Kami menempuh penerbangan panjang menuju Kanada. Transit yang panjang, juga kesulitan menemui makanan yang cocok dengan perut kami menambah daftar kelelahan. Dua hari penuh kami menempuh perjalanan ini. Tidak terkira betapa kami merindukan tempat tidur hangat dan bukan terbaring di kursi pesawat atau ruang tunggu airport.
Setiba di airport Merlow, Kanada, seorang lelaki berpakaian lengkap jas rapi menjemput kami. Selama perjalanan, pria itu diam tidak bicara sepatah kata pun. Bian mencoba mencari obrolan, namun pria itu tidak merespon. Aku menyentuh tangan Bian untuk berhenti mengajukan pertanyaan.
Perjalanan menuju kediaman Mariane sangat mengagumkan. Tanah yang tertutup salju dan pegunungan menghiasi sepanjang mata memandang. Bian membuka jendela mobil dan aku menggigil kedinginan. Jaket dua lapis tidak mampu menahan suhu dingin yang mencapai -7°C. Mobil limusin hitam yang kami naiki masuk ke sebuah rumah indah di lereng pegunungan. Aku terpaku dengan pemandangan dari teras. Danau beku terhampar di antara jajaran pegunungan pinus yang tertutup es. Selain indah juga tampak misterius.
Mariane keluar dan menyambut kami. Wajahnya dingin tapi suaranya ramah. Dia adalah wanita dengan penampilan menarik yang berusia sekitar empat puluhan. Rambutnya hitam sebahu, dan matanya berwarna merah gelap. Warna mata yang tidak cukup asing tapi aku lupa pernah melihatnya di mana. Wanita itu duduk dengan anggun. Baju warna putih terusannya sangat apik, mencerminkan Mariane bukan wanita sembarangan. Mungkin masih ada darah bangsawan, batinku.
Aku terkesima oleh semua yang kami alami saat ini. Satu hal lagi yang menarik dari Mariane, dia berbahasa Indonesia dengan sangat fasih. Bian tidak menurunkan kewaspadaannya, dia berkali-kali mengingatkan untuk tidak terlalu akrab. Aku hanya membalas dengan anggukan.
"Would you like to have a tea?" tawarnya saat seorang asisten rumah tangganya menawarkan minum. Kami berdua mengangguk kikuk. Bingung harus mulai darimana. Mungkin setelah teh hangat menyiram kerongkongan kami, bisa dengan leluasa mengajukan pertanyaan yang sudah menumpuk di kepala.
"Bagaimana perjalanan kalian?" tanya Mariane memecah hening.
"Panjang dan juga melelahkan," jawab Bian tersenyum kaku.
"But worth it, isnt it?" tanya Mariane sambil melirik ke luar. Aku mengangguk. Pemandangan yang indah memang menebus kepenatan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
"Kalian tahu kenapa saya mengundang ke Kanada?" tanya Mariane sambil mempersilahkan untuk meminum teh yang baru tersaji. Kepulan hangatnya menguar dan aroma the segar tercium.
"Pasti ada kaitannya dengan Luke," jawab Bian, aku memilih untuk tetap diam. Mariane tersenyum dan mengangguk.
"Luke berhasil menyelamatkan ibumu, by the way, tapi ...," ucapannya terhenti saat dia mengambil sesuatu dari balik syalnya. Sebuah liontin emas dengan permata berwarna hijau. Disodorkan liontin itu kepada Bian yang tertegun menerimanya.
"Darimana kamu dapatkan ini Mariane?" suara Bian bergetar. Tangannya memegang liontin itu dengan gemetar.
"Luke menitipkan pada kami, dia bilang itu milik ibumu," jawabannya cukup menimbulkan efek hebat pada Bian yang terus terpaku pada liontin di tangannya.
"Di mana Luke sekarang?" tanyaku tidak sabar. Mariane menghilangkan senyum di bibirnya.
"Sebelum aku menjawab di mana ibu Bian dan juga Luke, ada hal yang ingin aku minta," ucapnya. Kami terdiam menunggu, tapi perasaanku sangat tidak enak. Entah mengapa, tiba-tiba aku tidak menyukai wanita ini.
"Riona,aku ingin kau lupakan dan tinggalkan Luke," kalimat yang barusan kudengar terasa tajam seperti mengandung ancaman. Bian meremas liontin di tangannya dan memandang Mariane dengan sikap permusuhan. Wanita itu tidak menunjukkan emosi sedikit pun. Aku tidak mengerti kenapa perempuan yang mengundang kami jauh-jauh ke Kanada, hanya ingin menyatakan kepadaku untuk menjauhi Luke. Menyedihkan!
