Saat terjaga, aku merasakan sakit kepala hebat. Badanku menggigil dan mulut terasa panas. Aku mungkin demam karena kehujanan semalam. Pintu kamarku terbuka, Luke muncul dengan mangkuk ditangannya,
"Minum sup ini dulu terus minum obat," katanya, aku menurut dan tidak melawan seperti biasanya.
"Sudah jam berapa ini?" tanyaku.
"Jangan tanya yang lain-lain dulu, kamu harus istirahat," jawab Luke menyelimuti tubuhku. Mulut ini terasa pahit dan bibir juga kering. Dengan susah payah menelan cairan sup, Luke memberi obat dan menyelimuti aku kembali.
Samar- samar aku melihat Luke menyentuh dahi dan membetulkan selimut. Demamku semakin parah, dan nyeri pada sekujur sendi sangat menyiksaku. Luke memeluk kepalaku dan membisikkan kata-kata yang menenangkan. Aku merasa damai dan tenang seketika.
Entah berapa lama aku tertidur. Aku bangun dengan setengah limbung. Bajuku basah kuyup oleh keringat. Tapi saat kusentuh leherku sudah mulai dingin. Suara ramai orang berbicara terdengar dari ruang tamu dan cukup mengusikku. Mirip suara Maya dan Puri.
Aku membuka pintu kamar dan jalan menuju ke ruang makan, benar. Maya, Puri dan Bian duduk di kursi tinggi dekat meja racik dapur. Luke terlihat memamerkan keahliannya memotong dengan kecepatan fantastis dan memakai apron warna ungu kesukaanku. Aku tertawa pelan, tapi membuat semuanya menoleh.
"Hai Rie dah baikan?" sapa Bian riang. Tampak sekali dia ingin memberi perhatian padaku.
"Aduh Rie, Luke pinter banget nih masak," seru Puri dan diiyakan Maya dengan acungan jempolnya. Luke meletakkan pisaunya dan berkacak pinggang menatapku dengan pandangan serius.
"Itu ayam panggang kamu yang masak?" tanya Luke, aku mendadak teringat dan merasa kikuk namun tetap mengangguk, Puri dan Maya terbeliak menatapku.
"Kamu bisa masak Rie?!" tanya mereka berdua bersamaan.
"Enak," puji Luke terlihat sungguh-sungguh. Aku mengulum senyum. Sempat cemas karena tidak yakin akan hasil masakanku.
"Masih ada Luke?" tanya Bian penasaran, Luke menggeleng.
"Habis, udah masuk sini," jawab Luke sambil mengelus perutnya. Bian mendesah kecewa. Hatiku mendadak riang. Aku pamit untuk membersihkan diri dan membiarkan mereka melanjutkan obrolan dengan Luke. Semangatku bangkit kembali. Aku baru menyadari bahwa aku membutuhkan teman saat ini, dan aku membutuhkan Luke untuk membuatku berdiri kembali. Aku memahami, Luke tidak berusaha menambah kesulitanku, dia sedang berusaha mengajariku untuk menjadi Riona yang lebih tegar.
Setelah mandi aku bergabung dengan mereka. Kami makan malam dengan suasana menyenangkan. Celoteh Puri tentang pengalamannya sempat dijodohkan oleh sang kakek mengundang gelak tawa. Tidak ketinggalan Maya yang meledek Puri setelah menunjukkan foto calon suaminya yang ternyata sudah setengah umur. Ternyata topik tersebut sempat menjadi pembicaraan hangat kalangan mereka.
Ponsel Puri berpindah dari satu tangan ke yang lain. Saat giliran Luke, mukanya mendadak berubah serius. Terlihat sedikit gugup dan gusar. Tidak ada yang menyadari itu kecuali aku.
"Kapan terakhir kali kamu ketemu dia Puri?" tanya Luke ringan tapi tampak dia mencoba menutupi kegusarannya.
"Udah lumayan lama sih, sekitar tiga bulan yang lalu," sahut Puri sambil menyimpan kembali ponselnya. Luke tersenyum kaku.
"Nah sekarang ngaku hayo, pacarmu Daniel anak teknik kan?" celetuk Puri berbalik menggoda Maya. Kesempatan baik untukku mengalihkan pembicaraan.
"Gue dah nebak pasti Daniel cowok gaul yang sering nongkrong di kantin," celetuk Bian. Maya melotot ke arah Bian.
"Ngaco, cowok berandalan gitu males banget," kelitnya.
Aku biarkan mereka melanjutkan tebakan perjodohan. Aku dibantu Luke membereskan piring dan mencucinya.
