Chereads / Riona / Chapter 14 - Jealousy

Chapter 14 - Jealousy

"Kunciku ketinggalan di meja Rie, makanya aku nggak bisa masuk," Luke mencoba menjelaskan. Tangan Luke mempersilahkan aku untuk memeriksa. Aku terhenyak. Hanya itu penjelasannya? Setelah semua ketakutan dan putus asa yang aku rasakan tadi?

Dengan ragu, aku berjalan ke meja makan, dan benar kunci cadangan Luke tergeletak di sana. Aku mulai bernapas lega dan setengah berlari menuju ke pintu depan, tiba-tiba dari arah kamar yang paling ujung kudengar suara hentakan keras di atap. Aku meloncat kaget.

Luke memberi kode untuk membuka pintu, aku buka dan dia menerobos masuk dengan tidak sabar dan melesat ke belakang. Tidak ada apa-apa. Luke kembali dengan muka kesal. Sambil lepas sepatu dia terus menebarkan pandangan ke seluruh ruangan, masih bersiaga. Aku duduk bersandar merapat ke tembok.

"Siapa yang tadi Luke?" tanyaku takut. "Di mana mobilmu?"

"Sudah kabur mahkluk itu, mobilku mogok di ujung jalan," jawabnya lemas.

"Jadi siapa yang telepon tadi Luke?" tanyaku ingin mengusir penasaran.

"Masih ada dua iblis yang bebas. Iblis pesugihan, Belpeghor, dan Asmodeus. Bisa jadi salah satu dari mereka. Tapi dugaanku pasti yang masih mengincar kamu, si iblis yang mengikat janji dengan orang tuamu," jawab Luke melipat lengan kemejanya hingga kesiku.

"Kenapa kamu tidak dobrak masuk aja tadi?" tanyaku masih penasaran. Luke menggeleng.

"Rumah ini sudah tersegel dengan mantra perlindungan, bahkan diriku tidak bisa menggunakan kekuatanku lagi. Ini adalah satu-satunya wilayah netral yang bisa menjadi tempat teraman buatmu, tapi mungkin tempat terlemah untukku," Luke menerangkan kenapa dia menjadi lemah.

"Itulah kenapa aku terluka malam itu karena seseorang menyerangku di depan rumah," tambah Luke. Sekarang semua terdengar sangat masuk akal.

"Kenapa iblis itu bisa mendobrak segel perlindunganmu?" tanyaku lagi.

"Dia tidak berhasil, dia gagal makanya kabur," jawab Luke sambil meraih bir dalam kulkas.

"Sampe kapan begini terus ya Luke, aku mulai capek," kuhempaskan diriku di sofa depan televisi.

"Sampai iblis itu tertangkap dan membatalkan perjanjiannya," sahut Luke. Aku berbaring dan memandang langit-langit.

"Sepertinya mustahil membatalkan perjanjian itu Luke. Mungkin biar aku nggak kesepian lagi, lebih baik menyerah dan bergabung dengan Mas Andre dan Mas Andri," cetusku tanpa pikir panjang. Luke tercekat.

"Pikiran yang picik dan bodoh, kamu pikir enak menjadi tawanan mereka di neraka?" balas Luke kesal.

"Daripada di sini? Hidup dalam ketakutan. Menyusahkan kamu dan teman-teman," gumamku.

"Jangan mutusin sesuatu yang kamu tidak tahu resikonya. Jangan bertindak bodoh seperti kedua orang tuamu," sindirnya ketus. Tidak ada rasa tersinggung sedikitpun dalam diriku. Memang betul yang dikatakan Luke.

"Aku sudah bekerja," pada akhirnya aku memberitahu dia.

"Kerja? Di mana?"

"Di kafe orangtua Panji."

"Kamu butuh sesuatu? Uang yang aku berikan kurang?" suara Luke mulai meninggi.

