Chereads / Riona / Chapter 19 - Beautiful Feeling, Bad Luck

Chapter 19 - Beautiful Feeling, Bad Luck

Setelah perjumpaan dengan Maktika, masing-masing menelepon orang tuanya untuk menemaniku dengan alasan omku sedang keluar kota dan harus menyelesaikan tugas. Maya cukup kesulitan meminta ijin. Mamanya harus menerima panggilan dari tante Laras, ibu Panji untuk meyakinkannya. Kami tidak tahu harus berbuat apa sementara menunggu. Untunglah, tante Laras memahami situasinya dan dengan bijak, wanita berusia lima puluh tahun dan masih terlihat ayu tersebut membantu kami. Hanya pesannya yang cukup membuat kami waspada.

"Kalian berurusan dengan siluman dan iblis. Berhati-hatilah. Ibu tidak akan ikut campur, ini bisa menjadi latihan untuk Panji dan Puri menjadi ksatria istana yang tangguh sebelum bergabung dengan Pakdhe Baskara, komandan pemimpin SWIR," ucap tante Laras dengan anggun. Kami tidak sempat bertanya apakah arti dan kepanjangan dari SWIR itu sendiri. Tapi mendapat dukungan dari orang dewasa yang tidak menganggap cerita kami hanya isapan jempol atau hasil imajinasi fantasi sudah lebih dari cukup!

Kini kami harus bersabar menunggu dan entah sampai kapan Maktika akan muncul. Aku sendiri mulai khawatir. Setelah Luke menciumku apakah ini berarti aku adalah kekasihnya? Membayangkan waktu Luke menyentuh bibirku, menggetarkan kembali perasaan ini. Aku bingung, antara bahagia karena aku bisa dicintai oleh mahkluk rupawan yang telah melindungiku selama ini, atau harus mengingkarinya karena dia adalah iblis? Mungkinkah iblis dan manusia boleh saling mencintai?

"Rie," panggil Maya pelan. Aku menoleh dan buru-buru menyimpan ponsel Luke dalam saku.

"Ada satu pertanyaan yang menganjalku," tanya Maya setengah berbisik. Aku mengerutkan kening.

"Apa sih May, jangan bikin aku sport jantung begitu ah," jawabku heran.

"Apakah Luke udah menyatakan perasaannya?" selidik Maya. Aku gugup, tidak tahu harus mengucapkan apa. Aku berusaha mencari kalimat yang tepat.

"Dia ...," aku berhenti, Maya masih menungguku melanjutkan kalimat.

"Dia sudah menciumku," jawabku malu setengah mati. Sahabatku yang satu ini menutup mulutnya tidak percaya. Aku menggigit bibir dan memalingkan muka. Bayangan Luke yang terluka dan ditarik ke dalam lubang hitam kembali melintas.

"Astaga, ternyata beneran si uncle ganteng naksir kamu?" teriaknya pelan.

"Ya, tapi disaat aku mulai merasa bahagia, dia terenggut dariku May," jawabku seperti tercekik, dadaku terasa sesak. Maya yang memang mudah tersentuh menjadi tergugu. Aku memintanya untuk merahasiakan ini dari mereka. Terutama Bian, aku tidak ingin membebaninya dengan cerita cinta antara aku dan Luke.

Malam larut dan kami mulai tertidur di depan televisi, Bian dan Panji berjaga di gazebo supaya kami berada dalam jangkauan pandangan mereka. Panji bahkan membuka semua pembatas kaca lipat antara kolam renang ruangan dalam, supaya leluasa memantau kami.

Aku terbangun dan merasa haus. Saat berjalan menuju kulkas, Bian masih terjaga dan sedang membuat kopi, sementara kulihat Panji sudah terlelap di gazebo. Kami bertemu pandang. Aku tersenyum dan menyentuh lengan Bian seperti biasa sambil berlalu menuju kulkas. Kuteguk habis air di botol dan hampir tersedak saat tiba-tiba Bian membungkuk dan mencium pipiku dari belakang.

"Bian!" pekikku kaget.

Pemuda itu berlalu dengan cangkir kopinya seperti tidak terjadi apa-apa. Aku memegang pipiku dengan jengkel. Konyol sekali dia berani cium sembarangan, batinku tidak terima.

