Ketiga sahabatku memandangku tanpa berkedip. Bian tampak lebih dewasa dan matang, sungguh perubahan yang sangat drastis. Puri juga lebih ayu dengan tampilan rambut panjang, bukan lagi bob sebahu, namun anggun dan tetap modis. Pandu? Ah ... si bungsu yang kami anggap sebagai adik tidak berubah. Tetap terlihat polos dan menggemaskan, walaupun tingginya bertambah, kurasa predikat dokter yang kelak akan disandangnya tidak membuat Panji menjadi lelaki dewasa yang berwibawa. Wajahnya imut dan jauh dari kesan serius.
"Maaf, aku pergi nggak pamitan," sesalku.
"Tapi, jika tidak mengambil keputusan itu, aku akan tetap menjadi Riona yang sama," lanjutku sambil memainkan tisu.
"Kemana aja sih kamu selama ini?" Bian tidak sabar. Aku menghela napas. Dengan tersenyum, aku mulai berkisah.
***
Rumah yang menjadi peninggalan orang tuaku akhirnya berhasil terjual. Aku ingin melupakan semua kenangan pahit dan memulai hidup baru. Tragedi terakhir yang melibatkan Mariane, menyadarkan tentang satu hal. Karena lemah, siapapun akan terus mengincarku.
Fiona membantuku menghubungi Himauwe. Melalui lelaki tua Indian yang bijak, aku menjalani tempaan fisik. Negara pertama adalah Australia, di mana aku mendapatkan pengetahuan tentang makhluk yang harus kuwaspadai, termasuk cara menumbangkan mereka. Dari sana, aku terbang menuju Cina, untuk belajar kungfu dan ilmu meringankan tubuh. Setelah selesai, melanjutkan ke Jepang dan mempelajari seni pedang dan berguru di sebuah padepokan ninja di Kyushu. Terakhir, aku menuju ke German untuk mendapatkan pelatihan menembak dan lisensi internasional kepemilikan senjata.
***
Aku menyudahi dan menunggu reaksi ketiga sahabatku. Bian menatapku seakan tidak percaya akan pengalamanku selama enam bulan menghilang.
"Jika engkau ingin hidup normal, hal yang barusan kau ceritakan tidak menjadikanmu menjadi manusia biasa," ucap Bian dengan sendu.
"Jangan sampai dendam menguasaimu, Rie," tambah Puri yang tidak terlihat terkesan sama sekali.
"Merasa menjadi lemah atau tidak adalah problem otak dan mental. Jika mind set kamu menganggap lemah, itu yang akan mengkonsumsi jiwamu. Pada dasarnya kita memang mahkluk yang memiliki keterbatasan yang paling banyak, tapi itu justru yang membuat kita istimewa. Kita tidak pernah melupakan Sang Pencipta dan mengandalkan semua padaNya," terang Panji santai.
"Aku tidak mencari itu semua, aku hanya tidak mau menyusahkan kalian ...," bisikku lirih. Bian meraih jariku.
"Kehilangan Maya membuat kita semua lemah, dan kamu nggak sendiri, kita saling memiliki dan menjaga satu sama lain." Bian menatapku dengan penuh iba. Inilah yang kuperlukan. Kekuatan fisik sudah kudapatkan. Dari ketiga kawankulah akan kuperoleh tempaan percaya diri, bahwa aku layak dicintai dan bahagia.
***
Malam semakin larut, dan aku masih belum bisa tidur. Gelisah karena perhitunganku salah. Kekuatan yang kuperoleh tidak menimbulkan kedamaian dihatiku. Apa yang harus kulakukan? Suara jangkrik dan burung hantu seperti nyanyian malam misterius. Jika memang belum usai untukku mencari, akan kutelusuri hidup ini dengan tekad dan ketekunan.
***
Wounded
Hari pertama kembali ke kafe cukup mengembalikan memori masa kuliah dulu. Puri dan Panji menjelaskan singkat kemajuan dan perubahan kafe selama enam bulan terakhir. Tidak sedikit pun aku menyinggung tentang Luke. Rupanya ketiganya sudah mengerti dan paham.
Suara Egi yang cempreng mengumumkan akan reservasi makan malam atas nama Sarah bergaung di lorong dapur. Pandu segera mencatat semua pesanan dan bersiap.
"Sarah yang sama?" tanyaku pada Puri sambil memakai apron hitamku.
"Masih sama dan makin menjengkelkan," kerling Puri terlihat kesal. Aku terkekeh geli.
