"Udah siap?" tanya Biru di depan Arina.
"Siap, Blue," jawab Arina lalu memegang kedua pundak Biru dari belakang.
Biru menjalankan motor Ducati-nya. Arina yang duduk membonceng di belakang sibuk memelototi ponsel Biru, mengamati foto peta tempat manusia lain yang masih ada di Jogja.
"Kita ke Bantul dulu, Blue. Habis itu baru naik ke Merapi," kata Arina pada Biru yang sedang fokus menyetir motor.
"Oke."
Waktu menunjukkan pukul empat sore, tetapi keadaan sudah gelap. Mungkin karena efek awan mendung yang sedari tadi belum hilang kendati sudah hujan.
Arina merapatkan jaket merah yang ia kenakan. Angin dingin yang menusuk tulang menerpanya saat Biru mengencangkan motornya. Arina menoleh ke kanan kiri, jalanan benar-benar sepi. Sama sekali tidak ada manusia. Yang hanya ada dedaunan yang berserakan dan basah karena sehabis hujan.
Piringan-piringan tadi sudah menghilang semenjak hujan berhenti. Mungkin mereka hanya ingin melakukan observasi sebelum menghancurkan Kota Jogja. Arina juga tidak tahu kenapa makhluk asing itu datang ke bumi dan menghancurkan Indone1sia ... atau seluruh dunia? Apa keinginan mereka? Apa mereka juga yang menculik manusia-manusia di dunia? Apa alasannya?
Arina menghela napas lelah. Lama-lama dia bisa stres memikirkan hal yang sama sedari tadi. Semua yang ia alami akhir-akhir ini sungguh tak masuk akal. Mulai dari manusia hilang, Brownie yang bisa keluar sendiri dari kandang terkunci, alien yang ingin menghancurkan bumi, sampai seekor raptor herbivora yang dipelihara. Ini seperti mimpi. Tapi kenapa rasanya sangat nyata? Kenapa juga dia tidak bangun-bangun dari mimpinya?
"Na, kamu tahu daerah di Bantul?" tanya Biru membuyarkan lamunan Arina tentang dunia aneh dan kosong ini.
"Nggak, Blue. Aku nggak terlalu tahu Bantul. Bukannya katanya kamu tahu dimana Stadion Sultan Agung?" tanya Arina agak terkejut. Masalahnya, foto peta di ponsel Biru hanya menampilkan daerah, bukan rute. Foto itu diambil dari monitor komputer di warnet tadi.
"Santai Aku tadi cuma tanya, Na," jawab Biru. Arina menghela napas lega.
"Pik pik pik." Tiba-tiba kepala Brownie muncul dari tas selempang kecil Arina yang tidak ditutup.
Tadi Brownie sudah makan banyak setelah makan siangnya telat. Dia juga malah tidur saat Arina ingin pergi. Makanya Arina taruh di tas kecil dan ia letakkan di celah antara Biru dan Arina. Dan entah mengapa Brownie malah bangun sekarang. Mungkin dia capai karena sedari tadi tidur terus.
"Aku keluarin, tapi jangan poop sembarangan, ya?" kata Arina. Biru di depan tersenyum geli mendengarnya. Frontal sekali.
"Mana ayam tahu, Na."
"Tahu! Tadi malam waktu aku mau tidur, aku bilang ke Brownie jangan buang kotoran di kasur dan Brownie nurut kok," terang Arina.
"Kamu tidur sama Brownie?" tanya Biru, masih tetap fokus menyetir.
"Iya. Tapi tenang, aku nggak bakal hamil," kata Arina. Biru langsung tertawa mendengarnya.
"Siapa juga yang bilang kamu bakal hamil? Brownie itu ayam, Na. Anak ayam malahan. Jangan ngomong aneh-aneh lagi deh. Lagian, emang Brownie laki-laki?"
"Nggak tahu, Blue. Aku nggak tahu bedanya ayam laki-laki sama perempuan pas waktu kecil. Tapi kalau udah gede, aku tahu," ujar Arina. Biru tersenyum. Ia ingin memberi tahu perbedaannya, tetapi Arina malah sudah kembali berbicara. "Blue, kamu serius biarin Thor ke Merapi sendiri tadi? Gimana kalau dia nggak tahu jalan terus kesesat kayak sebelumnya? Trus, gimana kalau dia capek, Blue? Kasihan.. Kamu nggak berperikehewanan banget, sih."
"Berperikemanusiaan kali. Justru kalau berperikehewanan itu orang yang tegaan," kata Biru sembari membelokkan stir motor ke kanan. "Lagian Thor itu hewan pinter sama kuat. Dia juga udah aku kasih tau rutenya," lanjut Biru.
"Kapan kamu bilang? Mana Thor inget, Blue."
