Tidak kami sangka, Fiona sangat cepat beradaptasi terhadap kehidupan kami dengan cukup pesat. Dari ceritanya, Fiona tidak pernah menikmati kehidupan di dunia modern selama berabad-abad. Selain karena mereka harus hidup bersembunyi supaya orang tidak curiga sebab mereka tidak pernah menua, Mariane juga tidak pernah mengizinkan Fiona hidup normal sedikit pun. Tidak ada televisi, teknologi seperti ponsel ataupun baju model terbaru.
"Bagaimana kamu bisa nyampe di sini?" tanya Maya heran sambil merapikan rambut Fiona.
"Himauwe yang membantuku. Dia yang mengatur perjalananku naik burung besi. Aku terpaksa menghipnotis seseorang selama perjalananku. Karena aku tidak punya uang sepeser pun," sahut Fiona dengan datar.
"Burung besi? Pesawat maksud kamu?" ralat Puri geli. Fiona tersipu.
"Iya. Aku masih perlu belajar terminologi yang lebih modern, semua bahasa yang kupelajari sudah jauh tertinggal ya," ucapnya malu-malu.
"Nanti lama-lama akan terbiasa. Nah, sekarang kita harus menata hidup kamu supaya berbaur dengan manusia seutuhnya. Kami akan mengikut sertakan kamu dalam program sosialisasi kita," cetus Maya antusias.
"Aku harus bekerja bukan? Untuk mendapatkan uang? Karena setahuku, hidup di dunia manusia semua harus dibayar dengan uang. Benar begitu?" tanya Fiona polos.
"Kamu nggak usah khawatir. Uang nggak begitu penting, sekarang apa rencana kamu dan mau ngapain aja selama nunggu kabar Luke? Selain mengikuti program Maya, tentunya" tanyaku. Fiona menggeleng lemah. Aku termenung memikirkan aktivitas tepat buatnya.
"Aku bisa menghabiskan waktu untuk masak dan bersihkan rumah. Aku pandai bikin kue," seru Fiona akhirnya. Kami tertawa. Hari ini kami bertiga menghabiskan waktu membeli baju dan mendandani rambut Bella. Maya bahkan punya ide gila untuk memotong rambut Fiona menjadi sebahu, supaya mirip denganku. Kami memekik girang. Aku betul-betul mengagumi cara Tuhan menciptakan kami seperti kembar identik. Hanya tinggi yang membedakan kami. Fiona sekitar lima senti lebih tinggi dariku.
"Tahi lalat di dagumu itu yang aku tidak punya," ucap Fiona mencolek daguku. Aku mendongakkan wajahku. Betul.
"Fiona, Kenapa kamu bisa berjalan di bawah sinar matahari? Kamu kan vampir? Seharusnya tidak bisa kan?" tanya Maya penasaran sambil memilih sepatu untuk Fiona.
"Himauwe membuatkan ini untuk kaumku," jawab Fiona memamerkan kalung emas indah dengan liontin berinisial F.
"Himauwe bantu banget ya?" cetus Puri sembari membawa keranjang kami menuju ke kasir.
"Dia harus hidup selama kaum Farley masih ada. Orang tua yang malang." Fiona tampak termenung. Puri geleng-geleng. Kehidupan Fiona sangat ajaib dan sulit diterima nalar. Ternyata begitu banyak makhluk unik yang hidup di sekitar kami. Semua tersembunyi dan kami tidak tahu identitas mereka sesungguhnya.
Sore hari kami tiba di rumah. Fiona membongkar semua belanjaan dan merapikan di lemari. Kamar tamu yang diujung kami sulap menjadi kamarnya. Gadis itu tampak sangat terharu. Mungkin sudah terlalu lama dia tidak menerima kebaikan dalam hidupnya. Bian datang membawa makan malam dan kami menghabiskan waktu dengan mendengar cerita Fiona sambil menikmati santapan.
"Bahasa Indonesia kamu lancar banget Fiona," pujiku.
"Well, aku punya waktu dua ratus tahun untuk mempelajari semua bahasa," sahutnya.
"Termasuk menjadi dokter?" tiba-tiba Panji muncul dengan dua kotak pizza.
"Darimana kamu tau?" tanya Bian heran.
"Dari cara dia mencuci tangannya kemarin. Kebiasaan dokter bedah yang tipikal banget, tanpa disadari kebawa," terang Panji. Fiona tertawa dan membenarkan.
