Chereads / Riona / Chapter 20 - Fight Back

Chapter 20 - Fight Back

LEMBAH RATAPAN

Tubuh Luke masih terikat ditiang dengan rantai besi tajam melingkar dari ujung kaki hingga kepala. Bulgur mondar-mandir dengan wajah gelisah. Lembah itu tampak lembab dan kotor. Suram dan redup di mana pun tempat lembah tersebut. Hanya sinar merah yang agak menghitam menjadi penerangan tempat terkutuk itu. Jerit tangis bergema dari ujung ke ujung, menyebar disegala penjuru. Aura keputusasaan menguasai seluruh penghuni yang terhukum. Sebuah siksaan yang abadi, bagi jiwa yang tidak terampuni.

Gaungan seperti bunyi gunung meletus menggelegar dan menggetarkan tanah lembah ratapan. Bulgur langsung waspada walau tubuhnya tampak gemetar, sementara keempat anak buahnya mengkerut berlindung di belakangnya.

"Dia telah datang," bisik Luke sambil tersenyum. Dentuman kaki mengguncang siapapun yang berada di lembah ratapan tersebut. Abaddon muncul. Tubuhnya menjulang tingi dan maha besar dengan kulit di sekujur tubuhnya berwarna biru gelap kehitaman. Sayap hitamnya membentang gagah dan menutupi hampir seperempat lembah. Wajahnya terlihat bengis dengan tanduk mencuat dan mata memerah. Semua tertunduk ketakutan.

Saat tiba di depan Luke, Bulgur sontak menjatuhkan diri dan tersungkur, iblis itu kehilangan nyali.

"Qui custodit per tumorem animi mei ducem hic?" teriaknya murka.

(siapa yang lancang menahan panglima besarku di sini?).

"Ne irascaris, Domine mi rex, haec est falsa." jawab Luke menenangkan Abaddon. (Jangan murka wahai rajaku, ini hanya salah paham).

Tidak mau membuang waktu Luke menceritakan semua yang telah terjadi termasuk rencananya.

Abaddon, sang penguasa kedua dunia maut setelah Lucifer mendengarkan dengan tidak sabar. Sifatnya sebagai penghukum utama tidak pernah kompromi dan tegas, tidak berbelok ataupun ingkar. Dialah penghukum sejati, si malaikat jurang maut. Luke menunggu hingga Abaddon menyetujui.

"Ego non exspectare ut, tua solve problems hic capere duorum regum perfidorum daemonium et reversus veni ad me. Et restituet te fortitudinem," ujarnya dengan suara dalam, tegas dan penuh wibawa. (aku tidak suka menunggu, selesaikan masalahmu di sini, tangkap kedua raja iblis pengkhianat itu dan kembali padaku. Kekuatanmu aku kembalikan).

Luke mengangguk hikmat, dan Abaddon pun terbang meninggalkan lembah itu dengan kepakan sayap yang menderu laksana angin topan.

"Kau dengar yang telah Abaddon ucapkan, Bulgur?" seru Luke lantang. Bulgur gugup dan segera mengiyakan. Tanpa berani membantah lagi, iblis itu melesat pergi, memancing Belpeghor dan Asmodeus datang.

"Sabarlah Rie, aku akan segera pulang," bisik Luce penuh kerinduan.

***

The Pain

Bian membanting piala perunggu dengan emosi. Air mataku telah kering. Tidak ada lagi tangisan ataupun ratapan. Semua teredam dalam hatiku dengan rapi. Puri memungut piala itu. Tidak perduli seberapa kuat piala itu dihancurkan atau dibakar, bahkan dengan tenaga dalam Puri dan Panji, tetap utuh bahkan tidak tergores sedikit pun. Tiga minggu telah berlalu, Maktika tidak kembali. Luke hilang jejak. Kami kehilangan harapan dan semangat. Aku memutuskan ingin menyerah.

