Sehari berlalu setelah kehilangan Luke. Aku tidak bisa menyingkirkan kejadian terakhir saat melihat Luke tertikam dan terseret ke dalam lubang hitam yang mengerikan. Puri dan Maya berusaha membujukku untuk makan. Aku menyerah dan tidak sanggup untuk menyantap apa pun. Mulutku terlalu pahit untuk menelan. Tragedi tadi malam tidak bisa kulupakan begitu saja. Oh Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi dalam hidupku? Mendadak aku teringat seseorang, Maktika! Perempuan siluman itu pasti mengetahui sesuatu! Harapanku mulai bangkit.
"Puri, Maya, kalian ingat perempuan yang menemui Luke di Kafe?" tanyaku tiba-tiba. Maya memandangku dengan pandangan heran.
"Ingat dengan sangat jelas, menurutmu dia yang membawa Luke?" Puri terlihat ragu dengan pertanyaannya.
Aku menggeleng cepat, "bukan, tapi dia pasti tahu yang terjadi tadi malam," seruku.
Aku menceritakan peristiwa selama mereka tertidur di gazebo dengan detail. Maya termangu, Puri terlihat mulai berpikir.
"Bagaimana mencari wanita itu," desis Maya putus asa. Kami terdiam dan kehabisan cara untuk menemukan wanita siluman tersebut. Tidak ada petunjuk maupun titik terang.
"Selamat pagi!" Bian datang bersama Panji. Hatiku sedikit lega, setidaknya ada mereka yang menemani kami saat ini. Kami berlima duduk di Gazebo, Bian meremas tanganku lembut, aku menatapnya dengan sedih. Puri menyampaikan kepada mereka berdua tentang Maktika dan Panji mulai terlihat memiliki sesuatu yang ingin disampaikan.
"Jika memang benar Maktika mengetahui, dan dia bisa masuk ke rumah ini karena sudah diundang Luke maka-mungkin- kita bisa memanggil dia kembali," kata Panji dengan optimis.
Puri tersenyum, "makin pintar kamu Pan," pujinya sambil menyenggol pundak sepupunya.
"Bisakah kita memanggilnya sekarang?" tanyaku tidak sabar.
"Aku harus menelepon Pakdhe Bas untuk mengetahui caranya, baru kita bisa memanggilnya. Bersabarlah," sahut Panji sambil mengeluarkan ponselnya.
Puri mengangguk mantap. Baskara adalah ayah Puri, dan beliau sebagai salah satu punggawa Keraton Yogyakarta, pengetahuan beliau pastilah sangat bermanfaat. Raden Mas Baskara Rahagi Hammani, seorang pria keturunan kesultanan Yogyakarta yang aku tahu sekilas adalah seorang anggota pasukan khusus istana.
Kami dengan sabar menunggu hingga Panji selesai menelepon pakdhenya. Aku masih mencoba untuk mencari petunjuk melalui telepon genggam milik Luke, tapi ponsel itu hanya berisi satu foto dia dan sisanya fotoku yang entah kapan dia ambil. Tidak ada lagi informasi penting. Kupandangi foto Luke dilayar ponsel yang sempat kuambil saat dia duduk di meja kerjanya, ingatanku melayang pada kejadian saat itu. Aku meledeknya habis-habisan tentang konsep kantor yang menurutku lucu. Luke menikmati ejekanku dan tersenyum simpul sambil bergaya ala bos besar saat aku mengambil foto itu.
Aku tertawa perlahan. "Rie?" panggil Maya tampak khawatir, aku tersenyum dan menunjukkan foto Luke kepadanya. Maya mengambil ponsel dari tanganku dan membesarkan layar. Kupikir tadinya Maya hanya ingin memperjelas wajah Luke, tapi saat wajahnya berkerut dan memandang arah ruang kerja yang berseberangan dengan ruang makan, aku mulai tertarik untuk bertanya, "Kenapa May?"
Maya tidak menjawab tapi berjalan masuk menuju meja kerja Luke. Aku mengikuti langkahnya.
