"Aku Ausans Amanda. Jadi nama kalian Blue sama Red?" Gadis di depan Arina bertanya. Arina langsung tersenyum dan mengangguk. Biru di samping Arina hanya geleng-geleng kepala. "Nama kalian persis sama pakaian kalian, ya? Blue pakai kaus biru dan Red pakai jaket merah."
"Nama dia bukan Red, tapi—" Belum selesai Biru berkata, Arina di sampingnya sudah membekap mulutnya, bahkan hidungnya, membuat Biru kesusahan untuk bernapas.
"Jangan dengerin Blue. Dia nggak jelas," kata Arina. Biru masih berusaha melepaskan bekapan tangan Arina dari mulutnya. Gadis di depan Arina yang bernama Ausans sendiri hanya tersenyum melihat tingkah dua manusia di depannya.
"Nanti aku mati, Na," ujar Biru setelah Arina melepas bekapan tangannya. "Kamu kesepian entar," lanjut Biru lagi.
"Kalian sepasang kekasih, ya?" tanya Ausans tiba-tiba yang membuat Arina dan Biru saling bertukar pandang lalu memicingkan sebelah mata.
Biru sebenarnya ingin membantah anggapan itu, tetapi Arina tiba-tiba berucap, "Iya. Kita kekasih. Bahkan udah punya dua anak. Namanya Brownie sama Thor."
Biru langsung menatap antara geli dan cringe.
"Punya dua anak? Serius?!" Ausans menatap Biru dan Arina tak percaya.
"Iya. Brownie lagi tidur di tas. Kalau Thor lagi dikasih misi sama bapaknya," kata Arina senewen. Biru geleng-geleng kepala untuk kesekian kalinya.
"Nggak, dia cuma canda. Brownie itu nama anak ayam, peliharaan Arina. Kalau Thor peliharaanku. Btw, nama dia Arina, bukan Red," jelas Biru. Arina di sampingnya bersungut-sungut. Apa susahnya sih jika mengiyakan namanya Red?
Ausans hanya ber-oh ria, lalu tersenyum. "Kalian lucu, ya?"
Arina yang tadinya bersungut-sungut berubah jadi nyengir ketika dipuji. Dasar aneh!
Keadaan jadi hening. Sepi seperti biasa. Tanpa suara jangkrik yang seharusnya mengkerik setiap petang. Waktu menunjukkan pukul setengah tujuh malam. Sudah setengah jam mereka mengobrol.
"Jadi, kamu atlit equestrian—read: berkuda—sama memanah?" tanya Arina memecah keheningan. Ausans mengangguk.
"Pernah juara tiga equestrian di Sea Games," kata Ausans. Arina membelalakkan mata, takjub.
"Sumpah. Itu keren, Sans." Arina memuji.
"Besok mau ikut Asian Games sebenernya, tapi nggak tau kalau bakal gini." Ausans tersenyum sedih.
Arina menghela napas, ikut sedih juga. Mau bagaimana lagi, dia juga bingung dengan keadaan dunia yang berubah 180 derajat ini.
Biru tak jauh di belakang Arina hanya menyimak. Ia merebahkan tubuhnya di gazebo yang mereka tempati. Mungkin Biru lelah.
"Rumah kamu disini, Sans?" Arina mengalihkan topik pembicaraan.
"Nggak. Rumah aku lumayan jauh dari stable ini. Setelah semua orang menghilang, aku langsung kesini. Mau lihat apa kuda papa sama kucingku masih ada. Dan ternyata cuma ada Cassini, Ndeso, dan Ndesit," terang Ausans. Arina hanya meng-oh kan.
By the way, Cassini adalah nama kuda jantan milik Ausans, milik papanya lebih tepatnya. Aneh memang. Cassini seharusnya nama perempuan, bukan laki-laki. Dari tujuh kudanya, hanya Cassini yang masih ada. Enam lainnya menghilang entah kemana.
