Sebulan berlalu. Hidupku cenderung datar dan hanya berkutat di kampus, kafe dan kamar kos yang sekotak. Rasa puas memenuhi dadaku saat melihat tabungan yang semakin bertambah. Sejak uang Luke kukembalikan, aku memenuhi semua kebutuhan dengan gaji dan honor sebagai asistan dosen. Kini bukan hanya Ibu Ira yang memintaku, bahkan pak Teguh dan dua dosen lainnya mulai memintaku untuk membantu mereka. Tante Laras setelah delapan bulan aku bekerja untuknya, menyerahkan manajemen kafe kepadaku, Puri dan Panji.
Tidak terasa, kafe bertambah ramai, dan bukan hanya kaum manusia yang menjadi pelanggan kami. Beberapa makhluk unik, vampir dan kaum setengah manusia pun selalu memenuhi kafe ini. Ide ini semula karena Panji yang memiliki beberapa teman dan kenalan yang bukan ras manusia. Akhirnya berlanjut mendapat dukungan dari semua keluarganya. Mungkin karena pamor Om Baskara juga yang terkenal sebagai pendamai dan pelindung kaum unik yang membuat mereka nyaman. Semua makhluk diterima dengan baik bagi yang berniat hidup tenang berdampingan dengan manusia seutuhnya. Lambat laun, kafe Panji menjadi tempat netral di mana segala bentuk sihir dan mantra dilarang. Tempat ini merupakan pilihan bagi kaum yang sedang mencari mediasi untuk berdamai.
Bian sering datang untuk membawa teman kuliah kami. Tim basketnya selalu menghabiskan akhir pekan bermain bilyar. Kami menjadikan tempat ini sebagai tempat kami menjalani hidup dan menghabiskan waktu bersama. Sembari bekerja kami meluangkan waktu yang berkualitas dalam persahabatan.
Aku baru saja selesai menginput penjualan minggu ini, ketika Egi salah satu karyawan kami, yang paling jago ilmu tenaga dalamnya, bersiul dan mengatakan bahwa ada seseorang menungguku di meja nomor delapan. Aku mengernyitkan keningku. Siapa? Dengan tidak sabar aku menuju ke area kafe. Di meja nomor delapan ada empat orang gadis cantik, salah satunya Sarah. Tiga orang lainnya aku tidak mengenal, muka mereka luar biasa mempesona. Aku teringat Maktika. Sungguh, manusia seperti mereka sangat beruntung memiliki fisik sempurna. Aku duduk dan menyapa mereka.
"Kamu inget aku kan, Sarah?" serunya ragu. Aku tersenyum dan mengiyakan.
"Ok Rie, ini Falia keturunan dewi hujan, Elna keturunan raja elf, dan Abigail keturunan Lucifer. Aku sendiri putri Abaddon," papar Sarah memperkenalkan satu persatu. Aku berdecak kagum. Semuanya cantik dan menawan. Jelas mereka tampak lebih muda dariku semua.
"Ada apa ya Sar, tumben mampir ke sini," tanyaku.
"Kami menghabiskan waktu dan menikmati suasana kafe yang terkenal ini. Kami juga dengar dari manusia hibrid yang gak jelas itu, siapa? Fiona? Katanya Luke pacar kamu?" tanya Sarah tanpa sungkan atau malu.
"Dulu, sekarang kami memilih jalan sendiri-sendiri kok," sanggahku. Falia langsung mengerjapkan mata senang.
"Tidak sia-sia dateng ke sini dan dengar kabar bagus," pekiknya gembira. Sarah tersenyum puas.
"Ya sudah, silahkan lanjutin ngobrolnya, aku masuk dulu ya," pamitku, mereka mengangguk ramah.
Di dalam kantor aku duduk dengan gamang. Kenapa saat mereka menyebut Luke aku masih berdebar? Kutepiskan cepat-cepat pikiranku dan bergegas menuju depan membantu Puri karena jam makan siang hampir tiba.
Puri mengangkat tumpukan piring dengan sigap. Aku hampir menabraknya dangan nampan isi gelas. Egi langsung meraih nampanku dan piring bersamaan, posisi tubuhnya mirip adegan kungfu.
"Show off," ledek Puri. Egi yang agak sedikit tomboy tersenyum bangga.