"Sudahlah, aku akan belajar melupakan. Ini di luar kemampuan kita," ucapku pelan namun terdengar jelas dan aku memang harus belajar ikhlas.

Bian menatapku dari jauh, jarak dari gazebo ke ruang dapur hanya beberapa meter, dan tatapannya terasa menghunjam. Entah apa arti dari tatapannya, namun kalimat berikutnya sangat menghentakku.

"Menyerah? Apa itu caramu menghargai orang yang kamu cintai Brie?" seru Bian sinis.

Puri dan Panji terkejut. Aku tidak bergeming.

"Beneran yang Bian ucapin Brie? Kamu mencintai Luke" tanya Puri. Aku menunduk dan akhirnya mengangguk. Puri memandang Maya yang tampak menghindari tatapannya.

"Kamu tahu May?" tanya Puri dengan lantang. Maya mengangguk penuh sesal. Panji dan Puri duduk terlemas.

"Mulai sekarang nggak ada lagi rahasia antara kita ya!" seru Puri. "Tidak ada lagi kejutan akhir," tegasnya jengkel.

"Kalian tahu yang aku rasakan dulu kan? Rahasia sialhkan, tapi bukan untuk sesuatu yang penting seperti ini!" imbuh Bian dengan senang karena akhirnya mereka memahami keberatannya.

"Termasuk jika suatu waktu kamu memilih Bian, Rie," kata Panji ikut menimpali.

"Mungkin, tapi tidak sekarang," jawabku datar segera bangkit menuju meja makan.

Wajah Bian tampak kecewa dan pemuda itu menggelengkan kepala. Dia bangkit dan menyambar jaket juga ranselnya, tanpa pamit dia melesat pergi. Kami berempat terdiam. Masing-masing menyimpan pikiran tersembunyi.

***

Senin pertama bulan Juli, 2017, aku kembali bekerja. Kesibukan di kafe semakin memuncak. Panji dan Puri, juga Maya berkali-kali meyakinkan apakah aku baik-baik saja, sikapku hanya tersenyum dan tertawa kecil.

Tidak kubiarkan pikiranku melayang dan berakhir dengan kesedihan. Materi mata kuliah dari ibu Ira sebagai bahan untuk mahasiswa baru dan pekerjaan di kafe cukup menyita waktu. Sejauh ini aku masih bisa bertahan.

Pada ujung minggu ini, kafe akan mendatangkan live-music dari grup band kampus untuk penggalangan dana. Aku dan Maya sibuk mendekor kafe, dari poster hingga menata kursi untuk VIP. Tante Laras, ibu Panji, tampak bangga atas kinerja Puri yang berhasil membawa kafenya menjadi daftar tempat nongkrong paling populer dalam dua bulan terakhir. Apalagi penggalangan dana ini akan dihadiri oleh Rektor, Dosen dan juga beberapa pejabat kota Yogyakarta. Pukul tujuh tepat para tamu mulai berdatangan, aku dan tim server sibuk membawa hidangan ke atas meja yang berjumlah seratus orang.

Grup band sudah bersiap di atas panggung kafe. Aku sangat kagum akan kreativitas Bian menggubah sudut kafe menjadi panggung eksklusif.

Hidangan terakhir siap meluncur seiring denting gitar mulai terdengar. Sambil berlalu Puri mencolek tanganku dan menunjuk ke arah panggung. Bian duduk di atas panggung sebagai vocalis dan mulai mengalunkan sebuah lagu yang menghanyutkan.

Aku tertegun. Suaranya yang serak dan merdu menyentuh batinku. Kata demi kata menusuk hati dan membobol pertahanan yang kubangun sebulan terakhir ini. Dengan gamang, aku berjalan keluar kafe. Hujan gerimis turun, aku tidak peduli. Kaki melangkah menelusuri jalan dan air hujan mengguyur tubuhku. Air mata mengalir di antara derasnya gerimis. Tubuhku mulai lunglai, dan aku menjatuhkan diri di tepi trotoar. Tekanan yang berusaha aku lupakan kini mendesak dan berahir menangis pilu. Aku ingin mencurahkan segenap beban terpendam.