Maya berhenti di depan rak kaca belakang meja kerja di mana Luke biasa duduk. Tangannya membuka pintu lemari dan menelusuri satu persatu piala.
"Koleksi yang sangat antik dan kuno …," desisnya.
"Aku sudah menemukan jawabannya," teriak Panji gembira. Kami semua menoleh ke arahnya.
"Menurut pakdhe iblis atau jin atau apapun itu yang sudah diundang akan mudah dipanggil melalui sesuatu yang menjadi miliknya," seru Panji semangat.
"Seperti ini?" seru Maya. Kami berganti menoleh kepadanya. Maya memegang sebuah piala perunggu kuno yang terukir bentuk pohon beringin dengan inisial -M-. Kami berlarian menghampiri Maya.
Piala perunggu itu tampak sudah tua sekali. Warnanya kusam dengan ukiran gambar pohon beringin dan siluet wanita. Tiba-tiba aku teringat mimpi yang pernah kualami beberapa waktu lalu. Aku mengangguk penuh keyakinan. Kuceritakan tentang mimpiku melihat Maktika dan Luke. Bian meremas rambutnya dengan kesal.
"Kenapa baru sekarang satu persatu kamu ceritain sih Rie?" sesalnya, aku menundukkan kepala dalam-dalam. Rasa bersalah mulai timbul karena sekarang menyulitkan mereka.
"Bukan salah Rie juga kalo memilih untuk menyimpan ini semua dari kita. Itu kehidupan pribadinya Bi, kita nggak berhak menuntut untuk mengetahui semuanya," bela Puri.
"Tapi saat Rie ada masalah, siapa yang ada untuk dia?" seru Bian terdengar sangat emosional.
"Kita bantu Rie sebagai sahabatnya! Kehidupan Rie dan Luke itu privasi mereka!" sahut Maya dengan jengkel dan tegas.
Bian membuang muka. Wajahnya memerah. "Kamu cemburu ya, Bi," tuduh Maya tanpa pikir panjang.
Aku tertegun. Tidak mungkin Bian memiliki perasaan terhadapku. Itu semua hanya kekhawatiran karena saat ini kami sedang mencari Luke saja. Bian diam tidak menjawab. Panji segera menengahi suasana yang mulai terasa memanas dan mengajak semua bersiap untuk memanggil Maktika.
Kami berlima duduk melingkar di karpet ruang keluarga. Panji meraih piala perunggu dan meletakkan di tengah. Panji dan Puri mulai meditasi dan menggumamkan sesuatu yang tidak kami pahami. Pertama senyap. Kemudian perunggu itu mulai bergetar dan mengeluarkan asap tipis. Makin lama makin tebal dan membentuk tubuh wanita yang semakin jelas, Maktika muncul. Saat tubuhnya utuh terbentuk, kakinya menapak di karpet dengan ringan. Bian dan Maya yang tidak terbiasa menyaksikan beringsut mundur dengan pandangan ngeri. Aku berusaha menguasai diri. Beruntung Luke pernah membawa dan menggembleng aku menghadapi berbagai macam situasi horror dan aneh seperti saat ini.
"Berani sekali kalian memanggilku," desis wanita siluman itu bengis. Nyaliku menciut. Dalam hati berdoa semoga dia tidak mengancam salah satu dari kita seperti terakhir kali aku bertemu dengannya.
"Jangan mengancam atau bertindak bodoh, apalagi berpikir untuk menyakiti salah satu dari kami, ini daerah kekuasaan Ratu Pantai Selatan! Kau tidak akan berani mencari masalah dengan salah satu prajuritnya!" ancam Puri tegas.
Maktika yang kali ini tampil dengan lipstick merah menyala menoleh ke arah Puri dan mendengus kesal. Bibirnya mengerucut kesal.
"Baik! Apa mau kalian!" serunya menyerah.
"Katakan di mana Luke," perintah Panji. Maktika seperti baru tersadar dan menoleh ke arah tembok di mana lubang hitam kemarin muncul. Dia berjalan mendekati tempat itu. Tangannya yang berkuku tajam dan runcing mengelus dinding.
