Xue Shan Shan masuk ke dalam sambil ngomel, "Kau cepat pergi, aku muak melihat tampang mu dan aku banyak urusan yang lebih penting dari pada berurusan soal gadis sinting itu!"
Xue Shan Shan pun menutup pintu kamarnya keras-keras. Bibi yang baru saja mengantar air minum jadi kaget sendiri, hingga nampan yang di bawahnya bergetar dan cangkir yang berisi teh hangat itu ikut bergoyang. Han Shan Yan yang melihat itu segera menghampiri bibi dan cepat mengambil angkir itu. Bibi menganguk lalu pergi masuk ke arah belakang menuju dapur.
Han Shan Yan menghirup teh hangat itu perlahan. Dan mendekati kamar Xue Shan Shan. Ia ingin mengetuknya, tapi baru saja selangkah Xue Shan Shan sudah keluar dengan wajah cemberut, terus pergi meninggalkan Han Shan Yan.
"Mbok…! Kunci semua pintu nanti, kalau lelaki ini sudah keluar dari rumah ini…!" Xue Shan Shan lalu terus keluar.
Han Shan Yan menaruh cangkir tehnya di meja untuk mengejar Xue Shan Shan dan coba menahannya, tapi Xue Shan Shan menghentakkan tangan Han Shan Yan yang memegang lengannya.
"Lepaskan aku! Nanti aku teriak loh…!" kecam Xue Shan Shan.
Xue Shan Shan pun melotot dan pergi. Han Shan Yan hanya bisa menarik nafas panjang dan bergeleng kepala lemah. Kemudian ia pun pergi tanpa mengatakan apa pun lagi.
***
Mobil Han Shan Yan berhenti di luar pintu. Mula-mula Han Shan Yan enggan masuk. Pintu pagar rumah besar itu sangat tinggi dan besar. Ada tulisan "Bel" di tembok pagar sebelah kiri, berdampingan dengan tulisan "Awas ada anjing" di sebuah papan bergambar anjing helder. Rumah itu sangat besar sekali dan mewah. Ada sepuluh lampu tanaman yang menghiasi halaman depan yang penuh di tumbuhi tanaman perdu dan bonsai yang tampaknya di pelihara secara khusus. Han Shan Yan turun dari mobilnya dan kemudian memencet bel. Seorang lelaki setengah tuar keluar menyebrangi halaman yang luas itu.
"Cari siapa?" lelaki tua itu bertanya dari balik pagar.
"Zhou Cheng Cheng!" jawab Han Shan Yan.
"Lu hamang lai (Anda siapa)?" terdengar logat hokkiennya di suara lelaki itu.
"Han Shan Yan…" jawab pemuda itu.
"Oh…" lelaki itu pun segera mengambil kunci dari saku kuncinya dan membuka gembok besar di tengah pintu pagar itu. "Sudah di tunggu non…" sambungnya. "Bawa saja mobilnya masuk, Tuan."
Han Shan Yan menstater mobilnya dan masuk menyebrangi halaman yang indah. Di teras yang luas bertrap sepuluh, Zhou Cheng Cheng telah menantinya dengan tersenyum manis sekali.
"Kok?" Han Shan Yan terheran-heran sendiri.
"Kau datang tepat waktu. Jam tujuh!" ujar Zhou Cheng Cheng.
Han Shan Yan pun tersenyum, ia suka kelakar Zhou Cheng Cheng. Apalagi senyumnya. Lesung pipi itu benar-benar membuat Han Shan Yan terkesima.
"Kita duduk di teras saja, ya?" Zhou Cheng Cheng mengenakan gaun jingga dengan aplikasi merah darah di lehernya. Kalung manik-manik kuning di lehernya yang jenjang itu menambah serasi busana yang di kenakannnya.
"Bukan main." pikir Han Shan Yan. "Tinggi juga selera anak ini."
