Chereads / Riona / Chapter 24 - Restart Again

Chapter 24 - Restart Again

Aku menyelesaikan catatanku di laptop dan segera berkemas mengejar kuliah berikutnya. Max teman satu kelas di mata kuliah akutansi bisnis mendekatiku. Sebetulnya dia angkatan setahun di atasku, tapi harus mengulang karena mata kuliahnya mendapat nilai D.

"Rie, kita ke kampus A bareng yuk, sekalian ada yang mau aku omongin," ajaknya ramah. Aku kaget dan bimbang membayangkan Max akan mulai menjurus ke hal yang sangat kuhindari saat ini. Percintaan.

Maya mencolekku untuk menjawab Max. Aku gugup dan tersenyum.

"Maaf Max, lain kali ya? Aku buru-buru," sahutku tanpa simpati. Max mengangguk kecewa.

"Mau sampe kapan kamu begini," tanya Maya sedikit kesal. Aku diam.

"Aku balik duluan ya, sama pacar baruku. Seperti cewek normal lainnya," sindir Maya dan meninggalkan aku yang mematung. Aku tidak bisa menyalahkan sikap dingin Maya yang kecewa atas sikapku. Akhir-akhir ini aku menghindari Bian juga Luke. Berulang kali dia membujuk untuk menentukan pilihan, tapi aku tetap tidak memutuskan.

Puri lebih bijak menyikapi, dan berada di zona no komen.

Selama jam kuliah berlangsung pikiranku tidak fokus.

Aku berjalan gontai keluar kelas. Saat melewati taman aku putuskan berhenti dan duduk dibangku ujung. Sinar lampu taman mulai menyala. Sore beranjak malam. Hatiku merasa kesepian. Kesadaran akan hidupku yang sebatang kara menyeruak menghantam emosiku. Aku membuat benteng pertahanan karena takut kecewa dan kehilangan lagi.

Seluruh keluargaku pergi tidak tersisa satupun. Mendapatkan perlindungan dari iblis, mencoba menaruh kepercayaan, dan kecewa. Ingin dekat dengan Bian tapi hatiku bukan untuknya, aku tidak bisa berbohong. Dekat dengan Maya, Puri, dan Panji, tapi mereka memiliki hidup sendiri. Aku tidak bisa mengikuti jalur itu. Beginikah rasanya sendirian? Kumainkan gantungan tas hadiah dari Luke. Sebuah burung phoenix merah kecil dengan inisial RN.

Hampir setahun lebih keluargaku pergi. Aku sudah mendapatkan kekuatan untuk berdiri sendiri, walau belum sepenuhnya. Luke juga cukup menggemblengku untuk tidak cengeng dan manja. Kini aku pandai mengelola hidupku, termasuk memiliki pemasukan sendiri.

"Burung Phoenix melambangkan pembaruan dan kebangkitan," Luke tiba-tiba muncul dari belakang dan duduk disamping. Rambutnya yang sebahu berkibar ditiup angin.

"Aku ingin seperti itulah hidupmu, setelah kau biarkan api kecewa membakar habis, jadilah manusia baru dan bangkit dari keterpurukanmu," lanjutnya. Tubuhnya yang jangkung membuatku terlihat kecil disampingnya.

"Perjanjian darah orang tuamu dengan Belpeghor sudah dihapus. Sekarang bebas, kemanapun kamu pergi."

Aku terkejut setelah mendengar berita barusan. Luke menatap para mahasiswi yang menatapnya dengan genit dan penuh hasrat sambil menggigit bibir mereka, dia menunduk prihatin. Pesona Luke tidak akan pernah hilang. Entah kenapa hidup serumah dengannya selama berbulan-bulan tidak membuatku memiliki pikiran seperti itu.

"Bahkan jika kau memutuskan pergi dariku, silahkan. Kamu sudah tidak butuh perlindungan lagi," aku tidak pernah berharap dia mengucapkan itu.

"Bacalah pikiranku," pintaku. Luke menoleh.

"Ucapan dan hatimu tidak selaras," jawabnya masih menatapku yang tetap memandang lurus ke depan.

"Buktikan padaku, bahwa hatiku menjadi milikmu bukan karena pesona mantramu," tantangku. Luke terdiam.

"Kenapa harus ada bukti?" dia tertawa kecil.

"Buktikan atau kita akan tetap seperti ini," tegas kuucapkan. Luke menoleh pada Winda, mantan Bian, yang lewat. Tangan Luke melambai dan gadis itu mendekat.

"Buka bajumu," perintah Luke. Winda seperti tersihir dan langsung menggeliat penuh gairah serta membuka satu persatu kancing blusnya di taman! Aku memekik keras. Luke menghentikan dan meminta gadis itu untuk pergi.