Aku segera kembali dan menyimpan kesal dihati. Tapi setelah berpikir, mungkinkah Bian memang menyukaiku? Tapi mustahil. Dulu aku sempat mengagumi dia karena walaupun banyak yang menganggap dia playboy, selama tiga tahun ini hanya satu kali aku tahu dia pacaran. Itupun singkat. Setelah itu, dia membiarkan dirinya menjadi bachelor rebutan mahasiswi di kampusku. Tapi karena rasa tidak percaya diri dan juga tragedi yang menimpaku, aku mundur dan melupakan hal-hal yang berbau romantisme, hingga bertemu Luke.

Selain cerdas, Bian juga terkenal sebagai jago basket dan pengusaha muda. Tiba-tiba aku membandingkan Bian dengan Luke. Keduanya tampan dan memiliki daya pikat tersendiri. Duh, pikiranku jadi bercabang. Aku mengusir jauh-jauh pikiran konyol dan melanjutkan tidur.

Keesokan harinya, Panji ingin mencoba memanggil Maktika tapi dihentikan oleh Puri.

"Maktika akan datang jika dia sudah siap, percayalah," ucap Puri meyakinkan. Kembali kami harus sabar menunggu. Sudah dua hari kami tidak bekerja. Entah sudah berapa kali Panji juga Puri memberikan berbagai alasan atas ketidakhadiran kami kepada ibunya. Aku mulai merasa bersalah. Tapi Puri meyakinkan, jika hari ini wanita siluman itu tidak datang, besok Panji dan dirinya akan menggantikan tugasku di kafe.

"Bulek Laras sebenarnya mengerti, tapi kondisi kafe sedang ramai dan selalu penuh," ucap Puri.

"Rie," panggil Maya, wajahnya terlihat resah.

"Ya May," sahutku sambil melipat baju. "Aku harus pulang, nggak bisa nginep lagi," ujarnya dengan muka bersalah. Aku tersenyum dan mengangguk.

"Nggak papa kok. Makasih udah ditemenin selama ini ya, May," cetusku menenangkan dirinya dan tersenyum. Maya memelukku dengan erat dan pamit.

Dalam hati aku juga mulai ragu jika Maktika akan kembali.

Luke, dimanakah dirimu? Mungkinkah kami masih ada waktu untuk membawamu kembali? Aku duduk di gazebo dan termenung. Harapan kami semakin menipis dan tidak ada lagi pertanda ini akan berakhir baik. Aku cemas bukan hanya tentang Luke kembali, tapi kehilangan dia seperti kembali terhempas kehilangan seseorang yang sangat aku butuhkan selama ini. Hatiku kembali berdesir sakit. Rasa tidak percaya bahwa seseorang bisa selalu bersama kita terus mulai menggerogoti prinsipku. Benarkah memang aku ditakdirkan untuk selalu bernasib sial?

"Pertama kali aku melihatmu, adalah saat kamu menonton pertandinganku. Semester dua. Sayang, kamu terlalu sulit didekati," seru Bian yang muncul di sebelahku. Aku terdiam menatap percikan air kolam menyapu daun yang gugur dipinggir. Pikiranku masih bercabang pada banyak hal.

"Bukan karena wajahmu yang membuatku simpati. Tapi setiap melihatmu, aku melihat ada duka yang tercermin dari matamu. Entah itu apa dan kenapa, tapi aku jadi ingin menjadi bagian dari duniamu." Bian mengucapkan kalimatnya dengan sungguh-sungguh. Aku menengadah menatapnya.

"Aku dari dulu tidak memiliki keyakinan kuat bahwa diriku layak untuk dicintai. Bahkan saat keluargaku masih hidup. Aku hanya Riona yang lemah dan selalu butuh didampingi," ucapku lesu.

"Kamu salah, Rie. Kamu justru perempuan yang terlihat paling tangguh yang pernah aku kenal. Tidak cengeng dan menyimpan semuanya dalam emosi dewasa yang luar biasa," puji Bian. Aku semakin menunduk. Benarkah?

"Aku sangat menyukaimu …." Ucapan Bian membuatku tersentak. Akhirnya dia mengatakan juga. Aku harus bagaimana? Aku belum siap menerima semua limpahan perasaan dari seorang pria yang lain?

"Tidak apa-apa kalo saat ini hatimu tidak lagi bebas. Tapi aku akan sabar nunggu, sampe kamu bilang stop." Bian mengakhiri ucapannya dengan usapan lembut di rambutku. Tatapan matanya penuh harap dan juga luka secara bersamaan. Dia melangkah pergi. Kupejamkan mata kuat-kuat.

Kau datang di waktu yang salah Bian, teriakku dalam hati. Semua salah!

Gerimis malam itu tidak mampu mendinginkan kepalaku. Mungkinkah cinta ini juga salah memilih?