"Sejauh ini kami kau undang, hanya untuk itu?" tanyaku mulai merasa terusik. Mariane tersenyum, aku melihat kelicikan di wajahnya.
"Rie, tahukah kamu bahwa kekasihmu adalah iblis? Dan seberapa jauh kamu mengenal dia?" tanya Mariane menguji kesabaranku.
"Tidak usah berbasa basi Mary, katakan tujuanmu," seru Bian. Mariane berpaling pada sahabatku.
"Bukankah akan menjadi keberuntunganmu Bian jika Luke tidak boleh bersatu dengan Riona? Dan aku yakin, setelah kutunjukkan fakta lain tentang sisi kelam seorang Luke, mungkin Riona yang akan merelakan dirinya untuk mundur," suara Mariane terdengar dingin dan tajam, tidak ada lagi kelembutan di suaranya.
Aku menggigit bibir. Cerita apalagi yang harus kudengar? Kurang tragis apa hidupku saat ini? Bahkan, saat ingin mencintai seseorang pun, aku harus melewati satu persatu tantangan. Mariane membunyikan bel kecil di meja. Tidak berapa lama muncul seorang gadis yang wajah dan fisiknya mirip denganku! Bian tampak terpana.
Gadis itu duduk di sofa depanku. Angin dingin berhembus menerpa, tubuhku menggigil. Bukan karena dinginnya suhu, tapi karena gadis yang saat ini di hadapanku menimbulkan sensasi merinding. Dari ujung kepala hingga kakinya sama persis denganku. Hanya warna matanya saja yang membedakan denganku. Retina gadis itu sama persis seperti Mariane. Merah gelap.
"Siapa dia Mariane," bisikku nyaris tidak terdengar.
"Putriku, Fiona. Wanita pilihan Luke jauh sebelum kamu ada dalam hidupnya." Wajahku memanas. Kupingku berdengung.
"Hi Rona and Bian, nice to meet you," suaranya jernih dan manis namun terkesan dingin. Gaun dress panjang warna biru tua yang terlihat kuno membungkus tubuhnya dengan sempurna. Fiona tampak cantik sekaligus klasik. Kulit pucatnya tampak kontras dengan gaun namun justru menambah kecantikannya.
"Mengherankan bagaimana kita bisa semirip ini. Kita berasal dari dua ras yang berbeda, tapi kau sama sekali tidak tampak seperti orang Indonesia yang pernah aku kenal," desis Fiona takjub.
Kami berdua terdiam, tidak tahu harus berbuat apa. Mariane tersenyum penuh kemenangan. Aku sendiri juga sempat heran kenapa fisikku tidak seperti orang Indonesia kebanyakan. Mungkin darah mama yang dari Manado membuat penampilanku mirip orang asing. Dia dan Fiona meninggalkan kami berdua setelah menjadwalkan pertemuan kami berikutnya, makan malam nanti. Sepeninggal mereka, aku masih mematung atas pertemuan singkat barusan. Ini membuatku sangat terpukul. Tidak percaya jika hal buruk terus terjadi dan mencoba meruntuhkan mentalku.
Bian mengajak untuk beristirahat di kamar. Aku menurut tanpa bereaksi apapun. Jendela kami menghadap ke arah danau membeku. Bian menghempaskan tubuhnya di kasur. Hari pertama kami tiba, harus menerima kejutan yang menyesakkan. Ruangan kamar kami cukup luas dengan dua twin bed besar dan nyaman. Perapian kecil terdesain antik diujung kamar. Mungkin dulunya rumah ini penginapan. Tapi kenyamanan yang kami dapatkan tidak mampu menghibur hati kami yang terlanjur kecewa.
Aku melihat pantulan diri di cermin. Bian berdiri di belakangku.
"Rie, perasaanku sangat tidak nyaman dan gelisah. Kalo malam ini Mariane dan anaknya terus mengintimidasi, kita pulang besok pagi," ujar Bian merapikan sweaternya dan berbalik. Aku mengangguk. Secara refleks, aku meraih tangan Bian.
"Terima kasih, kamu selalu ada buat aku," kataku dan kupeluk punggung Bian dari belakang. Entah bagaimana ekspresi Bian, tapi kecupan di tanganku mengurai kekakuan kami selama ini. Mungkin tidak adil jika aku menjaga jarak dengan dia. Toh, selama ini Bian yang selalu ada disisiku. Biarlah aku menyayangi dia sebagai sahabat.
