Senin ini adalah hari pertamaku menjalani tugas sebagai asistan dosen ibu Ira. Para mahasiswa angkatan baru bersiul nakal saat acara perkenalan. Celetukan usil berkicau dari sudut ke sudut. Ketika kutebarkan pandangan, Bian duduk di bangku paling belakang kelas. Pemuda tampan itu melempar senyum hangat seperti mendukungku. Kepercayaan diri ini mulai tumbuh. Dua jam mampu aku lewati dengan baik.
Mereka sangat antusias mengikuti mata kuliah hari ini. Bahkan saat kubuka forum diskusi, hampir semua tangan terangkat tanpa henti. Aku menyudahi kelas hari ini dengan tugas pertama yang disambut dengan optimis. Rasanya menyenangkan jika mendapat tanggapan yang sangat positif dari mereka. Bian mendekatiku dan bertepuk tangan
.
"Mau juga aku ngulang mata kuliah kalo dosennya secantik ini," guraunya. Aku menggelengkan kepala geli.
"Masih ada jam kuliah?" tanyanya, aku mengangguk.
"Satu jam lagi, kita makan siang dulu?" ajakku, Bian mengacungkan jempol.
Saat kami sudah siap pergi, seorang mahasiswa mendekatiku.
"Ibu eh Kak Riona, hmm mau makan siang bareng nggak," tawarnya tanpa segan. Aku dan Bian saling berpandangan.
"Boleh kalo kamu siap dapat nilai D," tantang Bian langsung memasang wajah tidak ramah. Pemuda itu jadi salah tingkah.
"Waduh jangan dong Kak Bian," sergah mahasiswa tersebut dengan senyum kecut.
"Mungkin lain kali ya?" tolakku halus dengan tersenyum. Dia pun mengangguk kecewa dan ngeloyor pergi.
"Heran, mahasiswa sekarang berani banget sih, baru juga lepas seragam abu-abu," gerutu Bian.
"Dah ah, makan yuk ntar telat masuk kelas aku," ajakku geli. Bian terlihat makin protektif dan mendampingi aku kemanapun pergi.
Kantin siang itu cukup ramai. Maya dan Puri melambaikan tangannya dari jauh pada kami yang baru saja masuk. Kami bergegas menghampiri. Batagor pesananku dan Bian sudah terhidang di meja.
"Duh makasih udah dipesenin," seruku senang karena tidak harus mengantri lagi. Bian langsung menyantap tanpa basa basi.
"Gimana bu dosen hari pertama?" tanya Maya dengan suara penuh antusias. Aku tertawa dan menceritakan aksi lucu di kelas. Termasuk saat aku hampir salah membawakan materi. Bian menambahkan tentang mahasiswa yang mengajakku kencan makan siang.
"Serius? Berani amat itu anak," seru Puri geli.
"Loe pasti sok-sokan jadi bodyguard ya," tuduh Maya kepada Bian, yang di jawab dengan kedipan mata lucu.
"Sstt, Bian, mantan loe mendekat," bisik Maya memberi kode. Kami menoleh ke arah Winda yang menuju ke arah meja kami.
"Halo semua maaf ganggu, aku mau ada perlu sama Bian," sapa Winda sopan dan malu-malu. Kami mengangguk tersenyum ramah.
"Kenapa Win, gue lagi makan nih," jawab Bian datar.
"Minta waktu bentar bisa?" tanyanya lagi dan kali ini penuh harap. Bian meneguk gelas minumnya dan mengangguk. Mereka menuju ke meja seberang dan duduk di sana.
"Eh kalian tahu nggak, ini udah tiga kali Winda minta ketemuan," bisik Maya mulai menggosip
.
"Minta balik?" tanya Puri tertarik.
"Bian sih nggak bilang. Malah ngomel dan bilang -Rahasia nenek bawel, mau tau aja, kalo gue bilangin kasian Winda kena gosip dari loe- malah gitu jawabnya. Ngeselin kan?" gerutu Maya gemas. Aku tertawa geli.
"Bener juga sih Bian, lelaki sejati mulutnya nggak ember, emang mantan loe, Oki! Seluruh dunia social media santer ngomongin loe selingkuh sama Panji. Padahal kita jalan selalu bareng-bareng," bela Puri. Maya terbahak geli.
"Panji kena dong," kataku prihatin.
