagai jenis. Penggunaan batu alam seperti batu andhesite dan granite, menambah kesan alami menghiasi wajah rumah tersebut.

Memasuki bagian dalam rumah, ruangan pertama adalah ruang tamu, dengan sofa yang memanjang. Di dindingnya terpajang lukisan antik nyi roro kidul, ka'bah, dan lukisan yesus. Dipojok ruangan terdapat guci antik, berukiran gaya china.

Di sofa dekat lukisan ka'bah, Alea tiduran setengah duduk sambil memainkan gadgetnya. Melihat Sullivan berganti pakaian di garasi motor yang ada di samping ruang tamu, ia pun mengerti akan kemana perginya pria itu. Jiwa usilnya tergelitik untuk bertanya.

"Boy, tante cantik itu tadi siapa?" tanyanya.

"Anak kecil, itu temen boy dulu," jawab Sullivan sekenanya.

"Oh, temen." Alea memonyongkan bibirnya, ia kembali merebahkan badannya di sofa dan bermain game.

"Alea, boy kerja dulu, ya. Nanti, Mbak Nara yang temanin kamu malam ini," ujar Sullivan, setengah berteriak.

"Ya boy, sepertinya biasanya selalu begitu," sahut Alea, bola matanya berputar malas.

Sullivan terkekeh pelan mendengar ucapan bocah berusia lima tahun tersebut. Selesai berpakaian ia mengeluarkan sepeda motor matic warna hitam kesayangannya. Saat keluar dari garasi, Mbak Nara pengasuh Alea datang.

"Mbak, titip Alea malam ini, ya. Saya banyak kerjaan," kata Sullivan, sambil memakai helm.

"Nggih, Pak," sahut Mbak Nara, menganggukkan kepalanya.

"Mari, Mbak, hati-hati di rumah." Sullivan menyalakan motor dan berlalu meninggalkan rumah.

Jarak kantor dan rumahnya tidak terlalu jauh, jika sedang lengang Sullivan bisa sampai dalam waktu dua puluh menit. Namun, jika macet melanda ia harus bersabar sedikit lebih lama di jalanan.

Sesampainya di kantor, ia langsung menemui para customernya yang memesan alat gym. Sullivan adalah kepercayaan seorang pengusaha yang bergerak dalam penjualan alat gym. Ia dipercaya oleh temannya yang bernama Erlangga, untuk mengelola kantornya di Jakarta. Namun, karena kesederhanaan hidupnya, tak banyak yang tahu tentang kehidupan pribadinya.

Usai menemui customer juga meeting dengan kliennya. Sullivan berjalan ke arah lift menuju lantai empat. Kantor sekaligus rumah keduanya itu merupakan tempat ternyaman baginya. Ketika hati sedang tidak merasa baik-baik saja.

Malam itu Sullivan memutuskan untuk menginap di kantor. Selain pemeriksaan keuangan, juga laporan dari seluruh stafnya yang bekerja selama sebulan penuh. Ia merasa tidak nyaman di rumah, pertemuannya dengan Shireen tadi siang cukup mengusik dirinya.

Sullivan berdiri didekat jendela berkaca tebal, yang sangat lebar, matanya menatap jalan ibukota yang masih ramai. Teringat penampilan Shireen yang berbeda, ia masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Apakah itu bagian dari tipu muslihat wanita itu ataukah dia benar-benar berubah. Hati Sullivan dipenuhi tanya.