"Siapa lelaki di foto?" tanyaku pelan sambil menggosok piring satu persatu.
Luke terdiam.
"Luke?" panggilku masih mencoba menyelidik dan mendapatkan jawaban. Luke menggelengkan kepalanya dan tersenyum terpaksa.
"Kalo kamu berencana menyimpan ini dan tidak melibatkan aku lagi, mendingan buang jauh-jauh pikiran itu. Karena aku nggak akan tinggal diam," ancamku. Luke menelan ludah dan meletakkan piring terakhir yang dilapnya.
"Dia salah satu alasanku datang ke dunia ini," jawabnya pelan. Kedua tangannya bertumpu pada meja marmer dapur. Aku memiliki perasaan tidak enak.
"Kita gali informasi lebih jauh dari Puri atau?" tanyaku, Luke tampak ragu.
"Aku nggak mau mengganggu temanmu, biar aku cari info sendiri," sahutnya dan berlalu, aku mencegatnya dan tanpa sadar lenganku menyentuh dadanya. Detak jantungnya terdengar kencang, dan aroma tubuhnya yang khas tercium dihidungku. Sial, bagaimana aku bisa memiliki perasaan berdebar-debar.
"Aku ijinkan kamu mengganggu mereka, toh tidak ada salahnya minta bantuan teman-temanku, demi kebaikan bersama," kataku sambil menarik tanganku buru-buru. Luke mengernyitkan dahinya.
"Yakin?" tanya Luke seperti tidak percaya, aku mengangguk.
"Mereka juga teman kamu kan? Tidak ada salahnya mencoba kalo memang informasi itu penting buatmu," sahutku sambil tersenyum.
"Coba kamu terus bersikap manis dan baik begini terus, jauh lebih menarik," ledek Luke. Aku kembali melotot dan menginjak kakinya.
"Asal kamu juga jangan cari masalah!" bisikku judes. Luke pura-pura meringis. Aku mencibir kesal.
"Drama queen …," desisku sinis. Luke tertawa.
Kami berdua kembali ke ruang makan dengan membawa es krim cokelat bertabur kacang mete yang terlihat sangat menggiurkan. Semua langsung menyerbu mangkuk besar ditengah meja.
"Ri, aku penasaran sama nasib om-om tua yang nggak jadi nikah sama kamu itu," tanyaku memancing.
"Biar ajalah, orang setajir dia gampang cari cewek cakep yang mata duitan," sahut Puri sambil menyendok es krim kembali dengan lahap.
"Yah kalo dikampung sih lebih gampang bohongin ceweknya, tapi kalo di kota, bukan cuman dompet tebel tapi tampang kudu lumayanlah ya," lanjutku tidak kalah semangat menghabiskan es krim,
"Siapa bilang, buktinya dia dah nikah dua kali di Magelang, akur lagi kedua istrinya," lapor Puri tanpa sadar sedang kami gali informasinya. Maya hampir tersedak,
"Poligami?" tanyanya, Puri mengangguk.
"Enaknya punya dua istri bisa akur," timpal Bian, Maya langsung terlihat sewot.
"Maunya,emang situ punya uang dan modal!" Bian tertawa senang bisa membuat Maya kesal.
Aku melihat ke arah Luke dan tersenyum. Dia membalas tanpa suara, tapi entah aku yang salah lihat karena terbawa perasaan atau memang dia mengucapkan "I love you". Aku mendelik gugup dan tanpa sadar bertanya keras.
"Apa?"
"Thank you!" balas Luke tidak kalah keras.
"Apaan sih, kok teriak-teriak?" tanya Bian heran.
"Aku mengucapkan terima kasih karena Rie sudah mengizinkan aku bergabung dengan kalian malam ini," terang Luke tidak lepas memandangku. Aku terdiam mematung pasrah saat Luke memandang dengan tidak berkedip.
"So sweet punya uncle kayak kamu Luke," seru Maya makin meleleh.
"Boleh dong uncle, kita deketin keponakannya," Bian dengan iseng melempar isyarat untuk pendekatan kepadaku.
"Langkahi dulu mayatku Yan," jawab Luke menepuk pundak Bian dan bangkit berdiri meninggalkan kami. Bian langsung lemas dan disambut ketawa oleh Puri juga Maya. Aku tersenyum menggelengkan kepala. Luke melewatiku dan mengecup rambutku yang disambut sorakan Puri dan Maya, Bian mencibir gemas.
"Manas-manasin mulu," dengusnya kesal.