"Pik pik."
Brownie bersuara sembari mematuk pipi Arina, berusaha membangunkannya. Arina hanya berpindah posisi lalu kembali tidur.
"Pik pik pik pik."
Brownie kembali bersuara, tetapi lebih nyaring dan lebih lama. Tidak lupa masih dengan kegiatan mematuk pipi Arina.
"Brownie, apaan sih. Ganggu," kata Arina lalu mendorong Brownie agar menjauh darinya. Brownie yang mungkin sudah lelah untuk membangunkan Arina segera turun dari tempat tidur. Mungkin jikalau Brownie bisa berbicara, dia pasti akan berkata, 'Dasar, manusia! Bentuk manusia, tapi tingkahnya kebo. Ibukku aja ngajarin aku buat bangun pagi terus cari makan. Padahal aku masih imut-imut dan belum pantes buat ngais-ngais tanah.'
Lah, si Brownie mah ngapa, ya?
Arina yang mulai sadar dari tidurnya tersentak. Lupa jika pagi ini adalah hari yang penting baginya. Cepat-cepat ia bangkit dan mengambil jam tangannya di atas meja nakas. Hari Senin, 29 Februari 2028. Pukul 7 pagi. Arina langsung berlari menuju kamar adik perempuannya diikuti Brownie di belakangnya.
"Dek..."
Arina membuka pintu kamar adiknya dan tidak mendapati seseorang pun.
"Kak..."
Kakak laki-lakinya juga tidak ada.
Segera Arina turun ke lantai bawah, tepatnya ke dapur. Brownie di belakang masih setia mengekorinya kemana saja. Biasanya Ibu Arina akan membangunkannya saat pagi. Apalagi ini Hari Senin. Tapi ini? Perasaan Arina mulai tidak enak.
Di dapur, tidak ada.
Di kamar, tidak ada.
Di kamar mandi, tidak ada.
Di ruang tamu, tidak ada.
Arina segera keluar rumah. Berharap salah satu anggota keluarganya ada di sana. Tapi hasilnya nihil. Teras rumah kosong.
"SEMUA MANUSIA... KALIAN KEMANA?" teriak Arina frustrasi di depan rumah. Tidak ada jawaban. Bahkan suara kicauan burung yang biasanya terdengar di pagi hari todak lagi terdengar sekarang. Sangat sepi.
Arina jatuh terduduk di tanah. Tubuhnya benar-benar melemas mengetahui keadaan ini. Brownie juga ikut-ikutan duduk di sisi Arina. Terlihat ikut sedih dengan hal yang telah menimpa pemiliknya. Rasanya Aqila ingin menangis, tetapi air mata sama sekali tidak bisa keluar dari matanya.
"Brownie," panggil Arina. Brownie mengepik, menoleh ke Arina. "Ini bukan mimpi, semua ini kenyataan. Mereka masih tetep hilang. Tapi gimana bisa?" Arina memberikan ekspresi wajah ingin menangis walaupun matanya tetap kering.
"Dulu, waktu aku bener-bener bosen sama orang di dunia, aku pernah ngayal tinggal di bumi sendirian. Lakuin hal-hal sebebasku tanpa gangguan. Tapi aku nggak tahu ternyata rasanya kayak gini. Sepi sekali. Aku kangen ibu, Brownie. Aku harus apa?" ucap Arina curhat ke Brownie di sampingnya. Mode alaynya mulai aktif. Tapi sungguh, dia bersedih atas kenyataan ini. Brownie sendiri hanya mengepik mendengarnya.
Tiba-tiba suara kepakan sayap terdengar. Seekor merpati turun ke tanah tidak jauh dari tempat Arina duduk. Arina mengkerutkan dahi. Apa ada hewan lain selain Brownie?
Arina memandang intens merpati itu. Ada secarik kertas yang digulung dan diikat ke kakinya. Langsung saja ia mengambil kertas itu dan membacanya.
Arina menutup mulut tak percaya. Rasa kaget dan senang bercampur jadi satu ketika ia membaca empat kata di kertas itu:
Apa ada manusia lain?'
Arina tidak sendirian di dunia yang kosong ini.
