Sinar matahari menyelinap di antara tirai jendela kamar. Rasa lelah menyergap. Aku ingin berbaring dan bermalasan hari ini. Tanganku menarik kembali selimut dan sepakat jiwa raga hari ini tidak ingin melakukan rutinitas. Aku kembali terlelap.
Getar ponsel di meja membuatku kembali terjaga. Tanganku mencoba meraih dan hampir terjatuh ke bawah. Aku bangun dengan mata setengah terpejam. Kubuka layar ponsel dan melihat panggilan lima kali dari ketiga temanku. Sial, aku hampir lupa, hari ini Rabu dan aku berjanji mengundang mereka untuk merampungkan tugas kampus. Aku bergegas ke kamar mandi karena waktu sudah menunjukkan pukul sembilan dan belum menyiapkan apa pun.
Aku keluar kamar sambil mengeringkan rambut, berniat mencari kunci cadangan rumah di atas meja makan. Ruang makan di rumah baru jadi satu dengan dapur yang memiliki ruang terbuka langsung mengarah ke kolam renang. Kunci tidak kutemukan di atas meja. Aku mencoba mengingat di mana terakhir kali kuletakkan.
Aku cukup tergesa-gesa serta melempar handuk dan mencari di meja dapur. Aku tertegun. Sebaris makanan ringan dengan berbagai macam jenis berjejer rapi di atas meja yang biasa digunakan Luke untuk meracik masakan. Ada selembar note kuning kecil yang aku hafal sebagai tulisan Luke.
Aku pergi dulu.
Camilan dan bahan makanan ada dalam kulkas.
Jangan kebanyakan makan mie instan, order online aja.
Uang saku sudah aku transfer.
Be good!
Luke tidak ada di rumah? Pergi kemana? Selama enam bulan dia tinggal bersamaku tidak pernah pergi sendiri. Walaupun hatiku diliputi pertanyaan tapi aku memekik girang, ini berarti saat temanku datang dia tidak akan mengganggu.
Langkahku terasa ringan dan riang menuju ke depan, kubuka lebar-lebar pintu masuk juga pagar.
Aku mengirim pesan kepada mereka bertiga. Hatiku berbunga-bunga, membayangkan akan melewatkan hari tanpa Luke. Jam sepuluh lewat ketiganya tiba. Kami segera menikmati masa santai dan merampungkan tugas sambil bercanda.
Jam satu lewat kami sudah selesai dan Maya berinisiatif untuk memesan makanan lewat aplikasi online.
Kami menunggu sambil melihat Bian yang berenang dengan semangat.
"Rie, gimana rasanya tinggal sama Om yang super ganteng kayak Luke?" tanya Puri iseng.
"Ganteng? Masak muka sinis dan sadis gitu ganteng, parah kalian," sahutku geli.
"Astaga Rie, kamu nggak paham cowok ganteng ya. Semilyar cewek di dunia ini juga setuju kalo Luke adalah lelaki sempurna baik fisik maupun karakter," seru Maya tidak terima.
"Dia om kandung kamu ya Rie? Kok nggak mirip sih," tanya Bian ikutan nimbrung. Aku mengedikkan bahu. Hatiku cukup berdebar.
"Tau deh, tapi dia bukan om kandung. Dia sepupu jauh Mama. Baru ketemu juga setelah aku besar," sahutku gugup karena harus berbohong.
"Wah kalo nggak kandung berarti boleh tuh kamu nikah sama dia," seru Puri yang terkenal dengan ucapannya yang tidak tersaring, aku jengah mendengar celoteh Puri.
"Enak aja, tidak akan," kelitku sambil memalingkan mukaku yang mulai memerah.
"Kalo nggak mau ya biar buat aku," goda Maya semangat. Dibalas sorak oleh Bian dan Puri. Aku tertawa dan melempar Maya dengan keripik.
