Aku terbangun karena pegal yang mendera punggungku. Efek dari duduk berjam-jam di pesawat baru kurasakan. Kepalaku terasa berat dan perutku perih karena lapar yang menyerang. Cuaca dingin ini mempercepat sistem tubuhku untuk membakar semua asupan makanan. Suara kaki menuju ke kamar mengurungkan kakiku untuk turun dari tempat tidur. Aku merapatkan selimutku. Derak suara pintu dibuka terdengar. Aku melihat dari balik selimut kaki Bian yang berjingkat membawa nampan berisi sarapan ke meja dekat perapian, setelah meletakkan di meja, dia berjalan perlahan dan menutup kembali pintu. Aroma telur setengah matang menggugah seleraku. Aku segera bangun dan menghabiskan seluruh isi nampan dengan lahap. Jus jeruk ini terasa menyegarkan.
Pikiranku mulai mengingat peristiwa semalam. Entah apa yang terjadi dalam benakku, tapi setelah mencoba mengulang aku merasa malu.
Aku memutuskan untuk mandi. Aliran shower hangat menyiram tubuhku. Semua rasa penat lambat laun menghilang dan berganti kesegaran yang membuatku kembali bersemangat.
Aku mengintip dari jendela yang menghadap ke arah halaman dekat danau. Fiona dan Luke sedang memanah bersama. Mariane dan vampir lainnya terlihat menikmati pemandangan yang mereka harapkan sekian lama. Tidak ada rasa cemburu yang menggelitik. Aku justru menikmati pemandangan saat ini dengan hati penuh pertimbangan.
Luke kembali terlihat seperti biasa. Keduanya memakai baju seperti abad pertengahan. Fiona dengan gaun berenda warna merah muda, dan Luke memakai celana hitam dan kemeja putih longgar. Luke tampak lebih menawan. Dia seperti pangeran dalam cerita dongeng. Baru kusadari, Fiona lebih tinggi dariku. Dia hampir setinggi kuping Luke saat berdiri berdampingan. Sedangkan aku hanya mencapai pundak saja. Gila! Mereka tidak terlihat kedinginan atau pun terganggu dengan kondisi cuaca di luar.
"Rie, ayo keluarlah. Temui dia," suara Bian yang sudah berdiri di belakang mengejutkan. Aku gugup sekaligus malu karena kepergok mengintip keluar. Kepalaku masih menggeleng.
"Mau sampe kapan?" tanya Bian lagi dengan sabar.
"Kamu sendiri sudah berteman dengan mereka?" Aku balik bertanya. Bian tersenyum.
"Aku berteman dengan tentaranya Luke," sahut Bian enteng. Aku menganga.
"Mereka keren banget. Aku sempat foto bareng lho," pamer Bian lucu. Aku tersenyum geli melihat reaksinya yang tampak ceria. Tangan pemuda yang selalu menemaniku hingga saat ini terulur menunjukkan ponsel. Aku melihat berbagai pose Bian yang awalnya tampak kaku dan takut, hingga pose konyol bersama para tentara neraka.
"Kenapa kamu tidak mau menemui dia? Bukankah sejauh ini kita pergi untuk mencari Luke? Dan aku sudah tahu kabar Ibuku, itu bonus di luar rencana. Aku senang Luke membantu hingga Ibuku berada di alam yang sedikit lebih baik dari siksa neraka," tutur Bian dengan semangat menggebu. Aku menunduk.
"Aku takut melihat bentuk Luke tadi malam." Akhirnya aku mengakui dengan malu. Bian tersenyum dan mendekat. Kami berdua berdiri menghadap luar jendela.
"Kamu yang memahami Luke melebihi dari kami semua. Bentuk fisiknya mungkin berbeda, tapi hatinya aku yakin tetap sama, Rie," ucap Bian dengan bijak. Aku merasakan haru dan menyesal. Bian bertutur tentang keseruan mengenal para tentara neraka. Setelah mendengar cerita Bian, aku mengiyakan untuk keluar dan menemui Luke.