"Sekongkol keji," desisnya. Aku tercekat.
"Ma-maksudmu?" suaraku terdengar gugup.
"Asmodeus dan Belpeghor bersatu untuk menghancurkan Luke, mereka menahannya di lembah ratapan," jawab Maktika masih tercengang.
"Katakan dengan jelas Maktika, kami tidak tahu yang kau maksud," seru Bian yang mulai terlihat berani dengan tidak sabar.
Maktika berjalan menuju ke arah kami kembali dan berdiri di samping pialanya.
"Lembah ratapan adalah lembah terkelam yang menakutkan bagi siapapun. Jangan pernah mencoba untuk pergi ke sana. Di tempat itu isak tangis dan penyesalanmu tidak akan pernah ada yang mendengar. Tempat di mana dosa tidak akan pernah diampuni. Berdoalah ada seseorang yang mau menolongnya," terang Maktika dengan ekspresi bergidik. Aku tidak tahan lagi dan menangis.
"Sepertinya kau pernah mengunjungi tempat itu," ujar Panji curiga.
"Ya dan Luke menyelamatkan aku." Maktika terlepas bicara. Puri tersenyum penuh kemenangan.
"Sekarang saatnya kamu menolong dia," seru Puri. Maktika terdiam, baru menyadari dia salah ucap.
"Kalian bodoh! Memangnya semudah itu menyelamatkan?" elaknya panik.
Bian berdiri, "sesulit apa?" tanyanya dengan berani. Maktika memandang Bian dengan pandangan tidak yakin.
"Kau harus memberikan secuil jiwamu dan dibantu oleh kekuatan minimal sebesar Panglima neraka," jawabnya dengan mendelik, jelas kengerian terpancar dari wajahnya.
"Maktika tolonglah, bantu kami. Siapa penghuni neraka yang kau kenal?" pintaku. Wanita itu terdiam.
"Abaddon mungkin akan membantu kalian, karena Luke adalah panglima kesayangannya. Tapi jangan memintaku untuk menemui dia. Karena dia masih menyimpan dendam atas perlakuanku terhadap Luke," jawab Maktika seperti segan saat menyebut nama Abaddon.
"Abaddon? Dia lebih tinggi dari Luke?" tanya Puri menyelidik. Maktika tertawa.
"Kalian benar-benar tidak tahu apa pun mengenai susunan kerajaan neraka ya? Besar sekali nyali kalian ingin menyelamatkan Luke. Dengar baik-baik, Abaddon, Asmodeus, Belpaghor, Dumballa, Coyote, mereka adalah raja kecil neraka. Kedua raja kecil itu mungkin mengirim Luke ke sana karena sakit hati, karena seorang iblis berpangkat panglima berusaha meringkus mereka," terang Maktika sambil bersiap pergi.
"Tunggu, bagaimana aku bisa memanggil Abaddon?" tanya Bian sambil menyambar piala yang menyebabkan Maktika terpental. Raungan marah tersembur dari mulutnya.
"Jika kau tidak membantu kami, akan kuhancurkan piala ini," ancam Bian. Maktika seketika langsung panik.
"Brengsek!" teriaknya ketakutan. Kami tidak menyangka jika piala itu sangat berharga.
"Kalaupun aku bisa meminta bantuan Abaddon, siapa yang akan berkorban nyawanya?" teriaknya kalut.
Semua diam tidak bergeming.
"Aku yang akan kesana," sahut Bian, kami menoleh dengan pandangan tidak percaya.
"Bian!" panggilku panik.
"Ibuku mungkin ada di sana Rie, aku pernah melihatnya dalam mimpiku, kalaupun aku di sana, setidaknya ada mama," jawab Bian dengan mata berkaca-kaca. Aku menggelengkan kepala.
"Masa bodoh dengan keputusan kalian, akan kubayar kewajibanku dan hutang budiku sekali ini, aku akan kembali jika berhasil!" Maktika melesat ke dalam piala dan lenyap. Bian jatuh dan piala itu terlempar dikarpet.