"Kamu cermat dan teliti sekali," serunya riang. Diam-diam aku melihat Panji menatap Bella dengan kagum. Ada rasa lega yang menyelinap dihatiku. Semoga Panji bisa menjadi awal bagi Fiona menemukan cintanya.
***
Pagelaran seni baru saja selesai dengan sukses. Kerja keras kami berbuah keberhasilan. Aku duduk di kursi sambil memandang sampah yang berserakan. Rasa lelah mulai menyergap tubuhku. Bian masih sibuk mengkoordinasi timnya untuk mengangkut kembali semua peralatan ke gudang. Fiona dan Maya datang setelah selesai mengurus pembayaran grup band.
"Balik?" tanya Maya.
Aku menunjuk ke semua sampah dan sisa balon yang mengantung.
"Biar aku beresin, cuman butuh sekitar ... tiga menit?" ucap Fiona. Belum sempat aku mengiyakan, Fiona bergerak seperti tokoh film flash, membersihkan semuanya dalam waktu singkat. Untunglah tidak ada siapa pun saat itu. Hanya Bian dan Panji yang terpaku menatap Fiona yang beraksi bak superhero.
"Dah selesai," serunya sambil mengibaskan tangannya dari debu. Maya memeluk Fiona dengan antusias. Aku tersenyum penuh syukur. Gadis ini betul-betul berniat menunjukkan sifat baiknya. Jika dihitung umur manusia, Fiona baru berumur 20 tahun. Selama bertahun-tahun hidup dengan ibunya yang psikopat, dia tidak memiliki teman ataupun sahabat. Hatiku iba melihatnya. Fiona ternyata bukan monster, walaupun vampir, aku melihat sisi manusia yang sepertinya terpendam selama ini.
Kami berjalan pulang dengan tenaga terkuras habis. Aku membayangkan tempat tidurku yang nyaman. Begitu tiba di rumah, kami semua terhenyak. Winda terkapar di depan rumah dengan leher berdarah. Gigitan vampir! Semua pandangan mengarah ke Fiona yang mundur ketakutan.
"Bu-bukan aku. Bu-bukan aku Rie" bisiknya gemetar. Aku mempercayai dia. Fiona terlihat ketakutan, jelas dia tahu gigitan siapa yang tergores di leher Winda.
"Mariane datang," desisku. Wajah Fiona tampak makin pucat.
Kami segera membawa Winda masuk dan membaringkan di sofa. Untunglah Winda hanya syok. Melalui darah Fiona yang dia telan akan membantu menyembuhkan luka Winda lebih cepat. Aku meminta pada Fiona untuk menghipnotis dan membuat Winda melupakan semua yang dia alami saat tersadar nanti. Ternyata mengetahui beberapa fakta tentang vampir cukup membantu mengatasi situasi saat ini.
"Kamu percaya dia?" tanya Puri setengah berbisik. Aku memandang Fiona yang duduk di gazebo dengan gelisah. Maya bersama dengannya dan terlihat sedang memenangkan.
"Tidak usah berbisik, dia tetap bisa mendengarmu walau dalam radius seratus meter," aku menyahut sambil meluruskan kakiku. Puri seketika bungkam.
"Kita akan tau kalo Winda bangun nanti, Ri," jawab Bian mewakiliku.
"Nggak perlu. Kalian tidak lihat ekspresi horor di mukanya? Dia ketakutan. Satu-satunya orang yang bisa membuat Fiona ketakutan adalah Mariane, Ibunya," timpalku. Panji memeriksa Winda kembali. Aku memberi isyarat kepada Panji untuk menemani Fiona dan Maya di gazebo.
"Kita gantian berjaga-jaga. Mungkin Mariane akan kembali," ucapku sambil merebahkan diri di sofa depan televisi. Puri berbaring di sebelahku. Tidak lama aku terlelap.
Suara jeritan Maya membangunkan kami. Puri dan Panji melesat ke arah garasi. Maya terkapar dalam pelukan Fiona yang meraung penuh amarah. Kami tidak sempat melihat dua sosok yang melesat kabur begitu kami tiba di garasi. Kakiku lemas terpuruk di rumput. Puri dan Panji tidak sanggup lagi mengejar mereka setelah melihat kondisi Maya. Bian berdiri terpaku.
Ratapan pilu Fiona meyakinkan kami. Maya tidak terselamatkan.