"Aku mau mandiri, tidak mau bergantung terus sama kamu. Saat tugasmu selesai, aku harus berdiri sendiri," belaku. Luke mendengus kesal.

"Tujuanku menjadi pengasuhmu bukan hanya untuk sekarang, tapi selama kamu bernapas. Jangan khawatir terhadap hal-hal yang tidak penting!"

"Terus apa bedanya aku dengan kedua orang tuaku Luke? Berharap kepada iblis?!"

Luke diam mematung, tidak menyangka kata-kata itu keluar dari mulutku.

"Aku tetap mau bekerja, dengan atau tanpa persetujuanmu."

Aku masuk ke kamar tanpa menunggu jawaban Luke. Maafkan aku Luke. Satu persatu orang yang kukasihi pergi, dan aku menjadi lemah. Jika aku tidak belajar dari sekarang, aku terus terluka dan bergantung. Aku tidak mau tumbuh sebagai benalu.

Pagi-pagi sekali, Luke sudah menunggu untuk mengantar kerja. Aku tidak mau berdebat dan membiarkan dia mengantar. Mungkin kali ini mengalah saja daripada beradu argument tidak penting.

"Rie, kamu tidak sama dengan kedua orang tuamu. Akulah yang meminta sendiri untuk melindungi dan hadir dalam hidup seorang Riona Nataline, bukan kamu," Luke memecah keheningan selama perjalanan menuju tempat kerjaku. Aku menelan ludah dengan rasa pahit.

"Sudahlah Luke, aku sudah cukup dewasa, mesti belajar arti bertanggung jawab," hiburku. Luke tersenyum tipis dan mengangguk setuju.

"Kita setuju untuk kali ini ya," kataku.

"Untuk hal tertentu saja, tapi tidak semuanya," sahut Luke.

"Maksudnya?" aku mulai geram karena yakin Luke akan mencari cara membuat jengkel.

"Tidak ada kesempatan buat Bian mendekati kamu, ok? No Way!" serunya keras.

"Memang kamu siapaku?!" jeritku kesal, Luke tidak menjawab dan langsung parkir di depan kafe. Aku keluar dengan geram. Masih saja dia mencoba mengatur hidupku. Aku seperti terbelenggu dalam semua aturan konyolnya.

Tadinya aku pikir Luke hanya mengantar. Tapi ternyata dia juga menghabiskan waktu di kafe dan menunggu selama aku bekerja. Bian yang kebetulan ada proyek untuk memasang billboard kafe tampak heran ketika melihat Luke berada di teras kafe. Maya dan Puri datang pagi itu untuk memberiku dukungan dan duduk bergabung dengan Luke.

"Aku masih bekerja, mana boleh bersantai," tangkisku dengan cepat.

Aku dan Panji sibuk melayani pengunjung yang cukup ramai pagi itu. Kehadiran Luke juga cukup menyita perhatian para kaum hawa yang memang mendominasi jumlah pelanggan kami hari itu. Bahkan ada yang nekat meminta kenalan dan bertukar nomor telepon. Maya terlihat dongkol setengah mati. Setelah lewat jam sepuluh, suasana mulai sepi dan pengunjung berkurang. Panji mengajakku bergabung dengan mereka.

"Berapa piring dan gelas yang kamu pecahin hari ini Rie?" tanya Maya menahan ketawa. Aku meringis dan melirik Panji.

"Untung bukan dia yang cuci piring, kalo enggak, habis isi dapur," goda Panji pura-pura menepuk dahi.

"Maaf, jangan dipotong gajiku ya," pintaku serius. Ketiga temanku terbahak.

"Wajar kok seperti itu, kami tidak akan memotong gajimu, Rie …," sahut Panji tersenyum tulus.