Teras rumah ini sangat indah. Empat buah pilar besar menyangga atapnya. Ada empat pasang tempat duduk indah di teras yang luasnya dua kali lapangan volley itu. Lampu-lampu hias bergantungan di langit-langit memancarkan cahaya redup ke seluruh ruangan. Dua buah pintu besar begaya Eropa menghubungkan teras dengan ruangan dalam. Di bawah setiap pilar ada pot keramik besar dengan tanaman pama di atasnya. Di dinding kiri ada lukisan besar menggambarkn lautan yang sedang mengganas di malam hari. Untuk beberapa waktu mereka saling berdiam diri. Han Shan Yan tak tahu mau bicara apa. Suasana teramat mewah yang di temuinya di rumah besar itu membuatnya merasa kecil. Apalagi di depannya Zhou Cheng Cheng tampak begitu anggun dan penuh wibawa. Han Shan Yan benar-benar merasa kerdil.
"Kok diam saja?" tiba-tiba Zhou Cheng Cheng membuka percakapan, menguak keheningan. Dari dalam rumah samar-samar terdengar suara music instrumental.
"Ngeri…" jawab Han Shan Yan seenaknya.
Zhou Cheng Cheng tertawa. Ia tidak menyangka akan omongan itu. Zhou Cheng Cheng tahu persis perasaan Han Shan Yan kala itu, tetapi hanya orang jujur saja yang mau mengatakan perasaan hatinya dengan begitu polos.
"Kenapa ngeri? Memangnya wajah ku seperti mak lampir?" tanya Zhou Cheng Cheng.
"Rumah mu besar dan mewah sekali…" berkata begitu Han Shan Yan memutar kepalanya melihat sekeliling. Ada jam kuno berdiri tegak di sudut teras. Jam itu berdentang tujuh kali ketika Han Shan Yan menginjakkan kaki di tangga teras.
"Bukan rumah ku, tapi rumah kakak ku." jawab Zhou Cheng Cheng masih tertawa kecil.
"Kakak mu di mana?" Han Shan Yan menyadari pertanyaan konyolnya itu. "Eh, maksud ku, apakah kakak mu ada di rumah?"
"Sudah setahun mereka di luar negeri." kata Zhou Cheng Cheng. "Aku yang jaga rumah ini…"
"Sendiri?" tanya Han Shan Yan.
"Tentu saja tidak." jawab Zhou Cheng Cheng. "Ada dua tukang kebun, ada tiga pembantu untuk bersih-bersih, empat pembantu untuk masak dan cuci pakaian dan seorang supir buat antar aku ke sekolah."
Han Shan Yan tercengang. Seperti ratu saja gadis ini, pikir Han Shan Yan. Ia menghitung dengan jarinya, dua tambah tiga…
"Semuanya sebelas termasuk aku." Zhou Cheng Cheng tertawa melihat Han Shan Yan menghitung.
"Kok termasuk kamu?" tanya Han Shan Yan.
"Ya. Kan ini rumah kakak ku dan aku menjaganya, jadi, aku ini termasuk pegawai juga kan?" balas Zhou Cheng Cheng balik bertanya.
"Ya… ya…" Han Shan Yan manggut-manggut. "Pegawai tinggi…"
Zhou Cheng Cheng tertawa lepas dan mau tak mau Han Shan Yan ikut tertawa. Diam-diam Han Shan Yan mengagumi barisan gigi Zhou Cheng Cheng yang putih, tersembunyi di balik bibirnya yang sensual.
"Padahal mereka di luar negeri lama." kata Zhou Cheng Cheng seolah-olah tahu apa yang bakal di tanyakan Han Shan Yan. "Kakak ku perempuan sekolah lagi di Australia, sedangkan suaminya punya bisnis di negeri Amerika. Akhirnya mereka memutuskan untuk tinggal di Australia sampai sekolah kakak ku selesai."
"Masih lama?" tanya Han Shan Yan.
"Ya, tiga tahun lagi, kalau semuanya lancar." jawab Zhou Cheng Cheng.
"Mereka tak pernah menjenguk mu di sini?" tanya Han Shan Yan lagi.
"Tidak." jawab Zhou Cheng Cheng. "Sejak mereka pergi setahun lalu, mereka tak pernah menjeguk rumah ini. Cuma surat dan kiriman uang saja yang datang. Tapi memang cuma itu yang penting kan? Tanpa kiriman uang dari mereka bagaimana aku bisa mengurus rumah segede ini?"
***
To Be Continue…
Sampai jumpa di chapter berikutnya…