"Brownie itu..." Arina menggantung ucapannya. Saat ia ingin bicara kembali, tiba-tiba..
"Pik pik pik pik pik." Brownie datang dari menembus hujan. Badannya basah kuyup dan bergetar. Anak ayam yang malang. Tapi bagaimana bisa dia membuka kandangnya dan pergi kesini?
"Brownie, kamu kedinginan," kata Arina mulai panik. "Aku perlu sesuatu yang anget. Semacam lampu biar Brownie nggak kedinginan lagi," katanya. Ia menoleh ke kanan kiri, tidak menemukan apa pun. Alhasil ia berusaha memecahkan toko—ralat, lebih tepatnya warnet di belakangnya.
Biru geleng-geleng kepala. Pemuda itu akhirnya mengambil seutas kawat di dekatnya dan membentuknya menjadi sesuatu. Ia berjalan ke pintu dan memasukkan kawat tadi ke lubang kunci di pintu.
Ceklek.
Biru langsung mendorong kaca di depannya sehingga terbuka. Pemuda itu menoleh ke Arina dan tersenyum lebar. "Silahkan masuk, Tuan Putri," katanya.
"Semudah itu?" tanya Arina lalu memberi tampang muka tak percaya. "Kapan-kapan ajarin ya, Blue?" pintanya. Biru hanya mengiyakan.
Arina segera masuk ke warnet tadi, disusul Biru di belakangnya. Warnet yang mereka masuki gelap. Tidak ada lampu sama sekali. Dengan cepat Arina mencari lampu dan menemukan sebuah lampu kecil dekat meja kasir.
Tanpa babibu Arina langsung menghidupkan lampu tersebut dam meletakkan Brownie di dekatnya. Arina menghela napas lega. Brownie tidak lagi kedinginan.
"Gimana?"
"Syukur udah anget. Tadi dia geter-geter. Aku jadi ngeri sendiri," jawab Arina sambil mengelus kepala Brownie yang sedang menutup mata. Tidur.
"Jadi Brownie peliharaan kamu?" tanya biru. Arina hanya menggangguk. "Aku juga punya peliharaan. Datang di hari pertama orang-orang hilang dan bikin aku kaget," lanjutnya.
"Brownie juga. Dia ada di bawah kandang ayam Ayahku sendirian kemarin. Padahal aku nggak pernah ingat punya anak ayam kayak gini," terang Arina, masih megelus-elus kepala Brownie yang sedang tidur. "Emang peliharaanmu apa?"
"Namanya Thor."
Arina terkekeh. "Aku tanya hewan apa, bukan tanya namanya, Blue. Lagian emang peliharaannya bawa palu kayak Thor ya?"
"Kamu bakal nggak percaya kalau lihat hewannya. Dia langka. Dan pastinya nggak bawa palu."
"Aahh, aku inget." Arina menatap pemuda di sebelahnya. "Jangan-jangan merpati, ya? Kamu kan yang ngirim pesan lewat merpati itu? Terus kamu lihat jawabanku yang isinya alamatku dan langsung ke sini? Iya kan, Blue?"
Biru mengerutkan dahi, bingung dengan ucapan Arina. "Merpati? Pesan? Alamat? Nggak. Aku emang nggak sengaja ketemu kamu tidur di tengah jalan," jawabnya.
Arina mengangguk-angguk, seperti mulai paham sesuatu. "Berarti masih ada yang lain disini."
"Aku pikir juga gitu, Na," ucap Biru lalu berjalan ke salah satu sofa panjang di depan pintu. Dia langsung merebahkan tubuh disana.
"Jangan panggil Na."
"Yaudah Rin aja. Kalau nggak Ari. Kalau nggak Arin. Kalau nggak Rahma. Kalau nggak Wati."
"Jangan. Red aja."
"Ya udah terserah kamu."
Arina hanya terkekeh lalu ikut ikut berbaring di sofa panjang yang berhadapan dengan sofa yang ditiduri Biru. Brownie di atas meja kasir sudah terlelap, duduk tertidur ala anak ayam.
"Hujannya masih deres, ya?" ucap Arina lalu menatap keadaan luar yang masih hujan dari laca dinding luar.
"Emang kenapa?"
"Brownie belum makan. Kamu nggak punya makanan lagi kan?"
Biru tertegun sesaat. Mengingat sesuatu. "Ada kok, tapi permen."
"Mana ayam doyan."
Keadaan menjadi hening. Hanya ada suara hujan yang sudah sedikit teredam karena ruangan warnet ini memiliki peredam suara. Arina menatap atas. Melihat lampu-lampu yang menggantung di atas warnet.
"Blue," panggil Arina. Biru hanya menjawab dengan deheman. Dia mulai malas berbicara karena mengantuk. "Kita cepet akrab, ya?" tanya Arina.