"Kenapa kamu kerja sih Rie? Bagus buat belajar tanggung jawab, tapi kalo kamu tidak keberatan aku bisa bantu kamu sampe lulus. Aku sudah punya usaha sendiri dan karyawan tetap. Biar kamu konsen kuliah," tawar Bian. Mukanya tidak terlihat bercanda. Aku mengangkat alisku dan mengibaskan tanganku pertanda jangan khawatir, Bian ternyata tidak main-main.

"Aku serius Rie," seru Bian lagi.

"Hormati keputusan Rie. Jangan paksa dan dukungan moral sudah cukup," seru Luke menatap Bian dari seberang dengan lekat. Aku melihat ada tatapan tidak suka Luke terhadap Bian.

"Hei, kita sebenernya bisa mengikuti Rie yang mau kerja biar mandiri, enggak mengandalkan orang tua terus," cetus Puri.

"Iya, tapi jangan di kafe ini, bisa bangkrut Ibu. Mana bisa gaji kalian semua. Staf yang lain mau dikemanakan?" protes Panji.

"Biar aku yang bicara sama Bulek, kalo kita bisa meningkatkan penjualan kafe ini pasti enggak berat buat gaji kita. Sistemnya insentif gitu." Puri tidak putus asa dan Justru mendapatkan ide yang cemerlang ternyata. Panji mengedikkan bahunya,

"Kamu coba saja, siapa tahu Ibu setuju," jawab Panji menyetujui. Maya memekik senang.

Saat istirahat sudah selesai dan aku beranjak untuk melanjutkan pekerjaan. Baru saja dua langkah, muncul seorang wanita yang sangat cantik dengan penampilan yang sangat sensual dan hampir memperlihatkan sebagian payudaranya. Bajunya berwarna hijau tua dan sepatunya senada. Wanita itu sexy dan terlihat mewah juga berkelas. Aku seperti pernah melihatnya tapi di mana? Memoriku tidak tergali dan hanya terpukau seperti yang lainnya.

"Luke, apa kabar? Lama tidak bertemu?"

Semua pandangan tertuju kepada wanita cantik yang berdiri di samping Luke dan mengulurkan tangan kepadanya. Luke kaget dan hampir tersedak kopi yang diminumnya. Siapakah wanita itu? Bau harum semerbak vanila menyebar, dan aku baru menyadari siapa dia. Bulu kudukku merinding bagaimana dia masih hidup?

Aku menatap Luke yang salah tingkah. Akhirnya aku menyusul Panji masuk ke dalam. Hatiku berdenyut nyeri. Wanita yang merupakan cinta pertama Luke, 2000 tahun lalu, telah kembali.

"Rie, salah tuang tuh," ucapnya sambil dengan lincah membalikkan loyang bolu di meja marmer untuk siap di potong.

"Astaga … maaf Pan." Aku menumpahkan semua gula di lantai. Jika bukan milik orang tua Panji, temanku sendiri, mungkin aku sudah dipecat. Aku menjadi semakin gugup karena teriakan dari staf dapur untuk segera mengantar minuman ke depan. Aku membawa nampan dan meluncur ke depan.

Mataku melirik ke arah Luke, dia tidak memperhatikan aku sama sekali. Keduanya sibuk membicarakan sesuatu yang aku tidak bisa pahami bahasa mereka. Luke bangkit dan menggandeng tangan wanita itu, aku terhenyak.

"Luke …," tanpa sadar bibirku memanggil namanya, Luke menoleh tapi tidak mengucapkan sepatah kata pun. Dia berlalu dariku dengan terus memegang tangan wanita tersebut dan tidak menoleh lagi. Maya menyentuh lenganku pelan, aku menunduk.

"Siapa dia Rie? Kenapa Luke sikapnya aneh kayak gitu?" tanya Maya. Aku terdiam tidak menjawab.

"Itukah laki-laki yang mau kamu andalkan Rie?" tanya Bian dengan sinis. Bertubi-tubi pertanyaan dari mereka tidak kujawab. Mobil Luke lewat dengan kecepatan tinggi, meninggalkan aku di kafe tanpa penjelasan.