"Lupa, ya? Aku sama Thor itu bisa telepati. Kalau dia mulai nggak paham sama jalanan, aku bakal kasih tahu. Lagian insting raptor itu kuat, Na. Jangan khawatir."
"Berarti sedari tadi kamu komunikasi sama Thor?!"
"Iya, tapi kebuyar karena kamu ngomong terus," terang Biru membuat Arina mengerucutkan bibirnya.
"Yaudah, aku diem. Don't miss me."
"Nggak. PD banget," ujar Biru. Arina hanya terkekeh lalu kembali sibuk bermain dengan Brownie di depannya.
Lagi-lagi Biru hanya bisa tersenyum geli karena kelakuan Arina. Sebenarnya Biru sudah berencana membagi pekerjaan menjadi dua. Ia akan pergi ke Merapi untuk mencari satu manusia di sana, sedangkan Arina pergi ke Bantul dibantu Thor untuk mencari manusia lain di sana. Tapi Arina menolak mentah-mentah. Katanya Biru dan Arina harus mencari bersama-sama. Lagipula Biru agak ragu melepas Arina sendirian ke sana. Bagaimana jika makhluk asing itu kembali datang? Bisa-bisa Arina kepayahan sendiri dibuatnya. Apalagi Arina sama sekali tidak tahu jalan. Biru sendiri heran, Arina tinggal di Jogja, tetapi kenapa sama sekali tidak tahu jalan di Jogja?
Sudah 45 menit mereka berdua mengendarai motor. Tiba-tiba hawa dingin jalanan membuatnya mengantuk. Memang kebiasaannya sejak kecil sih. Dulu saat ia dibonceng ayahnya, Arina juga sering mengantuk. Walaupun tidak akan tidur seperti waktu masih kecil dulu.
Saat Arina sedang memegang dan mengelus kepala Brownie, tiba-tiba Biru di depannya membanting stir ke kanan. Motor yang terlalu miring, Biru dan Arina langsung jatuh dari motor bersamaan. Tidak terlalu sakit. Bersyukur Arina memegang Brownie. Jika tidak, mungkin anak ayamnya sudah mati kepenyek sekarang.
Buru-buru Biru menarik Arina agar bersembunyi di belakang mobil yang terparkir di pinggir jalan. Walaupun belum paham dengan apa yang terjadi, dia tetap menurut, membiarkan tangan Biru merangkul dan menundukkan kepalanya. Arina tahu pasti ada sesuatu yang buruk.
"Sstt..." kata Biru sembari menaruh telunjuk kanannya di depan bibir.
Brownie yang ada di genggaman Arina seperti sudah tahu keadaan sehingga tidak bersuara seperti sebelumnya. Anak ayam yang pintar.
Terlihat sebuah drone terbang dan melewati mereka berdua. Drone itu terbang lambat dan kadang-kadang berhenti, membuat Arina dan Biru deg-degan bersamaan. Beberapa detik kemudian drone itu terbang menjauh, Biru di samping Arina menghela napas lalu melepaskan rangkulannya pada Arina.
Arina sendiri juga ikut menghela napas lega.
"Kamu nggak papa, Na?" Biru bertanya. Arina mengangguk.
"Aku takut itu punya makhluk asing," kata Biru lagi. "Tapi selama aku nyetir, aku baru liet satu drone. Mungkin karena ini udah masuk Bantul, makanya mereka ngirim drone buat lihat-lihat keadaan jalan," lanjutnya.
Arina mengerutkan dahi samar. Tampak bingung dengan ucapan Biru barusan. "Emang kenapa kalau di Bantul?"
"Bantul belum ada CCTV di jalanannya. Baru aja di Jogja kota. Itupun cuma ada beberapa di tempat. Makhluk itu mungkin udah bajak CCTV di Jogja kota, tapi yang Bantul nggak ada. Makanya pakai drone. Kemungkinan sih," jawab Biru.
"Kalau mereka udah bajak sejak kemarin, kenapa aku nggak ditangkap? Aku kan udah kemana-mana kemarin. Aku juga masih bingung deh, Blue. Kenapa kita nggak diculik, ya? Terus, aku jadi mikir, jangan-jangan manusia selain kita udah mati, berarti—"
"Jangan mikir aneh-aneh, Na," sela Biru dengan cepat.
Arina tidak peduli, ia masih melanjutkan ucapannya. "Ibuku? Ayahku? Kakak adikku? Mereka udah—"
"Jangan ngomong yang nggak-nggak lagi. Positive thinking, Na," kata Biru menyela. "Semua yang kamu tanyain tadi aku juga nggak tahu jawabannya. Jadi berhenti nanya dan mikir yang nggak-nggak sejak sekarang. Ini dunia yang nggak bisa dipikir pakai akal sehat, jadi berhenti mikirin dunia ini. Aku yakin misteri ini bakal keungkap nanti," kata Biru.