"Dia mah cuek aja, namanya juga calon dokter autis," timpal Puri sambil terkekeh. Kami terbahak bersama kembali. Panji memang selalu manis dan baik. Namun wajah datarnya memang tidak pernah berubah ekspresi. Dia juga tidak pernah ambil pusing tentang berbagai hal.
Dari jendela aku melihat Panji berlari masuk ke kantin. Matanya nanar mencari-cari. Aku melambaikan tangan dan dia mendekat. Napasnya terengah-engah. Puri menyodorkan botol minumnya yang langsung dihabiskan.
"Tarik napas Pan, kayak habis nyuntik mati orang sih," seloroh Puri meledek sepupunya. Panji menggelengkan kepalanya berulang-ulang.
"Bukan orang mati, tapi orang hidup. Kita harus ke rumah sakit sekarang," serunya meracau tidak jelas.
"Sapa yang sakit?" tanya Puri khawatir.
"Waktu nganterin Bapak ke kantor, ada ambulance dateng terus ngangkat pasien keluar. Aku kaget banget sumpah, ternyata Luke!"
Aku tersentak. Ayah Panji adalah dokter di rumah sakit Panti Rapih, dan apa yang terjadi dengan Luke sampai dibawa ambulance? Jika dia sudah kembali kenapa dia tidak menemuiku? Puri menarik tanganku untuk segera bergegas ke rumah sakit dan meminta Panji menceritakan dengan lengkap di jalan.
Bagaikan kerbau dicocok hidungnya, aku mengikuti tanpa perlawanan. Bian yang mendengar dari Maya langsung merebut kunci mobil Panji dan meninggalkan Winda yang terisak karena merasa diabaikan.
Panji menelepon ayahnya untuk meminta informasi kamar dan kemajuan penanganan. Bian melarikan mobil seperti kesetanan. Puri dan Maya menjerit jengkel, sementara wajah Bian terlihat mengeras. Ada emosi yang tersimpan, dan hanya dia yang tahu. Setiba diruang UGD, seorang perawat mengantar kami ke ruang perawatan sementara yang terletak di baris paling ujung.
Langkahku mulai gamang. Seharusnya ini menjadi hari yang paling kutunggu. Tapi Luke menghilang selama empat bulan, dan kesabaranku sudah berada diujung. Hatiku mulai terbiasa tanpanya. Puri dan Maya mendahului untuk melihat kondisi Luke. Gorden putih tersibak. Ayah Panji memberitahu sesuatu yang langsung diiyakan oleh perawat. Keduanya meninggalkan kami. Aku meraih tangan Bian, meminta kekuatan darinya. Genggaman tangan Bian menuntunku mendekati tubuh yang tergeletak dengan infus dan perban dikepalanya.
Satu langkah lagi aku berhenti. Kurapatkan tubuhku ke punggung kekar Bian. Wajah Luke tampak tenang dan damai. Masih wajah yang kurindukan, yang kudambakan dalam setiap helaan napasku. Tapi kenapa aku tidak sanggup mendekatinya? Mungkinkah ini nyata? Bukan mimpi yang menghiasi malam-malam kalutku? Bian meletakkan genggamannya di atas tangan Luke dan melepas tanganku. Aku menatap mata Bian yang sulit kuartikan. Seperti ada duka tapi juga kelegaan.
Getaran hangat menyentuh kulitku. Jemari Luke bergerak dan menggenggam kelingkingku. Dengan mata terpejam kulihat bibirnya bergerak.
"Rie, aku telah kembali ...," bisiknya pelan. Aku mengangguk tapi bibirku terkunci.
Maya dan Puri menyentuh lenganku menguatkan. Tapi hari ini, saat ini, air mataku tidak tertumpah untuknya. Kebahagiaan bertemu dengan Luke tidak kurasakan. Hanya hati kosong dan seribu pertanyaan dalam kepala yang berteriak ingin terucap. Aku melepas tanganku, dan berpaling kepada Bian.
"Tolong urus semua tagihan rumah sakit, dan antar pulang dia. Ini kunci rumah. Aku ada kelas," ucapku dingin. Kuraih kunci dan dompet Luke, yang entah kenapa selalu kubawa, dan kuserahkan ke tangan Bian.
"Rie, Luke terluka!" pekik Maya tidak terima dan semua mata memandang ke arah kami.
"Tunggu dua jam, lukanya akan segera pulih. Inget, dia iblis. Immortal, luka itu nggak akan bikin dia mati," sahutku berlalu meninggalkan mereka yang terpaku. Luke tersenyum diatas pembaringan,
"My Riona ..., you're getting tough," bisiknya pelan.