"Aku tidak akan pernah memaksamu untuk memilihku. Tapi hubungan kita berawal dari sebuah pertemanan. Biarlah tetap seperti itu," sahutnya dengan suara dalam dan tenang. Aku tersenyum dan merasa makin bersalah. Kenapa aku bisa bodoh selama ini dan berpikir negatif tentang Bian?
Kami melanjutkan mengobrol seperti dulu saat belum ada kekakuan yang tercipta. Bian mengungkapkan ketulusannya yang menginginkan aku bahagia. Aku senang mendapat seorang sahabat yang begitu penuh kasih juga dewasa, yang memahami dan menerima penolakan dengan sikap matang.
"Aku lebih dari bahagia saat Mama sudah berada di tempat yang lebih baik. Mengenai kau dan Luke, aku selalu harapkan yang terbaik terjadi," ungkap Bian lirih. Aku melihat ada air yang mengambang di pelupuk matanya. Cinta seorang anak pada ibunya begitu besar. Mampukah aku juga memaafkan mama seperti Bian? Atas semua tindakannya padaku?
"Bi, kau yang membuatku sadar bahwa cinta kita pada orang tua tidak harusnya lekang oleh waktu. Bahkan ketika mereka mengambil keputusan buruk," ucapku pelan. Leherku keburu tercekat. Tidak sanggup melanjutkan kalimat berikutnya. Bian berpaling dalam posisi berbaring di tempat tidur seberang.
"Kau salah, Justru karena dirimu aku mampu memaafkan papa dan menerima takdir mama dengan besar hati," balas Bian. Aku tersenyum dan kami berdua tertawa kecil. Oh sungguh menggelikan kehidupan ini. Ada hal-hal yang rumit namun tidak menyurutkan kami untuk terus berjuang demi hidup lebih baik.
Waktu makan malam telah tiba. Aku dan Bian datang sedikit terlambat. Tidak kami sangka jika malam ini dihadiri oleh beberapa orang yang terlihat seperti keluarga besar Mariane. Semuanya memiliki warna mata yang sama, merah gelap. Bulu kudukku merinding. Mereka semua adalah vampir! Astaga, bahkan makhluk penghisap darah yang kupikir hanya mitos dan rekayasa produser Hollywood untuk menarik penonton adalah nyata.
Mariane memukul gelasnya dengan garpu pelan, untuk meminta perhatian semuanya.
"Perkenalkan semua, ini Bian dan Riona, tamu dari menantuku, Lukas," seru Mariane dengan tersenyum bahagia. Bian menyentuh lenganku di bawah meja untuk menguatkan. Semua bertepuk tangan dan memandang wajahku dengan heran. Fiona yang duduk tidak jauh diriku memang seiras dan tidak ada bedanya dengan wajahku. Gadis itu tampak pendiam dan tidak banyak bicara. Ibunya, Mariane yang mendominasi semua perbincangan.
Selanjutnya mereka meneruskan makan malam dengan saling bertanya kabar. Aku bangun dan keluar menuju ke teras. Rasa kecewa, marah dan kesal atas perlakuan Mariane yang sengaja menghinaku dengan pengumuman tadi. Bian menyusulku dengan dua gelas wine di tangannya.
"Minumlah, bisa menghangatkan badanmu," ujar Bian sambil duduk di sampingku. Kuteguk minuman itu sedikit, rasa hangat mengalir di dadaku.
"Oh Lord, you look exactly like Fiona," seru seorang wanita yang berambut putih yang baru datang terdengar kagum. Aku mengangguk kikuk.
Aku tidak mau membiarkan lagi lelucon Mariane yang semakin keterlaluan. Lebih baik aku menjelaskan dengan baik sekarang. Aku beranjak masuk, tapi tangan Bian menahanku. Seorang lelaki tua berwajah Asia berjalan mendekati kami.
Rambutnya memutih dan jalannya agak membungkuk. Dia satu-satunya tamu yang memiliki mata dengan retina hitam. Dia memberi tanda kepada kami berdua untuk duduk di ujung teras. Kami mengikutinya.
"Do you speak english?" tanyanya dengan suara berat.
"Yes, sure, of course," sahutku pelan.
Wajahnya tampak prihatin, tidak lama mengalir sebuah cerita tentang Fiona dan Luke dari mulutnya yang keriput.