Matahari hangat jatuh menempa wajahku. Aku membuka mata. Jendela hotel terbuka dan aku melihat menara ujung Eifel. Ciuman Luke di pundakku membuatku geli.
"Luke ...," seruku menghindar dan tidak tahan akan rasa geli.
"Kayaknya kamu harus menjauh. Aku bisa nggak tahan," pinta Luke mengigit bibirnya. Aku tertawa dan menggodanya. Sudah sepuluh hari kami berpindah dari satu kota ke kota lainnya. Hampir seluruh negara di Eropa kami jelajahi. Luke harus memastikan semua dalam kondisi baik dan dalam pantauannya. Ponsel Luke bergetar. Ia meraih dan membaca isi pesan yang masuk beruntun.
"Dari siapa, Luke?" tanyaku di depan kamar mandi.
"Baskara, Marco sudah tertangkap. Valerie dan Elna selamat, tapi bukan Marco dalangnya. Kita diminta kembali secepatnya," jawab Luke serius.
"Aku mandi dan bersiap," balasku segera masuk. Luke segera melakukan panggilan sementara aku masuk dan mandi.
***
The Shocking Truth
Tiba di Indonesia, Luke memilih untuk mendarat di rumah dan menyetir mobilnya menuju kafe. Sepanjang kami menuju markas, wajah Luke tampak tegang dan serius. Aku tidak menyangka jika iniya ini momen yang sangat penting. Om Baskara dan dua belas staf khususnya sudah stand-by. Fiona dan Puri begitu melihat kami langsung bertepuk tangan memberi selamat. Panji juga Om Bas memeluk Luke dan menepuk pundaknya hangat.
"Selamat atas pertunangan kalian! Kapan nikah nih?" goda Om Bas.
"Terima kasih semuanya. Mungkin setelah semua aman dan kondusif kami akan menikah. Aku tidak sabar ingin menidurinya," sahut Luke jahil. Mukaku memerah karena malu. Om Baskara terbahak keras. Anggotanya menyimpan senyum dan geli. Puri dan Fiona mengerling penuh arti ke arahku.
"Hmm ... Fiona, kita nikahnya bisa dipercepat?" tanya Panji datar. Kami tertawa terpingkal-pingkal.
"Ok, kita lanjut nih. Serius ya?" seru Om Baskara menengahi. Semua patuh mendengarkan dan memasang muka serius.
Om Baskara kemudian menjelaskan dengan detail tentang semua yang terjadi. Setelah usai, semua kalimatnya melemaskan seluruh tulang di tubuhku.
"Apa maksud kalian Mas Andre masih hidup? Aku melihatnya masuk ke dalam peti dan terkubur!" tukasku cepat. Om Bas menggelengkan kepalanya dengan gusar.
"Kenyataannya, dia sekarang masih berjalan walau tidak bernapas. Kakakmu berubah menjadi makhluk terlaknat," sahutnya.
"Maaf, Rie. Kami juga tidak menyangka," timpal Puri sendu.
"Dia merelakan dirinya untuk menjadi budak Mariane selama ini. Kedatanganmu ke Alaska, dialah yang mengatur." Fiona melanjutkan.
"Kenapa dia mau mengincarku? Aku tidak pernah merasa bersalah padanya. Dia kakak yang sangat menyayangiku" sahutku hancur.
"Seperti yang kami jelaskan sebelumnya, targetnya mengalahkan Luke. Tapi menggunakanmu sebagai senjata untuk melemahkan tunanganmu. Sekarang kamu berada dalam perlindungan Luke penuh. Valerie dan Elna selamat, taktiknya pun gagal," jelas Om Baskara.
"Dia ada dalam tahanan kami, kamu boleh mengunjunginya jika mau," lanjut Om Baskara.
Aku diam mematung. Mas Andre, salah satu kakak kembarku, yang kupikir sudah meninggal dalam kecelakaan, ternyata masih hidup. Dan dia menginginkan aku mati! Haruskah aku berbesar hati menengoknya?
***
The Prison.
Sesuai arahan Om Bas, kami mengunjungi Mas Andre dua hari kemudian. Ada rasa sedih yang menelusup hatiku. Kakak yang selalu mendukungku dulu. Kami hidup bersama saling menyayangi selama dua puluh tahun ternyata itu hanya kebohongan belaka. Kini aku harus menghadapi kenyataan pahit, kakakku berusaha membunuhku demi ambisinya.
"Dia bukan kakakmu lagi, Rie." Luke menjawab isi pikiranku.
"Andre sudah menjadi vampir, jiwanya sudah dijual kepada iblis. Kemanusiaannya pun mungkin sudah hilang," lanjut Luke sambil meremas tanganku. Aku mengangguk.
Gedung tahanan itu tampak besar dan suram. Dari luar tidak terlihat bahwa gedung itu masih terpakai. Saat kami memasuki pintu gerbang utama, bulu kudukku merinding. Tidak bisa kubayangkan, ada sekitar seratus tahanan lebih mahkluk ajaib yang menghuni dengan segala macam kejahatan. Om Bas menemani kami menemui mas Andre. Saat tiba di dalam, kupikir aku akan langsung bertemu dengan jejeran sel. Ternyata aku salah. Om Bas mengajak kami memasuki lift besar. Aku terhenyak, ketakutan. Sebuah sosok dengan tudung kepala hitam panjang hingga hampir menyentuh lantai melayang di dalam lift.
