"Aku Biru, bukan Brownie."
Ha? Maksudnya?
Arina buru-buru membuka mata. Seorang pemuda berdiri di sampingnya. Arina pikir seseorang di sampingnya adalah saudara Mystique yang bertubuh biru di film X-Men, tetapi nyatanya tidak. Dia seperti manusia biasa. Berkulit sawo matang dan bukan biru. Memakai jaket kulit hitam dan juga celana model khaki.
"Butuh bantuan?" ucapnya lalu mengulurkan tangan. Arina mengangguk lalu menggapai tangan di atasnya. Pemuda itu menarik tangannya sehingga ia berdiri, tetapi baru sedetik ia langsung ambruk lagi. Kaki Arina sungguh capai sampai tidak kuat menumpu badannya sendiri. Syukurnya pemuda tadi langsung sigap menahan tubuhnya agar tidak jatuh.
"Kamu kenapa?"
"Nggak. Cuman capek," kata Arina sekenanya lalu berusaha berdiri sendiri sampai kakinya agak tremor.
"Ini hampir hujan. Kita harus cari tempat buat neduh. Ayo aku bantu jalan," Kata pemuda tadi. Arina langsung mengiyakan. Dia benar-benar butuh penopang sekarang.
Pemuda itu membantu Arina berjalan lalu membawanya ke sebuah parkiran toko yang teduh. Dan benar saja, sesaat setelah Arina duduk, hujan disertai angin kencang turun dengan derasnya. Arina langsung merinding saat angin yang dingin menerpa tubuhnya.
"Motor kamu nggak ditaruh tempat teduh?" tanya Arina lalu membaca dengan intens merek motor bergaya vintage itu. Terlihat samar-samar karena hujan. "Ducati Scramble, ya? Keren!"
"Bukan motorku."
"Terus?"
"Ambil di jalanan," jawabnya. Arina mengernyitkan dahi, lalu ber-oh ria sembari menatap motor Ducati tadi yang dihujan-hujankan. Sayang sekali. Mungkin harga motor itu sekitar 200 jutaan. Cukup untuk Arina membeli apa-apa.
"Aku Biru. Kamu?" tanyanya, tersenyum, lalu mengulurkankan tangan.
"Arina," jawab Arina lalu menjabat tangan Biru. "Panjangnya Arina Rahmawati. Jadi, nama kamu tadi bener Biru?"
Biru mengangguk. "Panjangnya Biru Samudra."
"Kenapa nggak dipanggil Samudra aja?"
"Terlalu mainstream. Biru lebih unik," terangnya. Arina mengangguk membenarkan. Benar juga katanya.
Terlihat Biru mengambil sesuatu dari tas selempangnya. Satu pak plastik roti tawar. Perut Arina langsung berkeriuk. Cacingnya tiba-tiba demo.
"Kamu mau?" tanyanya, menyodorkan roti tawarnya.
"Of course, Bir. Aku emang lagi laper," kata Arina lalu mengambil satu pak roti tawar dari tangan Biru, tersenyum lebar. Ia langsung membuka dan memakannya dengan cepat. Sangat cepat sampai dalam waktu semenit ia sudah makan empat lembar roti. Rakus memang. Masalahnya Arina memang sangat lapar.
"Jangan panggil Bir juga kali. Emang minuman," kata Biru. Arina nyengir kuda mendengarnya, masih sibuk makan roti tawarnya.
"Gimana kalau aku panggil Blue? Kan sinonimnya Biru."
"Boleh juga. Aku jarang dipanggil Blue."
"Sip deh," kata Arina lalu mengacungkan jempolnya. Sedetik kemudian Arina berujar lagi, "Oke, Blue, apa kamu punya minum?"
"Banyak. Itu ambil aja," ujar Biru sembari menunjuk air hujan yang berjatuhan dari atap. Arina memicingkan mata sebal melihatnya.
"Bercanda," ujar Biru.
Arina bangkit berdiri, melangkah mendekat ke kran air di dekatnya. Ia jarang minum air mentah, tetapi karena terpaksa, tidak masalah kan minum air kran sekali-kali? Bodo amat dengan tatapan heran pemuda di belakangnya.
"Duduk, Arisa" seru Biru mengingatkan. Arina yang mengambil air dengan telapak tangan mendadak keselak dan buru-buru jongkok. Biru tersenyum geli melihatnya.
"Arisa? Namaku Arina, Blue," ucap Arina membenarkan, lalu berdiri untuk membasuh wajahnya yang minyakan.
"Maksud aku itu," katanya. Arina kembali duduk di sisi Biru. "Udah kenyang?" tanya pemuda itu.
Arina mengangguk. "Iyalah. Satu pak roti tawar kumakan sendiri. Kamu nggak laper kan, Blue?" ujar Arisa, nyengir. Tampak tak merasa bersalah.
Biru menggeleng. "Aku udah makan, Na."
"Btw, Blue, jangan panggil aku Na."
"Terus?"
"Red aja. Kan keren. Nanti kita jadi pendekar dua warna. Kamu Blue kayak saudara Mystique di X-Men, aku red kayak—"
"Hell boy," sela Biru memotong ucapan Arina.
"Nggaklah. Kayak Iron Man kalau nggak Spiderman aja."
Biru geleng-geleng mendengarnya. "Nama kamu Arina. Nggak nyambung kalau dipanggil Red."
"Kan sama-sama ada 'r' nya."
"Sama aja tetap nggak nyambung," kata Biru. Arina menekuk bibir ke bawah.
"Rumah kamu dimana, Blue?" tanya Arina. Ia mendadak ingin tahu dari mana pemuda di sebelahnya berasal.
"Cangkringan, Sleman. Deket Merapi. Kamu?"
"Waah, jauh, ya? Rumahku juga masih jauh dari sini."
"Emang dimana?"
"Jalan Kusumanegara."
Biru megernyit, menatap Arina tak paham. "Bukannya ini Jalan Kusumanegara? Berarti rumah kamu nggak jauh dari sini," ucap Biru.
"Belum selesai ngomong, Blue. Maksudku jauh kalau jalan kaki."
Terlihat Biru menghela napas panjang, mungkin lelah bicara dengan Arina. "Terus, kenapa kamu tadi tidur di jalanan dan berdiri aja harus dibantu?"
"Adalah pokoknya. Ceritanya melelahkan dan penuh perjuangan sampai titik darah penghabisan terus panjangnya sepanjang jalan kenangan." Mode alay Arina kembali aktif.
Biru terkekeh mendengarnya. "Kamu habis cari manusia lain juga?"
"Iya. Aku masih nggak ngerti mereka hilang ke mana. Lebih-lebih nggak ngerti lagi kenapa kita nggak ikut ngilang."
Biru di sebelahnya mengangguk membenarkan.
Keadaan jadi hening. Arina menghembuskan napas. Hujan-hujan seperti ini ia jadi mengantuk. Jika ada selimut, guling, dan bantal, bisa-bisa Arina tidur di tempat parkir ini.
"Kamu tadi panggil aku Brownie. Brownie itu siapa?"
Arina terhenyak. Dia jadi teringat anak ayamnya. Mendadak ia jadi sedih memikirkannya. Brownie lapar tidak, ya?
"Brownie itu..." Arina menggantung ucapannya. Saat ia ingin bicara kembali, tiba-tiba...
"Pik pik pik pik pik."
Brownie datang dari menembus hujan. Arina terkejut. Badan Brownie basah kuyup dan bergetar. Anak ayam yang malang. Tapi bagaimana bisa dia membuka kandang dan pergi ke tempatnya?