Udara pagi itu tidak sedingin kemarin. Saat pintu terbuka, Luke yang berada dalam jarak tiga puluh meter menoleh. Wajahnya tampak lega. Aku berjalan menapaki tangga teras. Kulangkahkan kaki menuju Luke. Dia melempar semua peralatan memanahnya dan setengah berlari menghampiriku. Air mataku mulai mengambang. Kerinduan selama enam bulan tidak melihatnya membuncah tidak tertahankan. Seluruh yang berada di halaman itu memperhatikan kami. Tapi aku tidak peduli. Saat kami bertemu, tangan kekar Luce mengangkat dan merengkuhku. Diciumnya rambutku dalam-dalam.
"Oh Rie, meus es tu," bisiknya penuh kerinduan. (Kamu adalah milikku).
"Maafkan aku Luke," sahutku di antara tangis. Kulihat dari jauh Fiona tertegun dan meletakkan panahnya serta berlari dengan kecepatan fantastis, menghilang. Luke menurunkan aku dan menggandeng masuk ke dalam.
Di kamar Luke, kami berciuman sangat lama. Kami merebahkan diri di pembaringan dan hanya berpandangan. Luke mengusap bibirku dengan jarinya.
"Rie ..., kamu membuatku gila. Aku merindukan kamu, tapi menyelamatkan ibu Bian tidak mudah. Banyak sekali kompromi yang harus aku lakukan," kata Luke perlahan. Aku tersenyum dan mencoba untuk memahami bahwa itu bukan tugas sepele. Aku mengecup bibir Luke kembali.
"Cukup, aku bisa lepas kendali," pintanya sambil terengah menahan hasrat. Aku tersenyum tersipu dan sedikit menjauh.
"Bolehkah aku tanya sesuatu?" kataku ragu. Luke mengangguk dan menarikku lebih dekat. Kami tidur berdampingan. Kurebahkan kepala di dadanya. Duh aroma tubuhnya sangat memabukkan. Inikah yang dirasakan para kaum hawa saat melihat Luke?
"Kenapa aku bisa mirip sekali dengan Fiona? Apakah benar kalian dulu pasangan kekasih?" tanyaku. Elusan tangan Luke di punggungku berhenti.
"Aku yakin Mariane atau si tua Himauwe sudah menceritakan sesuatu padamu," jawab Luke.
"Ya keduanya. Tapi bapak tua indian yang mungkin bernama Himauwe, yang memberitahu secara detail," balasku dengan tidak sabar menunggu jawaban Luke.
"Fiona adalah masa lalu. Tapi kamu adalah masa depan Rie," sahut Luke.
"Jangan mengombaliku dengan kata-kata puitis, itu jawaban klise yang sangat membosankan dan tanpa usaha" ketusku sambil bangkit. Luke terdiam.
"Kamu mengenalku Rie," balas Luke.
"Tidak Luke, tidak semua tentangmu aku ketahui," jawabku menangkis ucapannya.
"Hubunganku dengan Fiona lebih dari sekedar bekas kekasih. Keluarganya membantuku mengamankan daerah barat ini," Luke menerangkan dengan jelas tentang andil Mariane memimpin kaum vampir menekan ambisi mereka dan vampir yang lain untuk tidak merajalela menggunakan manusia sebagai mangsa.
"Jika wajahmu mirip dengan Bella karena ...." Luke terdiam. Tidak meneruskan ucapannya. Aku memasang wajah kaku.
"Jangan bersikap seperti itu, kamu harus dengar dan menerima karena memang itu alasan sesungguhnya," pinta Luce tampak kecewa.
"Karena apa?" tantangku masih penasaran dengan kalimat Luke yang tidak ia selesaikan.
"Uriel, sahabatku, malaikat yang memiliki pengetahuan tentang masa depan dan masa lalu. Memberiku sebuah gambaran wajah, seorang gadis yang akan membuatku layak kembali di hadapan Magna Patris. Pertama kali kupikir Fiona. Tapi ternyata aku salah."
Aku mendengarkan dengan lebih serius. Luke menatap mataku dengan lekat.
