Hingga detik jam bekerja berakhir, tidak ada kabar sedikit pun dari Luke. Peristiwa pagi tadi cukup menyita pikiranku. Memang, adalah salah terlalu berharap pada Luke. Dia bukan siapa-siapa, dan aku bukan gadis yang tepat jika membandingkan diri dengan wanita itu. Aku melepas apron dan berkemas pulang, mungkin Luke sudah di rumah dan seperti biasa menggunakan bujuk rayunya untuk meminta maaf atas perlakuannya pagi tadi. Tapi aku pun tidak mau terlalu berharap. Dia adalah iblis yang kebetulan membutuhkan aku, dan sialnya, aku juga membutuhkan dia. Oh Tuhan, bantu aku supaya tidak memiliki perasaan aneh terhadap Luke.
Bian datang kembali untuk menyelesaikan pemasangan billboard baru kafe. Dia terlihat sibuk dengan pekerjannya. Jam menunjukkan pukul delapan lebih, dan mulai gerimis. Aku tidak ingin mengganggu. Melihatku melangkah keluar pintu karyawan, Bian berteriak dari atas.
"Rie, sudah mau balik? Aku anterin?" tawarnya, aku bimbang, hujan akan cukup deras dan angkot mulai jarang. Aku mengangguk.
Bian merapikan pekerjaan dan membiarkan stafnya melanjutkan.
"Panji?" tanya Bian.
"Masih hitung penjualan," jawabku.
"Aku cuci tangan dulu," pamitnya. Aku menunggu Bian sambil memeriksa ponsel. Masih tidak ada satu pun pesan dari Luke. Bahkan saat kucoba menelepon, tidak aktif. Jalanan mulai sepi. Jarum jam bergeser mendekati angka sembilan. Bersyukur aku mengiyakan tawaran Bian.
Kami meluncur dengan motor sport milik Bian membelah malam. Begitu sampai di rumah, garasi masih kosong. Hujan turun dengan deras dan aku menawarkan Bian untuk berteduh terlebih dahulu. Tidak ada pilihan, dia pun masuk.
Aku membuat kopi untuknya. Bian membantuku menutup pembatas lipat di ruang keluarga yang menghadap kolam renang.
"Luke belum pulang?" tanya Bian. Aku menggeleng, jauh dilubuk hati merasa sangat kecewa. Aku memberikan handuk dan kaos kering.
"Thanks," Bian dengan santai membuka jaket dan kaosnya di depanku. Tubuhnya tampak terpahat sempurna dengan bentuk perut six-pack yang menawan. Inilah yang membuat dia digandrungi oleh kaum hawa. Aku heran, sejak dia putus dengan anak sastra, belum pernah aku dengar lagi dia pacaran.
"Bi, kamu tidur aja di sini kalo masih hujan terus," tawarku. Bian menyeruput kopi dan menggosok tangannya kedinginan.
"Aku nggak mau nyari masalah, Rie. Luke kayaknya nggak suka aku dekat sama kamu," sahut Bian dengan nada ringan. Intonasinya datar dan penuh pengertian. Aku menyadari jika Bian merupakan sosok pemuda yang sangat dewasa dan hangat.
"Luke emang over protektif, Bi. Mungkin karena aku dinilai lemah baginya. Tapi aku juga ingin berusaha untuk mandiri dan kuat. Hanya saja perjanjian yang orangtuaku terlanjur sepakati masih membelenggu hidupku."
Aku mencoba menjelaskan pada pemuda itu sebaik-baiknya. Tidak ingin ada kesan bahwa aku menjadi budak dan peliharaan Luke.
"Ya, paham. Tapi jangan merasa sendiri, ada kami sahabatmu yang tidak akan tinggal diam," ingat Bian kembali. Aku tersenyum hangat.
"Kamu tidur aja dulu, kunci kamar jangan lupa. Nanti jika hujan reda, aku pulang," timpalnya. Aku mengangguk, aduh baik sekali Bian. Tidak tahu bagaimana harus membalas apa. Aku pamitan dan masuk kamar.
Setelah membersihkan diri, aku pun berdoa malam. Baru di pertengahan doa, bulu kudukku berdiri. Perasaanku mulai tidak enak. Perasaan damai yang tadi aku rasakan, berganti putus asa yang melemaskan seluruh tulang dan semangatku.
Aku semakin memusatkan konsentrasi pada Sang Pencipta. Jiwa dan batinku bergolak. Lampu di kamar mulai berkedip cepat. Oh Tuhan, dia datang lagi. Bagaimana mungkin? Sedangkan Luke sudah memberikan mantra perlindungan? Suara mengerikan mulai terdengar dengan jelas.
"Riona, masih ingatkah kau akan kewajibanmu ... he he he he, kemanapun kau lari, akan kukejar ...."
Aku memejamkan mata kuat-kuat. Tapi tidak peduli seberapa besar usahaku untuk tetap teguh, iblis itu mengerti kelemahanku.
"Rie ... ini mas Andre, Rie," rintihan kakakku terdengar sedih dan memilukan.
"Mas ...," bisikku gemetar. Aku tergoda ingin membuka mata.
"Alil, Alil, tolongin mas Andri," suara mas Andri memanggil panggilan sayangnya untukku.
Aku membuka mata, dan tembok dinding kamarku berubah menjadi jendela besar yang memamerkan pemandangan seluruh keluargaku yang sedang dalam keadaan tersiksa. Mereka mengerang, menjerit kesakitan, sementara makhluk yang mirip dengan monster menyiksa berulang-ulang dengan berbagai macam benda tajam.