"Karena kita cuma berdua. Kalau misal kita ada tiga, pasti kamu akrabnya sama yang lain," jawab Biru.
"Kok bisa?"
"Aku nggak seru kalau ngobrol."
"Masa? AKu ngerasa seru. Aku juga seneng bisa ketemu kamu. Sehari kemarin aku bener-bener kesepian. Ibu aku yang cerewet nggak ada. Ayah yang galak juga nggak ada. Kakak yang usil juga nggak ada. Adik yang manja juga nggak ada. Sedih banget. Kenapa orang-orang pada hilang? Kamu punya asumsi tentang ini nggak? Oh iya, kamu berapa bersaudara, Blue?" ucap Arina panjang lebar, tetapi tak kunjung mendapat jawaban.
"Blue?" panggil Arina. Masih tak ada jawaban.
Arina menoleh ke arah Biru. Dan benar saja dugaannya, pemuda itu sudah tidur terlelap di atas sofa. Arina menghela napas panjang. Padahal dia sudah berbicara panjang lebar tadi. Yasudahlah, biarkan saja Biru tidur. Mungkin dia lelah.
Arina bangkit berdiri, berniat masuk ke salah satu bilik dan menghidupkan komputer di sana. Main bentar seru nih, pikirnya. Tetapi baru ingin memasuki salah satu bilik, tiba-tiba bumi yang ia pijaki bergetar dengan hebat disusul dengan suara seperti ledakan di luar sana. Arina reflek merunduk dan memegang kepalanya, menjaga agar tidak ada benda apapun yang jatuh mengenai kepalanya.
"Arina, kamu dimana?!" seru Biru tak jauh darinya. Setelah bumi kembali normal, Arina langsung berlari ke tempat awal. "Kamu nggak papa, Na?"
"Aku baik, Blue. Tapi tadi itu apa?" tanya Arina di tempat, segera melangkah mendekat. Biru hanya menggeleng dan segera keluar dari warnet disusul Arina di belakangnya. Brownie yang juga kebangun hanya bersuara 'pik pik pik' seperti biasa.
Ada suara aneh di luar. Seperti suara pesawat, tetapi suaranya tidak berpindah dan berasal dari satu tempat saja. Anehnya lagi, keadaan di luar warnet sudah tidak lagi hujan, padahal sekitar dua puluh meter tidak jauh dari tempat Arina berpijak terlihat hujan turun dengan derasnya. Rasanya seperti ada sesuatu di atas warnet yang menghalangi turunnya hujan.
Biru mendongak ke langit. Piringan berwarna perak melayang sejarak 100 meter di atasnya. Mata Arina langsung terbelalak melihat sesuatu di atas. Terlihat piringan besar di langit itu menembakkan sesuatu ke bumi. Arina tidak tahu sesuatu apa yang ditembakkan, hanya saja warnanya merah seperti terbakar. Beberapa detik kemudian bumi kembali bergoncang dengan hebat, bersamaan dengan suara ledakan. Biru langsung menariknya untuk berdiri menjauh dari luar parkir.
Arina menutup mulut tak percaya. Jantungnya berdegup tak karuan. "Itu alien?!"
"Aku nggak yakin. Tapi jangan sampai kita keliatan. Mereka ada banyak," kata Biru. Arina sedikit merunduk, mencoba melihat bagian langit yang lain. Dan benar saja, ada banyak piring terbang di atas sana. Dan lagi-lagi, suara ledakan terdengar disusul bumi yang bergoncang dengan hebatnya.
Sedang kalut menghadapi situasi, tiba-tiba Arina mendengar sesuatu. Suara hewan yang cukup Arina sering dengar di film favoritnya.
Tidak bisa dinalar, seekor hewan tidak biasa tiba-tiba datang dari arah kiri, membuat mata Arina lagi-lagi membelalak kaget. Ia langsung menarik tubuh Biru untuk menjauhi hewan itu, bersembunyi di balik punggung pemuda itu. Arina memegangi jaket belakang Biru kuat-kuat, benar-benar ngeri dengan hewan yang berada jauh di depannya. Belum selesai Arina kaget dengan kehadiran piringan terbang tadi, tiba-tiba makhluk prasejarah ini muncul di depannya.
"Jangan takut, Na. Dia Thor, peliharaan yang aku maksud tadi."
Arina tambah membelalakkan mata. Biru bilang apa?
"Dia... dia... peliharaanmu?" tanya Arina terbata-bata. Ia sungguh tidak percaya dengan ucapan Biru barusan. Biru di depannya mengangguk, membuat Arina menelan salivanya dengan susah payah.
"Dia ... Thor. Maksud kamu Velociraptor?!"