"Pertama kali melihatmu, di pemakaman, aku belum menyadari itu. Hingga aku melihatmu dengan jelas dan memasuki hidup seorang Riona Nataline. Wanita yang kutunggu selama ratusan tahun," Luke mendorongku ke samping dan mencumbuku. Aku pasrah saat bibirnya menelusuri bibir, kemudian leherku. Tangannya liar meraba perut dan punggungku. Ketika hampir meraba dadaku, dia berhenti. Luke bangkit dan meminta maaf. Aku menggigit bibirku. Antara kecewa dan bersyukur kami masih bisa mengontrol diri.
"Maaf, aku hampir hilang kendali," ungkapnya dengan buru-buru. Aku membetulkan baju dan duduk.
"Kamu belum menjawab kenapa wajah Bella bisa mirip dengan wajahku," tuntutku.
"Karena hanya wajah itulah yang akan menjadi penentuku. Jika selama rentang waktu kau hidup gagal, maka akan ada wanita berikutnya nanti untuk menggenapi nubuat atasku," sahut Luke akhirnya mengungkap semua.
"Nubuat menjadi layak kembali?"
"Bahwa aku akan kembali mulia menjadi kodrat semula, sebagai malaikat," jawab Luke. Aku terdiam dan merasa merinding.
"Wajah ini yang akan mengantarkan dirimu menjadi malaikat? Bukan pasangan?" tanyaku. Luke terdiam.
"Entahlah, aku masih mencari tahu, Rie," jawab Luke lemah. Aku menjadi gamang dan tidak menentu saat ini. Bukan karena aku akan menjadi pasangannya, tapi karena aku adalah wanita yang bisa mengantar Luke menjadi malaikat surga kembali. Apa peranku nanti ketika memang itu harus terjadi? Yang jelas, aku menangkap bukan sebagai pasangannya!
Luke merapikan bajunya dan mengajakku untuk mengenal tentaranya. Aku ragu, tapi genggaman tangannya yang kuat meyakinkan.
"Kita jeda semuanya. Aku berjanji akan mencari tahu dengan jelas. Tapi tolong, mari kita nikmati saat ini selagi bisa," pinta Luke kembali. Aku pun berpikir tidak adil menambah beban dengan tuntutan dariku. Dengan menekan semua rasa tidak puas dan penasaran, aku mengiyakan.
Bian melambaikan tangan ke arah kami saat aku dan Luke mendekat.
"Luke, gimana rasanya jadi panglima mereka," tanya Bian antusias. Luke tertawa.
"Berhubung kamu sudah jaga Rie dengan sempurna, aku kasih hadiah dikit," seru Luke. Disentuhnya dahi Bian dan sepercik sinar memancar lalu pudar. Dengan satu kali siulan, kuda yang tadi malam kami lihat muncul. Bian terkejut saat kuda itu mendekati dia.
"Naiklah, tenang kamu nggak akan terbakar, aku sudah memberimu sedikit bekal," seru Luke. Bian tidak membuang waktu atau menimbang segera melompat ke atas kuda. Tangannya memegang tali kekang dan memacunya ke atas menembus awan. Bian tertawa lepas dan kegembiraannya seperti anak kecil.
Tangan Luke memberi isyarat pada beberapa tentaranya untuk mengikuti Bian. Empat makhluk raksasa melompat ke kuda mereka dan menyusul Bian ke angkasa. Aku turut tersenyum melihat Bian yang sedang menikmati momen ajaib dalam hidupnya.
"Semua ini seperti mimpi …," desisku pelan. Udara di sekitar danau berhembus semilir. Rambutku yang tergerai terburai mengikuti liuk angin dingin. Luke duduk di bangku pinggir danau dan menarikku ke pangkuannya. Kupandangi wajah Luke. Bulan-bulan pertama aku sangat membencinya. Tapi kemudian, aku mulai menyadari, hatiku terpaut oleh kegigihannya menghadapiku. Hatiku mencintai Luke walau dalam tempo yang sangat lambat. Saat menyadari sesuatu telah tumbuh, perasaan itu tidak lagi bisa hilang dalam hatiku. Aku mengalungkan tanganku ke lehernya dan melumat bibir merahnya tanpa ragu ataupun malu. Tangan Luke melingkar di pinggangku dan mendekap dengan hangat. Oh Luke, bisakah kita bersatu?!