Aku menjerit histeris, bayangan hitam merayap datang dari atap langit kamar makin lama makin mendekat. Tubuhku membeku, air mataku mengalir tanpa suara. Leherku seperti tercekik. Aku betul-betul diambang kehancuran mental. Pemandangan keluargaku sedang dibantai dan makhluk hitam yang merayap mendekatiku, meluluhkan semua pertahananku. Tidak ada lagi keinginan melawan, apalagi berteriak.
"Menyerahlah, dan bergabunglah dengan keluargamu Riona. Apa gunanya hidup tanpa mereka," suara penuh rayuan kelam bergema di kamarku.
Braaak ....
Pintu kamarku ditendang hingga hancur berantakan.
"Astaghfirullah ..., Rie!" Bian berteriak kalut, dia berlari memelukku dan langsung menggumamkan doa, ayat-ayat suci.
'Alloohu laa ilaaha illaa huwal hayyul qoyyuum, laa ta'khudzuhuu sinatuw walaa naum ...'
Bian terus mengumandangkan doa. Sambil menepuk pipiku. Belpeghor terhempas dan mengeluarkan suara melengking.
"Rie bangun, ayo berdoalah bersamaku," ajak Bian. Aku tersadar dan saat melihat Bian yang gigih, perlahan mulai timbul semangatku.
'Bapa kami yang ada di dalam surga, dimuliakanlah namaMu ...,' lirih kudengungkan doa, lama kelamaan aku semakin kuat dan yakin. Dengan bersahut-sahutan, aku dan Bian mengumandangkan doa. Iblis tersebut mulai kewalahan.
Amarahnya mulai bangkit. Dia memporak porandakan kamarku. Tapi kami berdua tahu bahwa doa yang kami lantunkan melemahkan dia. Bian menarikku keluar kamar dan terus mengajakku ke arah pintu depan, begitu sampai di ruang tamu iblis itu mencegat kami. Tubuhnya tinggi besar dan hitam bertanduk, sementara matanya merah membara. Bian mengambil tindakan yang sangat berani, dia mengajakku duduk di ruang tamu dan terus berdoa tiada henti.
"Kita kalahkan dia, dengan cara kita sebagai manusia, iman," bisik Bian. Aku meremas tangannya penuh keyakinan. Entah mungkin cara Tuhan mendengar doa kami dan mengirim dia dengan cara yang istimewa, atau karena kebetulan saja, Luke datang dan langsung menghantam Belpeghor dengan sinar putih menyilaukan.
"Nomine exercituum vade!" (Atas nama Sang Pencipta Agung, enyahlah!) Suara raungan mengerikan dan memilukan bergema, kemudian hilang lenyap. Luke berdiri tegak memandang kami berdua.
"Kenapa mantra pelindungnya hilang, apa yang telah kalian lakukan!" teriaknya murka. Aku terkejut tidak menyangka akan dituduh demikian keji oleh Luke. Bian langsung menunjukkan muka tersinggung.
"Gue nggak sekotor yang loe pikir Luke!" bantah Bian geram dan rahang mengeras.
"Kenapa kau ada disini malam-malam?!!" tuding Luke dengan mata menatap tajam.
"Kenapa?! Kau bilang mau melindungi dia, tapi kau asyik dengan urusanmu sendiri! Kemana kau selama ini?! Di saat dia diserang Behlal, saat dia hampir jadi tumbal Belpeghor, kamu dimana??!!" teriak Bian tidak kalah keras dan menunjuk dada Luke dengan emosi.
Luke diam rahangnya mengeras. Tangannya terkepal.
"Aku bisa menghancurkan mulut lancangmu dengan sentilan jariku," ancam Luke dengan suara bergetar.
"Silahkan! Gue nggak takut!" tantang Bian.
"Hentikan! Konyol tau nggak!" Jeritku. Keduanya terdiam tapi saling memandang penuh emosi.
"Bian, tolong, pulanglah. Kita bahas ini besok?" pintaku terdengar lelah.
Bian tidak menoleh. Dia menyambar tas dan kunci motornya.
"Kalo loe nggak bisa melindungi dia, biarin yang lain ikut campur!" sindir Bian sambil berlalu.
Aku merebahkan diri di atas karpet, diantara kepingan kaca.
Luke masuk ke dalam dan duduk di sofa.
"Aku terlambat pulang," lapornya. Aku tidak peduli lagi. Bayangan keluargaku yang terjebak dengan iblis menguasai pikiranku.
"Rengganis tidak mau melepas kutukan mantranya ...," langsung kupotong kalimatnya.
"Aku tidak peduli lagi Luke!" seruku dengan dingin.
"Aku memiliki masalah sendiri, dan aku tidak sanggup memikirkan masalahmu lagi, semua di luar kapasitasku" tegasku.
"Rie ...," panggil Luke.
"Kamu panggil kami sombong, egois, perusak, tidak tahu diri, tapi kamu lupa Luke, manusia punya yang kalian tidak miliki. PILIHAN. Ya, kami bisa memilih takdir kami. Dan aku punya kebebasan untuk memutuskan!" kata-kataku membungkam Luke
.
"Dan jangan sebut nama perempuan itu lagi di rumah ini!" teriakku dingin.
Aku bangun menuju kamarku. Semua barang berjumpalitan tidak karuan. Oh bagaimana aku beresin ini semua? Aku besok harus masuk pagi. Kepalaku berdenyut hebat. Kusambar bantal dan selimut, dan tidur di ruang keluarga. Luke masih terduduk di sofa ruang tamu. Entah apa yang dipikirkan. Langkah Luke terdengar mendekatiku, kutarik selimut ke atas.
"Jika ada apa-apa denganku, tunggulah aku terus di rumah ini, aku pasti akan kembali."
Aku diam tidak merespons kata-katanya. Luke tidak berkata lagi, dia melangkah masuk ke kamar.