Pagi-pagi buta suara Maya sudah berteriak dari luar pagar. Gadis cantik berkulit putih itu datang menenteng tas yang lumayan besar. Bian menggaruk kepalanya kesal dan setengah hati membuka pintu. Aku muncul dengan mata mengantuk.
"Maya! Ini kepagian!" seruku tidak terima.
"Eh, kata mama anak gadis nggak boleh bangun siang, ntar rejekinya kepatok sama ayam. Lagian mendingan kecepetan daripada terlambat," bela Maya sambil melenggang ke dapur dan menyalakan teko pemanas air.
"Siapa mau kopi, teh?" tawar Maya. Aku mengangkat tangan dan masuk ke kamar untuk mandi. Bian kembali menarik selimutnya dan melingkar di sofa.
Ternyata bukan hanya Maya yang bersemangat, Puri dan Panji tiba lebih awal pagi itu. Untung aku sudah rapi dan bersiap-siap. Bian masih duduk mengumpulkan nyawanya, begitu Maya datang membawa kopi, langsung disikat hingga setengah cangkir.
Panji mengatur bagasi mobil supaya semua tas masuk. Aku memberi sepasang baju kepada Bian.
"Pake ini aja, punya Luke, kamu kan belum ganti baju dari kemaren," kataku sembari meletakkan peralatan mandi untuknya.
"Kamar diujung kosong, kamu bisa mandi disana," tunjukku. Bian bergegas mandi karena yang lain sudah bersiap. Aku pun sibuk mengisi beberapa botol minum dan menaruhnya di mobil.
Tidak lama kemudian kami siap meluncur menuju ke Sleman. Beruntung kami pergi pagi, di musim liburan seperti ini pasti banyak yang ingin mengunjungi candi terbesar di dunia, Borobudur. Rumah yang kami tuju tidak jauh dari lokasi candi. Panji memiliki ingatan yang tajam, dengan mudah kami menemukan rumah si bandot tua, julukan Puri untuk iblis itu.
Rumah itu sangat besar dan mewah. Dua patung goblin bersayap menghiasi gerbang masuk. Dari luar rumah itu sepi, tapi mobil yang terparkir di dalam menandakan bahwa pemilik rumah ada di rumah. Panji menekan bel masuk dan menunggu beberapa saat dengan sabar.
Seorang wanita paruh baya mengintip dari balik pagar.
"Sinten nggih, badhe madosi sinten mas," tanyanya sopan. (siapa ya, mau cari siapa?)
"Bapak wonten bu?" jawab Panji spontan (Bapak ada bu?), berhubung lupa nama si bandot. Dengan polosnya wanita itu mengiyakan dan mempersilahkan masuk.
Kami dipersilahkan untuk duduk di teras. Sungguh manusia jadi-jadian ini sangat kaya raya. Tidak berapa lama, lelaki yang berusia hampir mendekati enam puluhan keluar. Wajahnya tidak terlihat terkejut sedikit pun.
"Oh kalian, mari masuk supaya enak ngobrolnya," ajak si bandot sembari masuk ke ruang tamu.
Kami mengikutinya dengan waspada. Ruang tamunya juga tidak kalah mewah, rupanya sangat royal sekali si bandot ini dalam menikmati hidup.
"Puri ya? Apa kabar, kok tumben datang kesini," senyumnya menyeringai licik. Pandangan matanya terlihat liar menatap satu persatu dari kami yang mungkin menurut dia mangsa empuk.
"Bapak kenal dengan Luke?" tanya Puri tanpa basa basi. Begitu mendengar nama itu bandot tua tersentak. Wajahnya berubah menjadi bengis dan kejam.
"Jadi Luke mengirim kalian kesini?" tanyanya dengan suara serak dan parau.
"Ya, sebenarnya atas kepentingan apa sih sampe Luke mengejar bapak?" tanya Panji, lelaki itu tertawa.
"Hohoho, berarti Luke tidak menjelaskan kepada kalian?" tanya merasa menang.
"Luke … Luke, sulit melupakan masa lalu," kembali manusia siluman itu tertawa lepas. Kami menjadi semakin tidak sabar.
"Ini sangat menarik, kalian datang tanpa mengetahui cerita sesungguhnya," kekeh iblis itu sambil berdiri dan bersiap meninggalkan kami. Dengan cekatan Panji melesat dan mencengkeram leher iblis itu. Tidak menyangka bahwa yang datang bukan manusia biasa, iblis tua itu kewalahan dan tidak bisa bergerak dengan totokan Panji di tubuhnya.
"Ceritakan hal yang kamu ketahui dan akan kubuat lebih mudah," ancam Panji. Iblis tua itu tidak berdaya, tubuhnya tergeletak di sofa dengan kaku. Puri mulai menggumamkan ayat-ayat doa.
"Baik … baik, aku akan ceritakan, tapi lepas dulu totokanmu dan hentikan doamu!" pintanya dengan muka licik.
"Tidak ada tawar menawar, kesempatanmu habis. Luke akan segera kesini." Panji menurunkan kakinya dari atas tubuh si iblis dan menuju ke kursi untuk duduk kembali, sontak iblis itu ketakutan.
"Baiklah, akan kuceritakan semua!" teriaknya panik, kami tersenyum dan menunggu.