Dengan penuh semangat kami meluncur ke arena kafe dan menjadi sibuk melayani pelanggan hingga pukul dua.
"Istirahat mau kemana? Mumpung sepi," seru Puri.
"Ngunjungin Fiona?" tawarku meminta pertimbangan. Ada kerjap berbinar di matanya.
"Astaga, ada kejutan yang kamu belum tahu," bisik Puri sambil mendorong tubuhku keluar pintu karyawan dan masuk ke mobilnya. Sepanjang perjalanan Puri tersenyum simpul dan seperti sengaja membuatku penasaran.
Kami tiba di sebuah rumah kecil yang apik dan bergaya modern. Mirip bangunan bergaya belanda jaman dulu, tapi padu padan material yang kekinian membuat rumah bercat warna putih itu tampak modern.
Puri membuka pagar tanpa permisi dan menarik tanganku ke dalam.
"Fiona ...!" teriaknya sambil mengetuk pintu depan. Aku masih terkagum-kagum memandang taman yang terlihat rapi terawat. Bunga mawar dan aster mendominasi halaman itu. Pintu dibuka dan Fiona muncul, aku memekik gembira.
"Riona!" Fiona memelukku dan memutarku diudara dengan ekspresi yang luar biasa.
"Astaga, Rie! You look awesome!" pujinya melihat potongan rambutku. Aku tertawa sambil mengusap rambutku dengan tersipu. Kami segera masuk dan bercerita tentang berbagai hal yang terlewatkan karena perpisahan selama sepuluh bulan.
"Dan satu lagi!" seru Fiona tidak bisa menahan nada gembira disuaranya. Puri mengulum senyumnya.
"Ya?" aku geli dengan caranya yang tidak sabar menyampaikan. Diacungkan jari manisnya kepadaku. Sebuah cincin berlian kecil yang indah melingkar. Aku membelalakkan mataku.
"Ini serius?" desisku tidak percaya. Fiona dan Puri mengangguk bersamaan.
"Who's the lucky guy?!" jeritku mulai merasa kebahagiaan menjalar di hati.
"Panji," jawab Fiona tersedak oleh airmata. Aku menutup mulutku dan keharuan pun menyeruak. Oh si adik bungsu kami ....
"Panji ..., he's good choice," sahutku sambil tertawa dan menangis bersamaan. Kami bertiga berpelukan terisak bersama. Jauh direlung hatiku teriris pilu, seandainya Mayaa ada di sini ...
***
Saat kami kembali ke kafe sorenya, aku habis-habisan meledek Panji. Calon dokter itu untuk pertama kalinya tersipu malu.
Persiapan reservasi Sarah untuk tiga puluh orang sudah siap. Satu persatu menu kami tata di atas meja. Tamu undangannya mulai datang dan kami sambut dengan baik. Dengan bekal tempaan selama enam bulan, aku bisa melihat siapa saja yang datang dalam wujud asli makhluk tersebut. Terkadang aku merasa kasihan, makhluk seperti mereka harus bersembunyi dalam bentuk lain supaya diterima didunia ini.
Aku berusaha untuk tidak menampakkan diri, ada rasa tidak nyaman muncul saat ini.
"Rie, some help please," pinta Puri dengan muka gusar membawa nampan dengan tumpukan gelas. Berat sebetulnya untukku mengiyakan.
"Bikin ulah dia, minta ini itu nggak jelas," keluhnya.
"Aku bantu running ke table aja ya," sahutku. Puri mengecup pipiku riang. Malam itu memang kami hanya berlima, dan menangani tiga puluh orang dengan berbagai pesanan cukup merepotkan.
Aku meluncur ke depan dengan dua nampan dan membagikan pesanan. Acara Sarah hampir dimulai, nampan terakhir aku bawa dan kubagikan dengan kelegaan di hati bahwa momen sibuk hampir selesai. Saat aku berbalik, tubuhku membeku. Luke sedang duduk di sofa ujung dengan dua gadis cantik disampingnya. Dia tertawa riang dan tergelak bahagia.
Kakiku sulit melangkah. Ada rasa yang tidak bisa kujelaskan. Aku melintas ke pinggir untuk menghindar dengan gamang. Walaupun langkah kakiku berat, tapi aku harus berusaha. Tidak kupedulikan Puri yang meneriakkan terima kasih, kusambar tas dan kulempar apronku. Aku menembus malam di jalan Malioboro dengan pikiran tidak menentu.