Ndeso dan Ndesit sendiri dua ekor anak kucing jantan yang sama-sama berwarna abu-abu putih menggemaskan. Ditemukan di saluran irigasi kecil sawah dan tidak mau dimandikan pada awalnya sehingga diberi nama Ndeso dan Ndesit. Lucu memang. Ditambah anak kucingnya sangat menggemaskan. Arina sendiri tidak henti-hentinya tertawa saat Brownie yang habis bangun tidur bermain bersama dengan Ndeso dan Ndesit. Mereka tampak akur meski berbeda jenis hewan.
"Jadi ... apa tujuan kalian datang kesini?" tanya Ausans. Arina menepuk jidat. Ia lupa.
"Ada laptop?" Biru bangkit duduk lalu bertanya.
"Ada," jawab Ausans.
"Koneksi internet?"
"Ada wi-fi disini."
"Oke. Bisa aku pinjem?" kata Biru.
Ausans mengangguk lalu mengambil laptopnya. Setelah mengambil laptop di sebuah rumah yang ada di dalam stablenya, Ausans memberikan laptop itu pada Biru. Tidak lupa menyalakannya terlebih dahulu.
Setelah internet benar-benar terkoneksi, Biru segera membuka aplikasi browser. Tiga detik kemudian, tanpa Biru apa-apakan, sebuah pesan yang sama seperti yang ada di warnet sebelumnya muncul. Ausans segera membacanya.
"Makhluk asing? Apa yang terbang dengan pesawat khas alien tadi sore itu?!" tanya Ausans. Arina dan Biru mengangguk. "Kamu juga lihat?' tanya Arina. Walaupun ia yakin seluruh Jogja pasti melihatnya tanpa ditanya.
"Iya. Aku lihat. Bahkan mereka sempat turun ke stadion dan keluar dari pesawat."
Arina membelalakkan mata. Apa Ausans benar-benar melihat aliennya? "Gimana bentuknya? Apa kepalanya lonjong? Kaki tangannya gimana?" Arina langsung menyerang Ausans dengan banyak pertanyaan.
"Nggak. Bentuk mereka persis manusia."
Arina melongo. Apa sungguhan manusia? Atau hanya alien dalam bentuk manusia? Kepala Arina jadi pening memikirkannya.
"Anehnya, kenapa mereka nggak tangkap aku? Apa mereka nggak tau aku di dalam stable? Bukannya peralatan mereka canggih? Apalagi kalau cuma deteksi keberadaan manusia," ujar Ausans. Arina mengedikkan bahu, tidak mengerti.
"Dan tunggu-tunggu. What the hell!" ujar Ausans lagi. Arina menaikkan sebelah alisnya. "Aku yakin semua sistem komputer udah diretas sama mereka. Tapi kalau kayak gini caranya, berarti sama aja ngasih tahu sarang kita ke musuh?! Mereka jelas-jelas sebut markas mereka di Tasik, peta keberadaan kita, dan tempat buat jemput kita!"
Keadaan jadi hening. Semua terdiam. Arina sendiri baru sadar akan hal itu. Dia tidak memikirkannya sampai situ.
"Aku jadi mikir, mungkin mereka nggak ngincar kita?" Biru akhirnya kembali bersuara. Setelah tadi obrolan didominasi oleh Arina dan Ausans.
"Tapi kenapa nggak? Bukannya mereka yang culik orang-orang?" tanya Ausans. Biru jadi buntu ketika dihadapkan pertanyaan tadi.
"Belum tentu. Semua masih misteri," kata Biru.
Arina menghela napas, tiba-tiba berucap, "Aku nggak ikut-ikut deh. Kata Blue aku nggak usah mikir tentang dunia ini. Kalian mikir sendiri sana. Aku mau main sama Brownie dkk aja." Arina langsung membawa Brownie, Ndeso, dan Ndesit ke dekat kandang Cassini, meninggalkan Biru dan Ausans yang masih berpikir keras.
