Chereads / Riona / Chapter 39 - Luke, The Protector

Chapter 39 - Luke, The Protector

Om Bas tiba tidak berapa lama dengan dua staf khususnya, disusul Fiona dan Luke. Pikiranku terlalu buntu untuk memikirkan semua hal. Dua tahun mengalami tragedi yang tidak berkesudahan membuatku lelah.

Kami duduk pada salah satu meja kafe dan mulai mendiskusikan siapa kemungkinan dalang dibalik semua ini.

"Ini laporan buron internasional terbaru pak," ujar seorang wanita yang tampaknya merupakan orang penting di kesatuan khusus. Om Bas mengangguk. Matanya menelusuri satu persatu nama di layar tab.

"Aku tidak bisa mengingat satu persatu musuhku," cetus Luke sambil menghempaskan tubuhnya di sofa belakang meja.

"Iyalah, sejak Rie hilang kamu kan sembarangan aja bunuh penjahat!" gerutu Puri kesal. Aku terkesiap.

"Untung nggak kena sanksi dunia kamu!" lanjut Puri masih bernada jengkel. Luke tersenyum.

"Nggak ada clue sama sekali," Om Bas tampak buntu.

"Kecuali satu hal, ini baru kemungkinan ya," tiba-tiba Bian muncul dan memberikan suaranya. Semua berpaling dan menunggu kalimat berikutnya.

"Kaum Faley masih tersisa, dan mereka mau balas dendam" sambung Bian penuh keyakinan. Fiona yang sedari tadi diam mulai terlihat ingin mengucapkan sesuatu.

"Mungkin Marco ...," desisnya lirih.

"Marco siapa Fie?" tanya Panji kepada tunangannya.

"Marco pamannya, adik Mariane," Luke yang menjawab dan mulai berfikir.

"Tidak ada dalam daftar buronan dengan nama itu," balas wanita yang di samping Om Bas sambil mencari dengan teliti di tabnya.

"Berapa besar kemungkinan dia adalah dalangnya, Fiona?" tanya Om Bas. Belum sempat Fiona menjawab, salah satu bunga di pot yang tergantung di dinding, sulur tangkainya memanjang dan terjulur hingga mencapai meja di mana kami semua terduduk.

"Aku Gulinzi, Raja Elf di negeri timur, akan membantu kalian menemukan Marco," desis bunga itu. Bagiku dan Bian itu pengalaman pertama kali.

"Hai Gulinzi," sapa Om Bas ramah.

"Temukan putriku, dan akan kubalas kebaikanmu dengan perlindungan seumur hidup dari kami kaum Elf timur," desis bunga itu kembali.

"Temukan di mana Marco berada, dan akan kami ringkus," janji Om Bas. Bunga itu menunduk hormat dan kembali memendek, lalu normal seperti sebelumnya. Itu luar biasa ajaib!

"Rupanya musuhku mencari masalah besar," desis Luke sinis.

"Tolong kali ini, ikuti cara kami Luke!" seru Om Bas tajam.

"Kekacauan akan bertambah jika kau semena-mena, ini menyangkut Rie, kaum kami," kembali Om Bas menegaskan. Luke memandangku. Aku menunduk risih.

"Rie akan ikut bersamaku kemana pun aku pergi. Keselamatannya adalah tanggung jawabku," kata Luke dengan masih menatapku tidak berkedip.

"Tidak tanpa persetujuanku," sahutku ketus.

"Kali ini kamu tidak ada pilihan, Rie," kata Om Bas sambil menepuk meja.

"Aku bisa menjaga diri!" tukasku kembali.

"Kamu bahkan tidak tahu seberapa banyak musuh yang harus dihadapi!" pekik Puri kesal dengan keras kepalaku.

"Ikuti Luke, biar kami konsentrasi mencari Marco dan komplotannya," tambah Puri.

Aku terdiam. Mati kutu.

***

Luke membeberkan rencana perjalanannya. Baru kuketahui bahwa setiap hari dia harus berkeliling memastikan semua gadis yang dalam perlindungannya aman. Itulah kenapa jarang sekali dia bisa bersamaku dulu.

Aku merapikan pakaianku ke dalam koper. Sepertinya aku harus mempersiapkan semuanya, karena perjalanan kami mungkin akan memakan waktu berminggu-minggu.

"Kamu sudah siap?" tanya Luke di pintu kamarku.

"Hampir, aku perlu memasukkan ...,"

"Tidak perlu kau bawa semua baju itu, keperluanmu akan kusediakan, bawa yang perlu saja. Kutunggu di depan," potong Luke dan berlalu. Aku menghentakkan kaki dengan kesal. Akhirnya, hanya tas ransel kecil yang berisi dompet, laptop dan ponsel saja yang kubawa. Saat tiba di depan rumah dan mengunci pintu, Luke duduk diteras menunggu.

"Aku siap," kataku tanpa memandang ke arahnya. Luke bangun dan berjalan mendekatiku.

Direngkuhnya tubuhku dan sesuatu dari balik punggungnya muncul serta melebar seperti sayap. Aku memekik kecil. Sayap itu begitu indah, putih dan bersih. Dengan sekali hentakan, kami melesat ke atas. Aku semakin memekik ketakutan. Kupeluk tubuh kekar Luke tanpa segan. Seulas senyum terukir di wajahnya. Aku tidak peduli. Ketakutanku mengalahkan gengsi. Pemandangan bumi dari bawah sangat indah. Lampu berkelap kelip dan berpijar laksana bintang di langit. Kami mengarungi langit menuju Singapura.