"Dulu Luke pernah memiliki hubungan dengan seorang manusia, gadis keturunan Kerajaan Padjajaran. Sayangnya, keduluan aku, he he he, gadis itu terbujuk olehku dan menjadi tumbalku, ha ha ha ha," iblis itu tertawa tidak terkendali. Aku tertegun, antara tidak percaya dengan cerita iblis di depanku.
"Luke murka dan mengutukku menjadi orangtua bertampang jelek seperti sekarang. Tentunya aku tidak membiarkan dia lari begitu saja. Kusebarkan rumor tentang hubungan terlarangnya. Kesalahan itulah yang membuatnya menjadi malaikat terbuang, 2000 tahun yang lalu dan dia masih mengingatnya …." Iblis tua itu mengakhiri ceritanya dengan senyum kemenangan.
Entah kenapa aku merasa tidak nyaman dengan cerita tentang wanita itu. Dia yang membuat Luke jatuh cinta pada dunia dan memilih untuk datang kembali. Berapa ribu tahun telah berlalu, dan Luke masih menyimpan dendam itu. Pasti itu cinta yang sangat berkesan. Aku belum pernah merasakan cinta yang seperti itu. Aku berlari keluar karena tiba-tiba merasa sesak.
"Riona …," kejar Maya. Aku tidak menghiraukan panggilannya. Aku berusaha menenangkan hati yang berdebar tidak karuan. Tangan Maya menangkapku, dan langsung menarik ke belakang mobil.
"Rie …, dengarkan aku," panggil Maya, aku memandangnya dan menggelengkan kepala.
"Jangan percaya pada iblis itu. Mulutnya pasti banyak bohongnya. Ok? Aku ngerti yang kamu rasakan." Aku memeluk Maya dengan erat.
"Aku sudah tahu perasaanmu, Rie. Kamu pun tidak bisa mengingkari," bisiknya. Aku tidak memberikan suaraku. Maya mengajakku masuk kembali. Bian memandang kami berdua dengan heran.
"Kalian Kenapa keluar? Terus bagaimana dengan siluman yang di dalam?" tanya Bian bertubi-tubi.
"Kami mencoba menelepon Luke tapi belum tersambung, ini mau coba sekali lagi," kelit Maya sambil melirikku memberi isyarat. Aku segera mengambil ponselku dari tas kecil dan menelepon Luke. Terdengar nada sambung. Kami menunggu di luar sementara Bian kembali ke dalam. Luke tidak mengangkat telepon. Sudah kucoba hingga tiga kali dan tetap tidak di angkat.
Aku menggelengkan kepala, Maya menghela napas panjang.
"Bisa nggak ya Puri sama Panji mengatasi iblis tua itu," gumam Maya. Aku tidak mau menunggu lama, segera masuk dan meminta Puri untuk membawa si tua ke Yogyakarta.
"Ri, Luke tidak mengangkat, kita bawa aja dia ke rumah," bisikku. Puri menggeleng dan mengajakku keluar.
"Tidak semudah itu bawa dia. Aku dan Panji tidak sekuat itu. Aku takut dia meloloskan diri lagi," Puri mengatakan dengan sangat pelan. Aku menyandarkan tubuhku lemas. Padahal rencana sudah kami susun dengan matang. Tapi kenapa bisa tidak kepikiran kalau Luke akan sulit dihubungi?
Pembantu si bandot yang tidak tahu apa-apa muncul membawa minuman keluar. Begitu melihat majikannya tergeletak di sofa, tangannya gemetar dan minumannya tumpah semua.
"Pa-pa-pak ke-kenapa i-i-ini?" tanyanya gugup.
"Mbok maaf mohon jangan panik, kami bisa jelaskan," kata Bian mencoba menenangkan. Simbok malah takut dan berbalik lari terbirit-birit. Aku mengirim pesan kepada Luke berharap dia akan menjawab nanti. Situasinya mulai kacau. Panji keluar dengan wajah khawatir.
"Ri, kita gak bisa lebih lama lagi nahan dia," keluh Panji.
"Kita stand by di dalem semua, jadi kalo ada apa-apa kita hadapi bersama," cetusku dan mendahului mereka masuk.
Lima belas menit kemudian iblis tua itu tertawa.
"Kemana bos kalian? Terjebak macet? Atau takut menghadapi aku? Pengingat kenyataannya yang pahit, ha ha ha ...." Iblis tua terus mengeluarkan kalimat penurun semangat. Puri dan Panji berdiri dengan kuda-kuda siaga. Bian berdiri di pintu keluar. Aku dan Lina duduk di sofa seberang iblis terbaring.
Tiba-tiba angin sepoi-sepoi berembus. Puri dan Panji tampak mulai meningkatkan kewaspadaan, kabut tipis berwarna putih agak kebiruan muncul dari lantai pelan namun pasti. Makin lama makin tebal dan naik ke atas. Aku mulai merasa pandanganku berbayang dan kepalaku terasa berat. Ternyata bukan hanya aku, Maya dan Bian juga agak limbung. Hanya Puri dan Panji yang masih tegak berdiri karena mungkin ilmu tenaga dalam yang mereka miliki.
"Rasakan mabuknya asmara dariku he he he." Aku sudah tidak lagi mendengar dengan jelas suara iblis tua yang semakin jauh terdengar. Berikutnya hanya suara Puri menjerit dan Panji mengumpat, disusul Bian berlari ke arahku. Pundakku terasa panas membara kemudian semua menjadi gelap.