Good girl.
"Hai, Blue, lagipula jika aku pergi ke Tasik, gimana nasib Cassini? Mungkin aku masih bisa bawa Ndeso Ndesit. Tapi Cassini? Aku nggak bisa ikut kalau Cassini nggak ikut," kata Ausans, mengingatkan Biru tentang Thor hewan peliharaannya. Bagaimana Thor dan Cassini bisa pergi sendiri ke Tasik yang sangat jauh?
"Gimana kalau pesan itu cuma jebakan? Gimana kalau ternyata yang ngirim pesan itu makhluk asing itu sendiri?" kata Ausans lagi.
"Tapi itu juga nggak mungkin. Kalau mereka alien, kenapa mereka nggak langsung tangkap kita di tempat yang mereka kasih tahu tadi?" Biru bertanya.
"Iya juga sih."
Biru akui, Ausans sungguh teliti dan sangat hati-hati. Mulai dari dia yang mengingatkan bahwa komputer sudah diretas, mengingatkan cara membawa Thor, dan juga mengingatkan adanya dugaan bahwa pesan itu hanya jebakan. Biru dan Arina saja tidak seteliti dan sehati-hati itu atas premis-premis yang bisa terjadi.
Biru masih berpikir keras, sama seperti Ausans di depannya. Walau kadang terbuyar karena teriakan-teriakan Arina yang tiba-tiba seperti;
Brownie ... jangan masuk kandang Cassini, nanti kamu diinjek; atau
Ndeso Ndesit ... Brownie jangan dikejar-kejar, dia masih kecil, suka jatuh-jatuh kalau lari; atau
Cassini ... jangan banyak gerak. Brownie, Ndeso, dan Ndesit ada di bawahmu.
Hahahaha. Biru jadi tidak fokus dibuatnya.
Setelah cukup lama berpikir, akhirnya Biru tersenyum lebar. Dia dapat ide. Langsung saja Biru mengambil laptop Ausans, mengirim pesan ke pengirim pesan tadi.
"Gimana?" tanya Ausans.
"Jadi gini, kita minta bantuan untuk ngirim jemputan buat Cassini dan Thor. Kita minta mereka jemput besok sore setelah orang di Merapi ketemu dan kita pilih tempat sekalian. Di sana kita juga bakal tahu dia makhluk asing alias alien bukan. Aku sendiri yakin kalau itu manusia. Mungkin Kota Tasik tadi cuma buat peralihan, kita nggak benar-benar maksudnya. Dan ya, kalau dia bener manusia, walau aku yakin itu emang manusia, kita bisa sekalian pergi saat itu juga."
"Gimana kalau mereka nolak? Atau gimana kalau pesan yang kamu kirim udah diretas mereka dan undang mereka buat tangkap kita? Lagian kenapa kita nggak pergi dari Jogja sendiri aja, sih?" Ausans menghunjami Biru dengan banyak pertanyaan.
"Kita tunggu balasan mereka dulu. Tapi hasil akhir bakalan sama, kalau kita nggak ditangkap di balaikota, kita bakal ditangkap di tempatempat jemput Thor dan Cassini. Kita harus ambil resiko, gimanapun caranya. Lagian aku jadi nggak yakin kalau mereka incar kita. Terus, kalau kita pergi dari Jogja sendiri, justru kemungkinan ditangkap lebih besar. Kita nggak tahu kan, mungkin tim di sana punya senjata berat dan lengkap," jelas Biru. Ausans mengangguk. Mulai paham dengan maksud Biru. "Aku juga udah ada ide tempat penjemputan Thor dan Cassini," lanjutnya.
"Di mana?"
"Brimob. Sekalian kita ambil senjata buat jaga-jaga kalau ada sesuatu yang nggak diinginkan."
Ausans tersenyum lalu mengangguk. Ide yang cemerlang.