Puri dan Maya berlari menyusul dengan payung. Saat mereka ingin mendekatiku, Bian muncul, keduanya urung dan hanya memandang dari kejauhan.

"Ayo pulang," ajak Bian.

Aku menengadah memandang wajahnya.

Lelaki yang bersabar menungguku dalam diam. Pemuda yang memilih untuk mendampingiku dan memastikan tidak ada kata menyerah. Seorang pria yang mengalah, mengesampingkan perasaannya demi menghormati keputusanku. Aku menerima uluran tangannya dan bangun.

Bian naik ke atas motor, aku menoleh ke arah dua sahabatku, Maya dan Puri, keduanya mengangguk. Kupeluk tubuh Bian kuat-kuat, dan kami melaju menembus malam.

***

The Gentleman

Aku merapikan ruang keluarga dan memandang keseluruh ruangan yang luas tak bersekat. Ruang makan dan dapur juga tampak bersih tertata. Hari libur yang akan kupergunakan untuk merapikan rumah yang cukup lama tidak tersentuh. Mataku terhenti di pintu kamar Luke. Ingin melangkah ke sana tapi ada ragu yang menyergap. Selama kami tinggal bersama, aku belum pernah masuk ke kamarnya.

Harusnya aku bisa menyadari sejak awal, bahwa Luke tidak pernah berniat buruk. Tidak pernah dia kurang ajar, dan tak pernah juga sekalipun aku memergoki dia bersama perempuan.

Akhirnya aku mendekati pintu itu. Pintunya terbuka dan aroma vanila khas Luke tercium dari dalam.

Kamarnya sangat rapi. Jariku membuka lemari bajunya dan kutelusuri pakaian yang tersusun apik. Bulir hangat meluncur tanpa terasa.

Aku menuju meja samping tempat tidur. Aku menarik laci dan sebuah buku diari berwarna hitam di dalamnya. Tanganku gemetar menyentuh sampul buku. Aku duduk di tempat tidur Luke dan membuka diarinya. Lembar pertama hanya berupa tulisan perjalanannya di tahun pertama menginjakkan kaki di bumi. Membaca tulisan Luke lembar demi lembar cukup menghiburku. Membayangkan wajahnya pasti serius saat menulis ini. Hingga tiba di pembatas buku warna kuning. Hatiku berdebar kembali. Bibirku membisikkan namanya.

18 Februari 2016

The feeling is forbidden.

But i can't resist.

I won't fall to the same temptation.

But her pure heart put me in prison.

Forgive me Magna Patris.

This feeling is getting strong.

Riona Nataline ...

Aku tersenyum dan tersedu dalam diam. Oh Tuhan, dia sudah mencintaiku sejak lama. Tapi tidak pernah kusadari. Apapun bisa dilakukannya untuk memikatku, tapi dia menunggu hingga aku menyerahkan hatiku sendiri.

Sampai kapan aku harus menunggumu Luke? Dua bulan sudah berlalu.

"Rie," panggil Bian sudah berdiri di pintu kamar. Tidak bisa kusembunyikan air mata ini lagi. Tatapan Bian tidak terkesan menghakimi, dia hanya memandangku dengan sedih.

"Kamu sudah makan? Aku bawa kwetiau goreng kesukaanmu," ucapnya lembut. Aku mengangguk dan mengikuti ke ruang makan.

Bian bercerita ringan dan tidak menyinggung apapun tentang kejadian barusan atau tadi malam. Aku menikmati caranya bercerita yang dibuat lucu. Tanpa sadar aku memandang Bian dengan kagum. Bagaimana seorang lelaki menarik seperti dia memilih menghabiskan waktunya dengan gadis cengeng yang hatinya milik orang lain?

He is a real gentleman. Oh Bian, seandainya kamu adalah pemilik hati ini, betapa beruntungnya aku.