***

The Girls

Kami mendarat di salah satu roof top hotel bintang lima di Singapura. Seorang pemuda menyambut kami dan memberikan kunci kamar yang berupa kartu.

"Thanks Lee," sapa Luke.

"Anytime General!" balas pemuda itu antusias. Jendral? Huft, makin besar kepala iblis satu ini, batinku. Kami turun dan menuju kamar. Luke mempersilahkan aku masuk dan dia menutup pintu di belakangnya.

"Ma-maksudmu kita se-sekamar?" tanyaku gugup. Luke menyeringai nakal.

"Menurutmu?" sahutnya terlihat gemas. Aku mundur dan gemetar. Oh Tuhan, seandainya aku diperkosa, lebih baik aku loncat dari jendela dan mati, batinku panik. Luke makin mendekat, aku jatuh di kasur dan sangat ketakutan. Wajahnya tampak sangat bernafsu. Aku memejamkan mata pasrah sambil terus berdoa dalam hati. Air mataku bergulir hangat. Berikutnya kurasakan kecupan lembut di kening, dan berhenti.

"Riona oh Riona, masih sama seperti yang dulu," seru Luke sambil tertawa. Aku membuka mata dan Luke tampak sudah berdiri sambil membuka kancing bajunya.

"Brengsek kamu!" desisku penuh emosi. Luke melempar kemejanya ke lantai dan berjalan menuju kamar mandi. Di pintu ia berhenti.

"Maukah kau bergabung denganku Brie," ledeknya lagi. Aku membuang muka dengan kesal. Luke terbahak dan menutup pintu kamar mandi.

Aku menghempaskan diriku di kasur. Sangat menakutkan bersama dia. Dulu, saat kami masih bersama, mungkin akan menyenangkan keadaan seperti sekarang. Tapi kini di antara kami sudah tidak ada apa-apa, dan Luke tidak lebih dari seorang iblis yang mungkin dengan mudahnya meniduri perempuan manapun yang dia mau. Bunyi bell kamar membuyarkan kenanganku. Aku mengintip dari lubang pintu dan seorang gadis cantik dengan baju sexy berdiri. Riasan wajahnya sangat mencolok.

Aku membukanya dengan ragu.

"Hello? Am I got the wrong room?" seru gadis itu bingung.

"Who are you looking for?" tanyaku.

"Lucas, my Guardian Angel," serunya dengan riang. Aku mengangguk dan mempersilahkan masuk. Gadis itu tampak girang.

"Have a seat please," tawarku yang di sambut dengan langsung merebahkan dirinya di kasur. Aku kaget dan sedikit jengkel, seenaknya saja dia tiduran.

"You must be ...,"

"Riona," sahutku memperkenalkan diri.

"Scarlet," balas gadis itu dengan cuek.

"I never thought Luke will bring his maid," katanya dengan santai. Hatiku mendadak kesal dengan ucapan Scarlet. Enak saja dia menyebutku pembantu. Pintu kamar mandi terbuka dan Luke muncul hanya dengan handuk. Tubuhnya yang masih terlihat setengah basah sangat sexy dan maskulin sekali. Scarlet memekik manja dan berlari menyerbu Luce.

Aku membuang muka risih.

"Scar, stop it!" bentak Luke.

"Luuuuuke, what took you so long to come?" desahnya tanpa tersinggung sambil beringsut menyingkir. Luke mengelengkan kepalanya dan membuka lemari mengambil sepasang baju dan masuk kembali ke kamar mandi.

Semenit kemudian Luke keluar.

"Ok Scar, mind your behaviour. This is Riona, my fiance," ucap Luke sambil menggulung lengan kaosnya hingga kesiku. Aku tertegun. Tunangan? Dia memperkenalkan aku sebagai calon istrinya? Di mana otak iblis gila satu ini?

"Oh ..., i did'nt know that. I thought she is ...,"

"She is not my maid! She's beautiful than all of you. How dare you call her my maid??!!" cetus Luke memotong kalimat Scarlet. Aku baru tersadar saat melihat Scarlet dengan kemampuan mata batin yang pernah kuperoleh, wujudnya sangat mengerikan. Tubuhnya sensual, tapi kulit seluruh tubuhnya berwarna hijau dan wajahnya seperti goblin dengan taring mencuat ke atas. Kaki dan tangan Scarlet seperti kaki kambing. Mendadak aku mual.

Scarlet bersungut kesal.

"Rie, dia adalah putri raja goblin di wilayah sini. Ada sepuluh lagi yang kulindungi, dan aku mengumpulkan mereka di hotel ini. Bersiaplah bertemu dengan mereka," ucap Luke memberitahu.

"Apakah aku wajib ikut?" tanyaku langsung merasa malas. Terakhir kali bertemu dengan grup Sarah, aku merasakan intimidasi yang mengesalkan.

"Tidak ada penolakan. Kau ikut kemana pun aku pergi," jawab Luke.

Aku tidak menjawab lagi dan segera menuju kamar mandi.