***
Arina membuka mata perlahan lalu memegang kepalanya. Mendadak saja kepalanya menjadi sangat pening. Dengan pandangan yang masih sedikit kabur, Arina melihat ruangan yang ia tempati. Berdinding putih dengan kaca transparan di sisi depan. Dimana dia berada? Mengapa dia memakai alat bantu napas?
Arina bangkit duduk lalu melepas alat bantu napas di hidungnya. Ia juga baru sadar sebuah logam melengkung menempel di kepalanya. Selang-selang yang Arina tidak pahami fungsinya juga banyak menempel di tangan dan kakinya. Anehnya, ia memakai baju hijau layaknya seorang pasien. Sebenarnya apa yang terjadi dengan dirinya?
Arina menatap ke arah depan, lebih tepatnya ke kaca transparan. Terlihat beberapa orang berjalan lalu lalang di luar sana. Kebanyakan memakai jas putih seperti dokter, tetapi ada juga yang memakai setelan semi formal. Kepala Arina jadi tambah pening. Dia dimana, sih?
Seorang wanita tiba-tiba masuk ke ruangan yang ia tempati. Memakai jas putih dan masker di mulutnya. Kulitnya hitam khas orang negro. Wanita itu melotot kaget setelah melihat Arina dan langsung menekan tombol merah di sisi pintu. Perasaan Arina jadi tidak enak. Apa yang wanita itu lakukan?
Selang setengah menit kemudian, beberapa orang masuk ke ruangan Arina. Ia jadi panik. Mereka sama-sama memakai jas putih dan masker. Tiga laki-laki ditambah wanita tadi.
"Ada kegagalan obat disini. Bius itu sama sekali tidak mempan," kata wanita berkulit hitam tersebut. Arina mengernyitkan dahi. Apa maksudnya?
Empat orang itu mendekat ke arahnya. Arina tambah panik. Dia melepas seluruh selang infus di tubuhnya dengan paksa, tidak peduli rasa sakit dan darah yang keluar akibat jarum suntik yang dipaksa lepas. Tak lupa Arina melepas lengkungan logam di atas kepalanya. Ia segera turun dari tempat tidur dan ingin lari. Tetapi empat orang itu sudah menahannya duluan. Arina memberontak. Tapi tenaga empat orang di depannya terlampau kuat. Mereka memaksa Arina untuk berbaring di tempat tidur. Arina sudah melawan. Melakukan gerakan apa saja yang bisa membuatnya lepas. Tapi hasilnya nihil.
Wanita yang pertama masuk tadi pergi ke pojok ruangan, mengambil sesuatu dari sana. Sejurus kemudian ia kembali datang dan membawa suntikan. Arina yang sudah tak berdaya katena kaki tangannya dipegang erat oleh tiga laki-laki hanya pasrah, membiarkan wanita itu menyuntik lengan bawahnya.
Beberapa detik kemudian dirinya jadi susah napas dan...
"Hah... Hah..."
Arina bangun, segera menghirup napas banyak-banyak. Ia memandang sekelilingnya. Dia ada di ruang tamu. Tadi itu hanya mimpi. Mimpi buruk. Tetapi entah mengapa rasanya seperti nyata sekali.
Arina menengok jam tangannya. Pukul sembilan pagi. Sudah dua jam ia ketiduran setelah menulis balasan kertas tadi. Balasan yang berisi alamat rumahnya. Arina harap si pengirim akan langsung pergi ke rumahnya karena ia benar-benar kesepian sekarang.
Arina menoleh ke meja tamu. Brownie masih tidur setelah tadi ia beri makan beras. Arina bangkit berdiri dari sofa, berniat melakukan sesuatu.
"Kayaknya aku harus pergi keliling kota cari manusia lagi. Siapa tahu ketemu manusia lain."
***
Arina berjalan sempoyongan membelah jalanan kota. Ia lelah sekali sehabis berjalan hampir 10 kilometer dan berteriak memanggil manusia yang mungkin ada. Tapi hasilnya nihil. Sejauh 10 kilometer sama sekali tidak ada yang datang karena teriakannya. Arina menatap jalanan di depannya. Sangat kotor. Sampah dedaunan berserakan dimana-mana. Kadang bertebaran dibawa angin yang sedang kencang.