Sekilas aku melihat Bian sering mencuri pandang ke arahku. Aku menanggapi dengan senyum dan tertunduk malu. Sebagai gadis berusia dua puluh tahun aku tidak pernah memiliki pengalaman sedikit pun dalam hal romantisme. Kedua kakak kembarku terlalu protektif dan mengingatkan aku untuk selalu fokus pada akademis. Tidak jarang mereka mendukungku dengan mengantar setiap saat ke perlombaan cerdas cermat.
Jika mengingat mereka aku kembali merasa kesepian dan rindu. Alangkah indahnya hidupku dulu. Memiliki orangtua yang penuh kasih sayang, juga abang yang melindungi dan mendampingiku setiap saat. Sembilan belas tahun kujalani hidup impian setiap anak di dunia. Kemudian hancur saat Mas Andre dan Mas Andri meninggal dalam kecelakaan. Disusul lima bulan berikutnya Mama dan Papa beserta om dan tanteku yang juga kecelakaan setelah menghadiri peresmian kantor Papa yang baru.
Terdengar seperti terjadi hanya dalam dunia sinetron. Tapi inilah kenyataan hidupku. Aku menyusut air mata diujung mataku. Bian terlanjur melihat, sementara Puri dan Maya sedang asyik mencari film di televisi.
Bian menggeser duduknya untuk mendekat.
"Gue kehilangan nyokap waktu umur sebelas tahun, gue tau rasanya Rie," bisik Bian serius. Aku menunduk.
"Maaf, aku nggak tau," tanggapku turut prihatin. Bian tetap diam dan tidak tersenyum.
"Kehilangan yang tidak bisa …."
"Digantikan," kami mengucapkan kata terakhir bersamaan dan berpandangan.
"Jangan sedih lagi, kan ada kami sekarang," kata-kata Bian menyita perhatian Maya dan Puri, mereka berdua menoleh dan memandang kami berdua.
"Kita akan saling support dan dukung," seru keduanya. Aku mengangguk dengan haru. Terima kasih Tuhan, bisikku dalam hati.
Menjelang sore pukul tiga, mereka bertiga pamit. Aku mengucapkan terima kasih dan meminta mereka untuk kembali kapan pun mereka mau. Sepeninggal mereka aku kembali sendiri. Tapi beban hatiku sedikit terangkat. Rasa optimis akan masa mendatang yang lebih menyenangkan membuatku bersemangat. Aku mulai membereskan rumah dan menyapu lantai. Setelah semua rapi aku bergegas mandi sambil menunggu Luke pulang.
Aku tertidur di sofa depan TV, aku membuka layar ponsel, jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Aku menebarkan pandangan ke seluruh rumah dan baru sadar, Luke belum pulang. Aku berjalan menuju kamar Luke, masih terkunci dan lampu tidak menyala. Terbersit rasa khawatir yang akhirnya kutepis jauh-jauh. Tidak mungkin Luke dalam bahaya, dia adalah bahaya itu sendiri. Tidak mau menunggu lama aku menuju kamar dan tidur.
Aku terbangun pukul enam. Entah apa yang menyebabkan aku tidak nyenyak tadi malam. Kubuka semua pintu dan jendela lebar-lebar. Aku memotong mangga dan apel. Tanpa sadar menyantapnya dengan yogurt kesukaan Luke. Aku tertawa dalam hati membayangkan muka Luke yang geram karena yogurtnya berkurang.
Rasa penasaran akan suksesnya Luke bisa belajar memasak via youtube membuatku menjadi tergelitik ingin mencoba. Aku mulai berburu resep demi resep dan memilih menu termudah. Kuperiksa semua bahan di kulkas dan ada semua. Penuh semangat aku memasak ayam panggang. Cukup lama aku memeriksa satu persatu bumbu, ternyata sangat merepotkan. Semua nama terlihat asing bagiku. Tapi karena ingin membuktikan kepada Luke bahwa aku bisa, maka aku bulatkan tekad dan merampungkan ayam panggangku.
Kembali kulirik jam di dinding, sudah pukul satu siang, dan perutku mulai kelaparan. Aku tidak mau menyentuh ayam buatanku karena ingin memamerkan kepada Luke. Akhirnya mengalah dan kumasak mie instan. Kusesakkan bekas bungkus mie instan ke dalam tempat sampah karena takut ketahuan Luke.