"Jangan takut, Rie. Walaupun tampangnya mengerikan, volur adalah makhluk bijak yang adil. Dia akan mencium kejahatan dengan mudah dan menahan semua penjahat yang mencoba melarikan diri," terang Om Baskara sambil menekan tombol lift.
"I-iya, Om," jawabku gugup. Luke mengenggam tanganku semakin erat untuk menenangkan.
Lift bergerak turun. Kulihat nomer lantai di atas pintu lift, kami turun sekitar lima belas lantai ke bawah. Luar biasa bagaimana penjara ini dibangun dengan sistem seperti ini.
Pintu lift terbuka. Di depan kami terbentang jembatan yang terangkat. Om Bas melambaikan tangannya ke atas. Jembatan perlahan turun, suara derik roda besi nyaring memekakkan telinga. Aku merapatkan tubuhku saat melewati jembatan. Sedikit kulongokkan kepala ke bawah. Jurang hitam tak berdasar yang berbau amis menyentak hidungku. Ada suara erangan dan tangis yang membuatku bergidik.
Om Baskara mengarahkan langkah kakinya ke lorong panjang gelap yang hanya diterangi cahaya obor yang samar-samar. Sepanjang lorong aku melihat makhluk tahanan dalam berbagai bentuk. Mereka menyeringai dan menjulurkan lidahnya kepadaku. Aku membuang muka dan berusaha untuk tidak memandang mereka. Bau amis dan anyir semakin santer menyerbu.
Akhirnya, kami berhenti di sebuah sel dengan pintu besi bercampur perak tebal.
"Andre, ada pengunjung!" seru Om Bas.
Sel itu gelap, aku tidak bisa melihat apa pun di dalam.
"Mas Andre ...," panggilku pelan. Tidak ada jawaban. Aku melirik kanan dan kiri, kulihat makhluk volur berkeliaran seperti patroli. Memastikan semua aman.
"Andre, jika kau tidak menjawab, akan ada konsekuensinya!" bentak Om Baskara mengancam. Suara tawa pelan terdengar. Aku mundur. Tawa itu terdengar asing, bukan tawa mas Andre!
"Riel ... adik manisku. Kemarilah biar kunikmati manisnya darahmu." Suara serak bergaung dari dalam sel. Dia memanggil nama kesayanganku.
"Riel, rindukah pada kakakmu ini?"
"Jangan panggil aku dengan sebutan itu! Tidak pantas kau menyebut namaku!" balasku geram bercampur kecewa. Benarkah dia sudah menjadi monster? Dari bayangan gelap, muncul mas Andre yang berjalan dengan perlahan ke arah jendela kecil di pintu sel.
"Aku Andre kakakmu, Riel." Seringai vampir yang fisiknya seperti mas Andre muncul di hadapan kami.
"Ke-kenapa kau begitu bodoh mengubah dirimu menjadi mahkluk seperti ini, Mas?" sesalku dengan pilu.
"Kau yang bodoh! Lepas dari menjadi tumbal, sekarang malah kau jual tubuhmu pada iblis, kacungnya Abaddon!" desis mas Andre menghinaku. Luke tampak mengepalkan tangannya.
"Kau salah! Luke bukan kacung Abaddon saja, dia penegak kebenaran!" belaku.
"Ho-ho-ho, tidak tahu ya cerita sebenarnya, siapa kekasihmu itu?" tanyanya semakin terdengar licik.
"Jangan buang waktumu menghakimi orang lain! Aku hanya ingin tahu, kenapa kau ingin membunuhku!" tuntutku sinis. Mas Andre terkekeh.
"Masuklah kesini, supaya kamu mengetahui cerita lengkapku," tantangnya. Aku diam sejenak
"Om Bas, ijinkan aku masuk," pintaku. Kedua pria itu terkejut dan tidak menyangka.
"Jangan konyol, Rie!" jawab Om Bas jengkel.
"Tolong, Om. Sekali ini saja, Volur akan menjaga juga kan?" tanyaku mencoba menyakinkan. Luke menghela napas, tapi akhirnya memberi isyarat untuk memberikan ijin kepadaku. Om Bas dengan setengah hati memberi perintah volur untuk membuka pintu sel.
Suara derit karena beratnya bobot pintu terdengar melengking di sepanjang lorong. Aku melangkah ke dalam tanpa ragu. Mas Andre dengan santai menarik kursi rombeng dan menyilahkan aku duduk.
Dengan segan, aku menurutinya.
"Kamu siap adik manisku?" tanyanya setengah mengejek. Aku menyunggingkan senyum pahit.
"Bersiaplah, karena cerita ini akan menjadi titik balik hidupmu, Biel," bisik Mas Andre sambil bermain-main dengan rantai di lehernya.
"Mulailah ...," desakku sambil menyiapkan mental.
Mas Andre menyeringai sambil memamerkan taringnya. Cerita pun mengalir dari bibirnya.