Peluh bercucuran di wajahnya kendati cuaca sedang mendung. Sangat mendung bahkan sampai Arina kira sudah hampir malam. Tapi ketika ia melihat jam tangannya, waktu masih menunjukkan pukul dua siang.
Merasa sangat letih, Arina menjatuhkan diri ke aspal. Ia sungguh capai. Tak sanggup lagi untuk berjalan. Dia belum makan siang dan dehidrasi juga. Tadi pagi juga hanya sarapan dengan telur ceplok. Arina bisa saja memecah kaca supermarket lalu mengambil minuman dan cemilan dari sana. Tapi dia terlalu baik untuk melakukan hal itu. Lagi pula, bagaimana jika orang-orang kembali datang dan menyuruhnya ganti rugi atas kaca pecah tersebut? Arina tidak ingin hal itu terjadi. Jadinya, ia memilih kelaparan dan kehausan sekarang.
Ia tidur telentang lalu merentangkan kedua tangannya di atas aspal. Ia masih ngos-ngosan. Bahkan ia bisa merasakan jantungnya yang berdetak tak beraturan begitu juga dengan deru napasnya. Angin kencang yang sangat dingin segera menerpa tubuh nya. Arina rasa hujan deras disertai angin akan segera turun.
Arina sangat menyesal sekarang. Seharuanya ia memberanikan diri untuk mengisi bensin di pom bensin tadi. Dia hanya terlalu takut jika salah prosedur dan malah meledakkan pom bensin. Terlalu parno memang. Makanya dia tidak memakai motor dan malah berlari untuk mencari manusia lain. Dan sekarang ia sungguh bingung bagaimana cara untuk pulang. Rumahnya masih jauh dan dia terlampau lelah untuk pulang walaupun dengan mengesot. Lagipula, kalaupun bisa, Arina tidak sudi mengesot sampai rumah kali.
Arina menutup mata, merasakan hawa dingin yang menusuk tulangnya. Ia jadi teringat Brownie. Anak ayamnya itu dia tinggal di rumah dan belum makan siang. Bagaimana jika ia belum bisa pulang hari ini? Bisa-bisa Brownie mati karena kelaparan. Semoga saja Brownie tahu cara membuka kandangnya dan keluar mencari makan sendiri. Meski Arina tahu itu mustahil.
Arina menghela napas panjang. Kota ini sungguh sepi. Padahal biasanya di jam-jam seperti ini jalanan yang ia pijaki akan sangat ramai oleh kendaraan. Suara bisingnya pun kadang membuat Arina ingin menenggelamkan kepalanya di air. Tapi ini? Tak ada suara apapun yang ia dengar. Hanya suara dedaunan yang berterbangan dan deru angin yang kencang.
Sayup-sayup Arina yang masih menutup mata mendengar sebuah suara. Tapi ia masih ragu suara apa yang ia dengar. Dia mencoba menajamkan pendengaran. Semakin lama suara itu semakin kencang, seperti mendekat. Arina tahu itu suara apa. Itu raungan mesin motor. Lama kelamaan suara itu mengencang dan serasa tepat di sampingnya. Apa itu Brownie yang sedang menjemputnya?
Arina memukul kepalanya pelan. Gara-gara kesepian dia jadi mulai tidak waras. Anak ayam naik motor? Jangan gila, Arina.
Suara motor itu berhenti, seperti dimatikan. Suara langkah sepatu seseorang terdengar. Langkah itu terdengar berjalan menuju ke arahnya.
Sejak kapan Brownie punya kaki, ya? Arina lagi-lagi memukul kepalanya pelan. Rasanya ia tidak bisa berhenti memikirkan hal-hal aneh dan konyol sedari tadi.
Suara langkah kaki itu berhenti. Arina rasa ada seseorang berdiri di sampingnya.
"Hai."
Deg. Arina rindu suara itu. Suara yang sejak kemarin belum ia dengar. Suara manusia yang sejak dua hari ini ingin sekali ia dengarkan. Tapi tunggu-tunggu, apa Arina berhalusinasi?
"Brownie, sejak kapan kamu bisa ngomong bahasa manusia?" Pertanyaan bodoh macam itulah yang malah keluar dari mulutnya. Arina memang sudah gila sekarang.
"Aku Biru, bukan Brownie."
Arina tertegun sejenak. Ha? Maksudnya?