Aku kembali menghabiskan waktu menonton film di TV hingga tertidur.
Suara petir yang menggelegar membangunkan aku. Sudah jam dua belas malam lebih. Aku berlari mengunci pintu depan dan menarik pembatas kaca antara ruang dapur dan kolam renang. Aku basah kuyup karena angin yang menderu kencang menerpa ke dalam rumah.
Aku menghilangkan rasa gengsi dan menelepon Luke. Tidak ada nada tersambung. Ponselnya tidak aktif. Aku mulai panik. Ada apa dengan Luke? Aku ingin menelepon Maya dan Puri tapi sudah terlalu malam, takut mengganggu. Setelah menimbang-nimbang aku mencoba menghubungi Bian. Nada tersambung kedua langsung diangkat. Aku menceritakan dengan singkat tentang Luke yang belum kembali. Bian langsung menunjukkan simpati dan berjanji datang.
Setengah jam kemudian Bian tiba. Aku berlari keluar dan membuka pintu pagar. Bian muncul dari balik jendela mobil yang terbuka sedikit memberiku isyarat untuk segera masuk mobilnya.
Kami menyusuri sepanjang jalan yang aku tebak akan menjadi lokasi Luke. Semua tempat telah kami kunjungi, Luke tidak ada di mana pun. Aku mulai gelisah. Hasilnya tetap sama. Nihil.
"Rie, udah jam empat pagi. Kita pulang?" kata Bian hati-hati. Aku mengangguk. Baju kami berdua basah kuyup karena hujan. Gerimis masih cukup deras. Pukul lima kurang kami tiba di rumah. Bian mengantar hingga pintu pagar, aku mengucapkan terima kasih dan berlalu masuk. Saat aku mencoba memasukkan kunci pintu terbuka, aku tertegun. Kubuka pintu pelan, dan masuk perlahan.
Aku memasuki ruang tamu tanpa suara, lampu ruang makan tampak menyala. Rasa takut mulai menyelinap, tapi aku harus memberanikan diri. Saat memasuki ruang makan aku melihat sosok yang kukenal duduk di meja makan sedang menuangkan botol whisky di perutnya yang berdarah dan terluka. Air mataku mengalir tanpa bisa kutahan, rasa jengkel, marah dan lega bercampur jadi satu.
"Luke …," panggilku terbata. Pria itu terkejut dan menutup lukanya dengan lap makan tanpa terlihat gugup.
"Hai Rie, kamu darimana," tanyanya dengan riang tanpa beban walaupun di ujung bibirnya terlihat menahan sakit. Aku tidak menjawab tapi kusingkirkan tangannya dari perut Luke. Luka seperti bekas bacokan menganga lebar sekitar sepuluh senti. Aku menatap Luke dan berteriak penuh amarah.
"Kalo kamu mau mati dan pergi, lakukan sekarang dan jangan pernah kembali!!!"
Aku jatuh terduduk dan menangis sejadi-jadinya sambil memukul kaki Luke.
Luke tersenyum kemudian menenggak whisky,
"Tenang aku nggak akan mati, tidak hari ini," lanjutnya sambil menghabiskan isi botol whisky.
"Terus ini apa?!" aku bangkit membuka baju Luke dan terhenyak, luka itu hilang. Tadi luka itu masih terbuka dan mengeluarkan darah berwarna hitam, sekarang hilang tidak berbekas. Hanya sisa darah yang membasahi kulitnya.
Aku memeluk Luke. Tidak perduli jika dia terkejut dan tidak menyangka. Kurasakan tangan kekar Luke melingkar di pinggang.
"Jangan pergi lagi Luke …," isakku dalam tangis.
"Maaf Rie, semoga ini yang terakhir," bisik Luke lembut.
Oh Tuhan maafkan aku. Biarpun iblis tapi dialah yang datang di saat aku membutuhkan bimbingan dan arahan untuk menjalani hidup. Aku butuh Luke!