Arina menghela napas. "Astaga. Aku emang berisik banget."
Biru menatap tak paham gadis di depannya. Ia menghela napas lelah. Kenapa Arina jadi merasa bersalah? Padahal Biru sama sekali tidak bermaksud seperti itu.
"Nggak gitu, Na. Sama sekali bukan karena kamu berisik. Tapi kalau kamu mikirin semua ini terus, kamu sendiri yang bakal stres dan tertekan. Jadi jangan lakuin itu lagi. Kamu ngerti maksudku?" terang Biru.
Arina mengangguk paham lalu tersenyum. Sejurus kemudian ia bangkit berdiri. "Yaudah, ayo jalan lagi. Masih jauh nggak?"
Senyum Biru mengembang. "Kurang seperempat jalan lagi."
***
Keadaan sepi. Seperti biasa. Tidak ada yang berbeda.
Arina menjatuhkan diri ke tanah berpasir di bawahnya. Dia sungguh lelah. Lama sekali ia dan Biru memutar stadion di belakangnya untuk mencari manusia, tapi hasilnya nihil. Tidak ada sama sekali manusia disana. Arina jadi berpikir, apa mereka hanya berbohong? Atau petanya yang salah? Atau manusianya saja yang sudah pergi dari sini?
Arina meluruskan kedua kakinya. Biru di belakangnya sedang duduk di pagar tembok sepinggang yang membatasi antara lapangan bundar yang berpasir untuk berkuda dan tanah lapang yang tidak terpakai. Arina dan Biru memang sedang berada di luar stadion sepak bola sekarang, tepatnya di lapangan untuk pacuan kuda.
"Ayo kita pergi, Blue. Disini nggak ada orang sama sekali," ajak Arina sembari mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. "Bentar lagi gelap, nanti nggak bisa pulang," lanjutnya.
Arina bangkit berdiri. Ia melangkah menuju motor Ducati yang tadi ia tumpangi. Baru tiga langkah, Arina rasa dia menginjak sesuatu. Sesuatu yang lembek, lengket, dan bau.
Arina merunduk lalu mengernyitkan dahi. Dia menginjak kotoran. Sepertinya kotoran kuda.
"Blue, ada sesuatu." Arina memanggil.
Biru yang memakai kaus biru—hasil ambil dari toko—turun dari pagar tembok yang tadi ia duduki. Ia mendekat ke Arina lalu melihat sesuatu yang Arina injak. "Ini masih basah. Berarti emang ada orang disini, Na," jelas Biru.
"Ini kotoran kuda, Blue, bukan manusia. Masa manusia BAB sembarangan?"
Biru menghela napas lelah. Susah sekali bicara dengan Arina. "Iya, aku tahu, tapi kudanya pasti sama pemiliknya. Paham?" ujar Biru. Arina hanya nyengir.
Beberapa saat kemudian suara ringkikan kuda terdengar. Arina mendongak, menajamkan pendengaran. Suaranya berasal dari balik tembok yang tinggi beberapa meter di depannya. Arina mendekat, membaca spanduk di atas dua daun pintu besi tertutup yang ada di sana. Tulisannya; Welcome to Zaganosh Stable. Pantas saja!
"Blue, ada stable di sana." Arina berseru sembari menunjuk spanduk yang ia baca tadi. "Aku yakin orang itu ada di sana, Blue."
"Ayo ke sana."
Biru melangkah duluan, disusul Arina di belakangnya. Setelah sampai di depan pintu besi tadi, Biru langsung mengetuknya. Bukan mengetuk sih. Lebih tepatnya menggedor. Masalahnya tidak ada bunyi yang keras jika pintu besi di depan mereka hanya diketuk.
"Apa ada orang di dalam?!" seru Biru, masih dengan kegiatan menggedor pintu besi di depannya. Ini sudah kedua kalinya Biru berteriak memanggil orang dari dalam sana, tapi sama sekali tidak ada jawaban.
"Tolong buka atau bakal kudobrak," ancam Biru. Arina memberi tatapan mengejek mendengarnya. Sok-sokan, pikirnya. Mana kuat Biru dobrak pintu besi.
"Kamu cuma gertak, Blue. Mana mungkin kamu bisa dobrak pintu besi," ejek Arina.
"Yang penting orangnya takut."
Tepat setelah Biru selesai berbicara, salah satu daun pintu besi tadi terbuka. Seorang gadis keluar. Gadis itu mengangkat busur panah serta menarik anak panahnya ke arah Arina dan Biru. Arina langsung mengangkat tangan ke atas. Jantungnya berdegup kencang, sama seperti Biru. Jika begini caranya, bukan gadis di depan mereka yang takut gara-gara ancaman Biru tadi, melainkan Arina dan Biru sendiri.