"Thank's Gi! Meja nomor empat complain makanannya belum diantar," kataku mencoret satu persatu pesanan. Egi bersiul ke dapur sambil meneriakkan nomor pesanan. Di kafe ini, Puri dan Panji merekrut karyawan yang memiliki kemampuan khusus semua. Terutama sejak menjadi tempat hang-out makhluk unik. Jadi jika ada yang bertindak macam-macam karyawan kamilah yang bertindak mengamankan.
Panji datang dari depan sambil membisikkan sesuatu kepada Puri. Aku tidak memperhatikan dan langsung mengantar pesanan ke meja di teras kafe. Saat kuletakkan bir dan snack tamu itu menoleh. Deg. Luke!
Aku menoleh ke belakang, Panji dan Puri sedang menahan ketawa. Aku bingung harus mengatakan apa.
"Pesanan sudah lengkap ya, selamat menikmati pak," ujarku dan segera berlalu tanpa menoleh lagi. Luke tidak menjawab.
Kucubit keduanya dan omelan mengalir dari bibirku.
Egi masih sibuk meredam sepasang kekasih elf yang sedang menumbuhkan bunga di piring mereka. Sementara karyawan yang lain sedang berjibaku dengan pesanan dan membersihkan meja.
"Luke memang super tampan, liat tuh, udah lima cewek yang ngantri sambil berharap bisa menarik perhatian dia," cetus Puri. Aku tidak mau menoleh. Hiruk pikuk kafe siang ini cukup menyita tenaga dan pikiranku.
"Kitchen! Speed up dikit yuk, dah lambat banget nih," teriakku. Panji muncul dari jendela serving dan menampilkan wajah cemberut.
"Kurang chef kita, semua jadi melambat," keluhnya.
"Udah rekrut lagi aja. Bawel ih," omel Puri menanggapi keluhan Panji.
"Cewek-cewek tadi kenapa?" tanya Puri padaku. Aku merapikan tisu di kotak sembari menoleh padanya.
"Biasa, groupies-nya Luke," sahutku. Puri geleng-geleng kepala.
"Sekian ratus gadis mengantri untuk menjadi kekasih Luke dan kamu malah lepas dia karena salah paham yang kamu tahu sebenarnya tidak perlu," protes Puri. Aku mengusap anak rambutku yang terjuntai di dahi.
"Maya meninggal karena rencana Luke yang nggak matang, Mariane datang karena ingin membalas dendam atas keputusannya menyingkirkan wanita itu menjadi penguasa di Merlow. Di tambah lagi, Luke tidak pernah berpikir tentang orang lain selagi dia memiliki rencana untuk memenuhi permintaan rajanya, Abaddon. Sorry Puri, aku tidak bisa bersama dengan dia," paparku panjang lebar dan Puri tertegun.
"Setidaknya nikmati selagi bisa," tukasnya lirih. Aku menggeleng lesu.
"Dan membiarkan hatiku semakin lemah dan menjadi sulit ketika harus melepas dia?" tanyaku. Puri mengibaskan tangannya cepat-cepat.
"Sudahlah. Kita lihat takdirmu nanti," pungkasnya.
"Mending sama Bian aja," imbuh Egi setengah menggodaku.
Aku menepuk dahi dan kembali ke depan. Tubuhku membeku. Sebuah momen yang menguncang siangku, Mariane masuk ke kafe dengan anggun. Semua mahkluk, kecuali manusia, menatapnya. Apa yang akan terjadi lagi hari ini? Kurang berdoakah diriku hingga beruntun kejadian tidak menyenangkan harus kualami? Egi dan ketiga karyawan yang lain langsung memberi kode saat Luke bersiul dan sekelompok orang mengepung kafe. Beberapa manusia yang tidak tahu, langsung memilih kabur. Hanya tersisa mahkluk unik yang masih tinggal.
Mariane duduk di salah satu kursi dan duduk dengan santai. Darahku mendidih. Vampir jahanam pembunuh Maya kini datang menyerahkan dirinya. Tanganku terkepal dan rasa ingin menerjang wanita licik itu begitu kuat. Kehilangan akal sehat saat ini. Hatiku terlalu membenci Mariane teramat sangat!