"Tidak pernah pesona atau mantraku berhasil padamu. Beda dengan Maktika yang langsung tergila-gila hingga ribuan tahun aku terikat padanya. Tapi denganmu. Aku kalah Rie, akulah yang tergila-gila padamu," pengakuan Lue menghadirkan sesuatu yang sempat hilang dihatiku. Aku merasakan sensasi hangat mengalir di pembuluh darahku. Hatiku bergetar kembali.

"Kamu pikir aku tidak pernah berusaha memikatmu? Sering, dan berakhir dengan lirikan judes plus injakan kaki yang sakitnya meruntuhkan gairahku," gerutu Luke menyilangkan kakinya. Hatiku berdesir sekali lagi. Setelah Luke kembali dua minggu lalu, perasaanku sempat hampa.

Aku meraih tangan Luke. Kumainkan jariku di telapak tangannya.

"Rie," desahnya mesra. Aku mengangkat wajahku. Matanya memancarkan tatapan penuh kerinduan.

"Kangen ....," bisikku sambil memegang wajahnya. Tangan Luke merengkuh pinggangku untuk mendekat. Kali ini aku beranikan mengecup bibirnya terlebih dulu. Luke memejamkan mata, menikmatinya.

"Bisakah kita membatasi sentuhan kita? Akan sulit buatku mengendalikan ke depannya," bisik Luke menggigit bibirnya. Aku tertawa geli dan menggodanya dengan ciuman bertubi-tubi di pipi dan hidungnya.

***

Heart Broken

Malam itu, kami menikmati waktu berdua hanya dengan mengobrol, Luke berusaha menahan diri untuk tidak melangkah lebih jauh. Keputusannya untuk tidak bersentuhan atau bermesraan membuatku merasa sangat dihargai. Kadang aku lupa, walaupun dia iblis, tapi kodrat awal Luke diciptakan adalah sebagai malaikat. Hubungan di luar -yang kita sebut pernikahan- aturan tertulis Magna Patris akan tetap dipatuhinya.

Mungkin perpisahan selama empat bulan merupakan takdir kami untuk menguji seberapa besar cinta yang kami miliki. Luke menceritakan perjalanannya dari lembah ratapan menuju ke bumi. Bahkan sempat terdampar di Kanada selama sebulan ketika meredam konflik.

"Bagaimana dengan Maktika?" tanyaku penasaran.

"Dia cukup membantu. Rumor yang disebarkan di neraka cukup menarik Abaddon untuk datang menyelamatkanku," kata Luke sambil meminum birnya hingga habis.

"Luke, Bian pernah bilang ibunya ada di sana. Betulkah itu?"

"Darimana Bian tahu?" tanya Luce heran.

"Lewat mimpinya," sahutku. Dia menghembuskan napasnya kuat-kuat.

"Mungkin ratapan ibunya terlalu kuat hingga bisa tersampaikan lewat mimpi, atau dia berada ditempat yang salah dan doanya terdengar hingga ke manusia yang paling berkesan baginya." Luke menjelaskan. Aku termenung. Bagaimana perasaan Bian jika tahu ini betul?

"Sudah malam, tidurlah," kata Luke mengingatkan sambil mengusap rambutku. Aku mengangguk dan beristirahat malam itu dengan perasaan damai.

Hari ini Luke mengantarku ke kampus. Atas persetujuannya, pagi ini sebelum jam kuliah kami akan bicara dengan Bian untuk menyampaikan kemungkinan menyelamatkan ibunya. Maya tiba pertama kali di kantin, tempat kami bertemu. Ekspresi mukanya tidak terduga.

"Aduh alhamdulilah akhirnya ada yang kepilih," serunya sambil memelukku gemas.

"Cie ... ada yang baru jadian lagi nih," goda Puri yang menyusul datang dengan Panji. Aku tersipu. Sementara Luke dengan tenang melirikku penuh arti. Bian tiba paling terakhir dan langsung duduk.

"Sorry telat dikit," katanya dengan muka serius. Luke memulai pertemuan pagi itu dengan mengulas sedikit keinginan Bian untuk menyelamatkan ibunya di lembah ratapan. Setelah Bian menunjukkan foto terakhir ibunya, Luke mengangguk dengan penuh keyakinan. Tangis seorang Bian, kapten basket, ketua senat dan manusia paling tangguh yang pernah kami kenal, pecah di kantin.

"Bian," panggilku pelan. Maya dan Puri terisak ikut merasakan duka sahabatnya.

Bian memandangku dengan wajah terpukul, tapi aku ragu untuk mendekatinya.

"Jika kamu butuh pelukan dan penghiburan, kupinjamkan Riona. Tapi untuk hari ini saja." Luke menghela napas dan berlalu. Aku memeluk Bian sambil melihat punggung Luke yang menghilang di balik pintu kantin.